Selain untuk fungsi-fungsi pokok yang menunjang kebutuhan hidup paling mendasar (berteduh, makan, bekerja, reproduksi, rekreasi, dan beribadah) yang selalu dikaitkan dengan aktivitas ekonomi dan kapitalisme, kita hampir luput memperhatikan pentingnya peran "ruang sosial" yang memadai. Maksudnya tentang ruang bergairah yang menarik dan terpelihara, serta selalu tersedia bagi siapa saja yang berminat, tanpa harus dipusingkan indikator-indikator produktifitas dan ekonomis.
Ruang yang dimaksud adalah tentang hal yang bermakna bagi perkembangan nilai pribadi masing-masing individu, maupun interaksi antar sesamanya sebagai makhluk sosial.
Fungsi-fungsi ekonomi dalam keseharian kehidupan, memang telah sedemikian rupa "menjajah" kita. Segala sesuatu hanya layak diperhatikan jika memiliki kaitan erat dengan nilai ekonomis. Hal yang sesungguhnya mengukuhkan keliaran perkembangan perilaku dan gaya hidup transaksional yang paling primitif : demi keuntungan diri sendiri yang mengabaikan lainnya
Satu-satunya ruang sosial yang selalu kita sertakan selama ini hanya yang bersangkut-paut dengan keimanan terhadap Tuhan dan segala ibadahnya. Mulai dari masjid, gereja, kelenteng, dan seterusnya, hingga pemakaman dan ruang-ruang yang berkaitan dengan dunia mistis maupun takhayul. Begitupun, pada akhirnya intrusi nilai-nilai ekonomis ke dalam ruang-ruang tersebut tak juga mampu dihindarkan. Sebagaimana "perselingkuhan" agama dan keimanan yang terpapar dalam kehidupan sosial politik sehari-hari yang kita lakoni akhir-akhir ini.
Ruang sosial semestinya tersedia untuk interaksi kehidupan yang asyik dan menggairahkan bagi setiap manusia untuk memelihara, menyalurkan, dan mengembangkan minat maupun bakatnya. Hal-hal yang membentuk jati dan kemuliaan dirinya. Agar dia menjadi bagian dan turut berperan pada upaya merayakan kemanusiaan dan kehidupan yang berkelanjutan. Bahkan hingga setelah waktunya berpetualang sementara di dunia fana ini, berakhir.
Ekonomi sesungguhnya hanya sebuah cara yang memudahkan manusia untuk merayakan kehidupan sebagai makhluk sosial. Bukan sebagai tujuan utama. Seandainya demikian maka sesungguhnya kita telah masuk dalam jebakan nafsu yang bermuara pada keinginan saling meniadakan dan membinasakan.
Kealpaan pada "ruang sosial" menyebabkan kita lalai terhadap pentingnya seni dan berkesenian. Juga olahraga dan berolah-raga. Dua hal tersebut sesungguhnya bagian dari kehidupan sehari-hari yang harus tetap terpelihara keasyikan dan gairahnya. Sebab, mereka sangat vital dalam kemampuan dan daya kembang kreativitas maupun inovasi manusia, dalam menghadapi tantangan hidup yang terus berevolusi dan terpapar pada temuan-temuan barunya. Bahkan kadangkala terdisrupsi. Seperti ketika menghadapi serbuan budaya teknologi digital hari ini.
Kesenian dan olahraga merupakan salah satu aktivitas penting kehidupan manusia untuk belajar dan memahami makna proses. Menguji, melatih, dan mengembangkan ketekunan dan kehandalannya mewujudkan gagasan. Jadi tak hanya sekedar mengambil, menggunakan, dan menyia-nyiakan anugerah alam semesta. Tapi juga menjaga dan memelihara agar keberadaan dan keberlanjutannya tetap tersedia untuk dimanfaatkan generasi manusia setelah dirinya.
Keimanan pada Tuhan yang Maha Pencipta sesungguhnya telah mengingatkan kita pada semua hal itu. Agar manusia tak semata menjadi makhluk ekonomi. Tapi juga makhluk sosial-budaya sehingga seni dan olahraga mestinya ditempatkan pada posisi yang setara dan saling melengkapi dengan kesibukan sehari-hari lainnya.
Entah apa lacurnya, kehadiran kedua hal itu dalam kehidupan Indonesia kita, hanya diperlakukan sebagai pelengkap yang kenes semata. Mulai dari pendidikan yang kita rancang dan berikan kepada anak-anak, hingga dalam kehidupan sehari-hari, seni dan olahraga disikapi ala kadarnya. Kecuali jika ia terpaut dengan sistem ekonomi yang kapitalistik.
Hal itu bukan hanya menggerus kepekaan terhadap makna dari cita-cita hidup dan pencapaiannya. Tapi juga mengisolasi budaya kita untuk menghargai upaya dan proses. Apalagi kegagalan. Sebab tak selamanya upaya maupun proses yang dilalui itu selalu berhasil.
Semua hal itu menyebabkan kita percaya bahwa makna berhasil semata-mata hanyalah rezeki. Hadiah dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang bagi umatnya
Dalam buku terbarunya yang berjudul "Originals: How Non-Conformists Move The World", Adam Grant mengutip penelitian yang pernah dilakukan terhadap peraih Hadiah Nobel tahun 1901 hingga 2005 (Penguin Books, 2016, halaman 46-47). Katanya, peluang ilmuwan yang memiliki ketertarikan (hobi) terhadap hal yang berkaitan dengan seni, untuk memenangkan hadiah bergengsi itu, beberapa kali lebih besar dibanding yang lain. Peminat seni musik setidaknya berpeluang 2 kali lebih besar. Sementara yang tertarik pada seni pertunjukan cenderung paling besar, yakni 22 kalinya.
Saya kira, kita telah sangat keliru dan harus segera mereformasi diri. Mulai dari pemahaman untuk menempatkannya dalam "ruang sosial" hingga sikap dan prilaku untuk melakoninya dalam keseharian.
--- Jilal Mardhani, 17 Februari 2018 ---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H