Setiap pergolakan yang dilalui bangsa ini, selalu disertai dengan iktikad mulia yang luhur. Semua itu kemudian ditingkahi dengan gelora semangat mewujudkannya yang acap kali memekakkan telinga, dan menyilaukan mata. Yakni tentang menegakkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa --- yang dipimpin oleh hikmah permusyawarahan perwakilan --- dan seterusnya.
Mungkin sudah menjadi kodrat manusia yang selalu jengah mengingat-ingat --- sehingga ingin segera melupakan --- segala penderitaan maupun pengalaman buruk yang pernah menimpanya di masa lalu.
Sejarah telah berulang kali membuktikan: musuh sejati manusia adalah kemunafikan diri dalam merayakan dan memanjakan nafsunya.
Segera setelah kendali dan kekuasaan berhasil direbut --- atau beralih ke dalam genggamannya --- maka seketika itu pula sifat congkak dan menyepelekan menjerat.
Seolah-olah biang kerok dan berbagai kejadian luar biasa masa lalu --- yang dulu pernah membuatnya sengsara dan berduka --- hingga kemudian melahirkan pergolakan yang menyebabkan keberadaan dari kendali dan kekuasaannya, hanyalah ilusi semata.
###
Sukarno berteriak lantang tentang imperialisme sebelum akhirnya menyatakan diri sebagai Pahlawan Revolusi dan Presiden Republik Indonesia seumur hidup.
###
Suharto dengan santun mengumandangkan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lalu dengan keberingasan yang senyap, ia kemudian membiarkan korupsi-kolusi-nepotisme meraja lela menjadi budaya bangsa, di balik mantra ketertiban, keamanan, dan Dwi Fungsi ABRI.
###
Gus Dur, Amien Rais, Mega, Hamengkubuwono X, bersama dengan berbagai tokoh lain yang bermunculan dan merapatkan barisan, setelah akhirnya Indonesia bangkrut dan porak poranda dalam segala hal di penghujung kekuasaan Suharto, berteriak lantang tentang "perumusan ulang" pemahaman berbangsa dan bernegara. Kemudian hingga hari ini populer disebut sebagai Gerakan Reformasi. Masyarakat madani menjadi cita-cita besar, polisi dicita-citakan melindungi dan melayaninya, dwi-fungsi ABRI dihapuskan, tentara kembali ke barak, otonomi daerah dikumandangkan, kebebasan berpendapat dimerdekakan, dan seterusnya hingga yang paling penting : korupsi-kolusi-nepotisme secara konstitusional ditekadkan enyah dari bumi Nusantara ini.
Tapi yang terjadi kemudian, mereka --- para tokoh yang berada di garda depan itu --- terjebak pada lomba memuja dan memanjakan diri masing-masing. Menyingkirkan kepentingan masyarakat yang menjadi alasan, sekaligus tameng pergerakan yang kemudian menghantarkan mereka pada posisinya masing-masing. Memberangus hasrat dan kepiawaian "duniawi" masyarakat yang selama berpuluh tahun telah dipasung dan terpinggirkan. Lalu suburlah ilusi dan mimpi "surgawi" yang merepotkan itu.
###
Saya mengingatkan, tengoklah derita dan nestapa yang pernah kita ratapi ketika kekejaman senjata dan kekuasaan pernah meluluh-lantakkan semangat bangsa ini.
Biar mereka tetap di barak, berlatih dan bersiaga menghadapi musuh Negara yang mengintai. Jangan jadikan centeng untuk kami, rakyat yang berdaulat pada bangsa ini.
Catatan :
Pesan ini saya sampaikan menyikapi draft "Rancangan Peraturan Presiden tentang Strategi Nasional Pemulihan Ekosistem Sungai Citarum" yang mencantumkan usul Perwira TNI yang ditunjuk sebagai komandan sektor (pasal 5).
Jilal Mardhani, 21 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H