Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perihal Jokowisme

21 Februari 2018   17:12 Diperbarui: 21 Februari 2018   17:21 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti keimanan terhadap Tuhan --- selanjutnya disepakati sebagai agama oleh mereka yang sepaham --- maka pada mulanya, sistem nilai yang diimani dalam melakoni kehidupan setiap manusia, telah terbentuk sejak lahir. Lalu berkembang sejalan dengan zaman demi zaman yang disinggahinya.

Sebab, setiap anak yang hadir di dunia ini, pertama kali pasti belajar dan mencontoh yang melahirkan, mengasuh, dan membesarkan mereka.

32 tahun Indonesia ditelikung sekaligus dibungkam. Harus menerima apapun yang diperkenankan Suharto. Dia  memonopoli dan berkuasa penuh terhadap kebenaran yang selalu diatas-namakan sebagai stabilitas Nasional. Sebab kemerdekaan memgekspresikan pendapat dan berserikat yang berlaku sebelumnya pernah berakhir dengan pertumpahan darah antar sesama anak bangsa. Lalu melahirkan trauma.

Tapi dibalik mantera pembangunan yang melegitimasi 'kebrutalan' sikapnya memberangus apapun yang dipandang mengganggu dan bertentangan, Suharto telah terbukti melakoni patronase politik yang menyuburkan perselingkuhan berbagai kepentingan sempitnya yang partikelir.

Kita tak perlu lagi membuktikan asal-muasal berbagai kemewahan dan kekayaan yang sampai sekarang masih diwarisi keluarga, kerabat, dan kroni-kroninya. Sebagian besar mereka adalah sosok-sosok yang berpengaruh sekaligus mempengaruhi perjalanan bangsa hingga hari ini. Bahkan diantaranya masih banyak yang berkeliaran di tengah lingkaran kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Semua itu terjelaskan lewat penangkapan oleh KPK yang sejak hari pertama kelahirannya, tak pernah surut. Sebaliknya malah semakin marak.

###

32 tahun itu tak hanya mewarnai. Tapi juga telah membangun sistem nilai, keyakinan, dan cara berfikir sebagian besar rakyat Indonesia melakoni kehidupan  berbangsanya. Termasuk tentang hak dan kewajiban selaku warga Negara yang dipandang benar, wajar, dan semestinya. Sebagaimana pula hak dan kewajiban Negara dan mereka yang berkuasa mengelolanya.

Maka siapapun yang menerima dan terbelenggu keniscayaan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, sejak Suharto menerima mandat kekuasaan Supersemar 1966 hingga dipaksa mundur Reformasi 1998, tak akan mudah melepas maupun meninggalkannya.

Pengaruh buruk kekuasaan Orde Baru terhadap tabiat manusia Indonesia itu, merentang pada setiap insan yang lahir di seputar masa kemerdekaan. Sebab mereka adalah yang tergolong pemuda dewasa (20-25 tahun) saat peristiwa G30S PKI meledak dan melengserkan Sukarno. Tapi mereka juga berada di usia puncak menjelang pensiun, ketika Suharto didesak untuk menyingkir lebih dari 3 dekade berikutnya (50-60 tahun). Sebagian besar diantaranya, justru pernah asyik berkelindan menikmati Suhartoisme.

Sifat dan tabiat tak terpuji yang diwariskan kekuasaan Suharto bersama kroninya, juga terpapar pada mereka yang saat Reformasi 1998 berlangsung, berusia 30-45 tahun. Sebuah periode yang lazim dimaklumi sebagai masa mewujudkan pilihan, keyakinan, dan jalan hidup. Pada umumnya, generasi yang berada pada rentang usia ini, sebagian besar adalah anak-anak dari pasangan orangtua yang lahir sebelum hingga masa kemerdekaan 1945.

###

Tak banyak pasangan orangtua yang mampu mendidik dan memberi tauladan kepada anak-anaknya, untuk mempertahankan jarak dengan segala kezaliman yang berlangsung di era kekuasaan Suharto. Sebaliknya, banyak yang mengaminkannya sebagai keniscayaan. Mulai dari menyisihkan kepentingan/ keuntungan pribadi hingga menyediakan biaya-biaya tak resmi yang menyertai berbagai hajat kehidupan. Berkolusi atau kerjasama sesat yang sesungguhnya bentuk pengkhianatan atas suatu amanah yang jelas-jelas merugikan kepentingan umum. Hingga perlindungan dan kemudahan yang ditawarkan oleh laku nepotisme.

Maka kemunafikan akhirnya meraja lela. Bahkan dalam berbagai hal, banyak yang telah diformalisasikan secara konstitusional. Setidaknya, dianggap dan telah diterima sebagai kewajaran yang hampir mutlak.

Lalu segala sesuatu yang berbeda atau menyimpang dari 'kebiasaan' yang terlanjur mengakar selama ini, dipandang sebagai hal yang aneh. Bahkan mustahil.

Kenyataan itu sesungguhnya sangat menyakitkan. Sebab, dimana-mana hampir tak ada ruang yang tersisa, untuk mempercayai ikhtiar tulus dan murni dari mereka yang ingin mengubah semua kekeliruan itu. Segala upaya sungguh-sungguh dan sepenuh hati, dari mereka yang ingin memperbaiki keadaan dan mengangkat harkat martabat bangsa, justru selalu dicurigai sebagai hasrat dan kepentingan yang sempit. Bahkan pribadi.

Sebab, segala yang buruk, cacat, dan menyimpang, telah banyak dianggap demikian adanya dan semestinya.

###

Ini adalah tentang sesuatu yang telah berurat-mengakar, bahkan merasuk pada setiap celah keseharian hidup kita. Bangsa yang dididik dan terbiasakan untuk mengkerdilkan makna gagasan, upaya, dan proses. Mereka yang selama ini terlena lautan sebagai kolam susu. Tongkat dan kayu pun diyakini selalu menjadi tanaman.

Kita bahkan tak mampu lagi membaca peluang yang disediakan perkembangan dan kemajuan peradaban dunia. Tapi justru menampiknya kecuali untuk berbagai pemuas nafsu yang sempit dan picik. Menebar fitnah dan bergunjing soal pesimisme adalah diantaranya.

###

Bangsa ini memang sekarat. Ia mendambakan sang juru selamat yang sepenuhnya telah selesai dengan diri sendiri. Martir yang ikhlas dan bersedia mengorbankan jiwa maupun raganya. Bukan hanya untuk merevolusi mental seluruh manusianya. Tapi juga tatanan dan berbagai kelaziman bermasyarakat yang terzalimi selama ini.

Sesuatu yang hanya mungkin terjadi melalui pemisahan yang tegas antara berbangsa dan bernegara, dengan keimanan dan beragama yang sifatnya sangat pribadi itu.

Di tengah keputus-asaan terhadap semua kelancungan yang terlanjur menjadi keniscayaan itu, keimanan dan agama memang leluasa berperan untuk mengisi ruang mimpi dan harapan manusia yang telah lama dibiarkan kosong dan sia-sia. Sebab, ketika harapan hidup yang damai dan sejahtera sirna, maka hanya ilusi tentang surga paska kehidupan di dunia inilah yang mampu berperan dan mengambil alih. Betapa pun absurd-nya.

Jilal Mardhani, 21-2-2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun