Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memerdekakan Sepeda Motor adalah Sebuah Kebijakan Keliru

11 Januari 2018   02:23 Diperbarui: 11 Januari 2018   08:25 1789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena itu bukan hanya di ibu kota negara tapi juga merata di seluruh Indonesia. Di Jakarta hari ini, jumlah sepeda motor yang beredar di jalan raya merupakan 70 persen dari keseluruhan kendaraan yang berseliweran di sana.

Hal yang sesungguhnya memprihatinkan itu, tentu sama sekali tidak semestinya.

###

Di Jakarta, sejak hampir 10 tahun belakangan ini, pemerintahnya berupaya mengejar ketertinggalannya. Dimulai dengan pengembangan koridor-koridor khusus angkutan bus rapid transit yang kita kenal sebagai Trans Jakarta. Sejak kepemimpinan Joko Widodo sebagai Gubernur, pembangunan MRT pun dimulai, yakni setelah ia dan pasangannya, Basuki Tjahaja Purnama, berhasil meyakinkan pemerintah pusat soal kelayakan APBDnya untuk menjamin pinjaman yang dibutuhkan bagi pembiayaan investasi yang dibutuhkan. Bertahun-tahun sebelumnya --- bahkan sejak kepemimpinan Presiden Suharto --- pembangunan angkutan umum massal berbasis rel itu tertunda karena mensyaratkan jaminan APBN.

Selain itu saat ini juga sedang dikembangkan jaringan LRT (light rail transit) yang menghubungkan Jakarta dengan berbagai kantong pemukiman yang berada di pinggir Jakarta.

Pembangunan sistem angkutan umum massal tentu perlu disertai dengan jaringan prasarana pedestrian agar dapat memudahkan penumpangnya berjalan kaki hingga tujuan, maupun berganti dengan moda angkutan (umum) lain. Tanpa hal itu, layanan angkutan umum massal itu tentu menjadi tak menarik.

Penyediaan layanan angkutan umum massal itu, sejatinya ditujukan bagi pelalu-lalang yang berasal ataupun menuju wilayah di sekitar lintasan yang dilalui. Walaupun belum mampu "menjawab" keseluruhan kebutuhan, langkah dan upaya pembatasan lalu lintas pada lintasan layanan angkutan umum massal tersebut, adalah niscaya.

Sesungguhnya, pembatasan penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta sendiri, sudah dicanangkan sejak Rencana Induk Kota tahun 1985-2005 dulu. Diikhtiarkan, 85 % perjalanan yang dilakukan masyarakat di wilayah yang berada pada loop line kereta api di pusat kota lama Jakarta, menggunakan angkutan umum massal yang disediakan pemerintah. 

Penggunaan kendaraan pribadi di sana diharapkan hanya 15% dari volume lalu-lintasnya. Wilayah yang berada di antara loop line tersebut dengan jalan tol lingkar dalam kota, direncanakan 70% angkutan umum dan 30% kendaraan pribadi. Lalu 60:40 pada wilayah yang diapit jalan tol dalam kota dan jalan tol lingkar luar (outer ring road). Terakhir 50:50 untuk wilayah di luarnya.

Pembatasan kendaraan pribadi itu memang tak terlaksana hingga tahun 2005 karena Jakarta tak mampu mengembangkan sistem angkutan umum massalnya. Tapi setelah mereka bergegas dengan BRT yang disusul dengan MRT dan LRT, sangatlah wajar jika cita-cita tersebut mulai direalisasikan.

Saat ini, lintasan koridor Sudirman-Thamrin setidaknya telah dilayani oleh BRT. Maka --- mengingat padatnya lalu lintas yang berlalu-lalang di sana sekarang --- upaya pembatasan tersebut sepantasnya dimulai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun