Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ilusi Ibu Kota yang Baru

15 Desember 2017   16:44 Diperbarui: 16 Desember 2017   14:51 1454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.qzprod.files.wordpress.com

Menanggapi kabar BAPPENAS yang akan mengumumkan nama Ibu Kota Republik Indonesia yang baru pada penghujung tahun 2017 ini.

Pindah rumah pun sudah cukup merepotkan. Tak semua perabot lama cocok atau bisa diboyong ke tempat yang baru. Sebagian terpaksa ditinggal atau --- jika ada yang berminat --- dijual saja. Sejumlah perlengkapan anyar mungkin perlu diadakan untuk melengkapi.

Itu soal perabotan. Ada lagi yang tak kalah pelik, yaitu menyangkut kebiasaan sehari-hari. Bagi penghuni yang harus pergi bekerja ---jika rumah yang baru berada di lokasi yang berbeda dengan sebelumnya--- berarti perlu penyesuaian rute dan jadwal melakukan perjalanan sehari-hari. Sebab pola kemacetan, ketersediaan layanan angkutan umum, dan sebagainya, perlu diantisipasi dan disikapi berbeda. Begitu juga bagi anak-anak yang harus pulang-pergi ke sekolah. Pasar tempat sehari-hari berbelanja memenuhi kebutuhan. Dan seterusnya.

Bisa jadi rumah yang baru memberikan sejumlah hal yang lebih baik. Tapi biasanya, selalu ada saja yang tidak lebih baik bahkan lebih buruk. Mungkin biaya listriknya, karena rumah yang baru lebih besar. Atau bisa saja kenyamanan bertetangganya, karena di lingkungan yang baru lebih banyak dihuni pasangan muda yang selalu berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah larut malam.

Jika memang tidak terpaksa atau alasan lain yang istimewa, pindah rumah tentunya bukan pilihan yang mengasyikkan.

###

Beberapa saat setelah Joko Widodo terpilih memimpin Indonesia, ia melontarkan wacana pemindahan ibu kota. Bisa jadi karena Jakarta dan Pulau Jawa umumnya, semakin sumpek dan sulit ditata. Tapi mungkin juga karena mempertimbangkan cara dan strategi agar lebih mudah memecah konsentrasi perkembangan wilayah dan pertumbuhan kota-kota yang selalu terpusat di Jakarta dan Pulau Jawa. Atau bisa juga didasari keinginan untuk "merevolusi mental" birokrasi pemerintahan hari ini yang sudah sedemikian bobrok.

Pemindahan pusat pemerintahan tentu akan disertai dengan migrasi besar-besaran aparat birokrasi yang menjalankan roda administrasinya. Berarti termasuk juga keluarga mereka. Tentu bukan soal yang mudah. Keberatan dan penolakan sangat mungkin terjadi. Sebab menyangkut berbagai alasan yang bersifat sangat personal dan bagian dari hak asasi. Bagaimanapun mereka tak bisa disamakan dengan perabot rumah tangga atau tenaga kerja paksa yang bisa sembarang dipindahkan, bukan?

Sebobrok apapun, mereka tak bisa digantikan begitu saja dengan yang baru. Apalagi oleh masyarakat daerah yang dalam banyak hal kemungkinan besar kalah pengalaman maupun "laboratorium" pengetahuan. Bukan berarti tak tersedia sama sekali. Tapi bisa dipastikan amat sangat kurang dalam hal kualitas maupun kuantitas yang dibutuhkan untuk menggantikan semua yang ada sebelumnya.

###

Persoalan pemindahan ibu kota ke pulau lain yang terletak di seberang lautan, bukan semata mengenai infrastruktur, bangunan, dan fasilitasnya. Tapi juga tentang sebuah komunitas hidup dengan ragam karakter sosial dan budayanya yang unik. Dana yang dibutuhkan untuk membangun kebutuhan fisik --- yang dikatakan tak bakal menggunakan APBN itu --- tak seberapa dibanding ongkos untuk mananggung hal-hal non-fisiknya. Belum lagi masalah waktu dan peluang yang bakal terancam sia-sia.

Bagi saya --- tanpa mengurangi rasa hormat kepada siapapun yang telah mencoba memikirkannya --- gagasan itu hampir mustahil dilaksanakan hari ini.

Ongkos dan pengorbanan yang harus dikeluarkan, terlampau besar dan tak bakal sebanding dengan manfaatnya. Apalagi jika memasukkan variabel Revolusi Budaya Digital yang kini sedang berlangsung gencar. Pertumbuhan eksponensial yang menyertai era "internet of things" itu, sesungguhnya menuntut semua pihak ---termasuk negara dan pemerintah--- sigap menata ulang sistem nilai dan peradaban sehari-harinya. Sebab, digitalisasi segera menghadirkan "demokrasi" yang sejati dan sesungguhnya.

Demokratisasi digital memungkinkan pilihan siapapun terhadap apapun, mendekati kesempurnaan seleranya. Setiap individu semakin dimungkinkan untuk memilih, menggunakan, dan meyakini hal-hal yang sesuai dengan minat dan keinginannya sendiri. Juga menyingkirkan atau menghindar dari semua yang tak diperkenankannya. Maka ruang pemakluman dan tolerasi terhadap kekurangan atau ketidak sempurnaan pun menjadi semakin sempit.

Hari ini, berbagai sistem konvensional --- termasuk berbangsa dan bernegara --- memang masih banyak yang leluasa menagih, bahkan menuntut, pengertian dan kerelaan "pengguna" atau "konsumen" untuk menerima ketidak-sesuaian "kecil dan minor". Lalu agregasi yang berkedok stabilitas dan kepentingan umum, kerap terpeleset menjadi siasat kekuasaan mempermainkan tirani mayoritas. Suka atau tidak, hal yang sesungguhnya acap terjadi, adalah pemaksaan makna kebersamaan. Bukan hanya dengan cara-cara halus yang menyingkirkan selera dan minat minoritas. Tapi juga melalui siasat licik dan muslihat yang culas.

Bukankah pernyataan itu yang paling tepat untuk menggambarkan berbagai drama kekuasaan yang dipertontonkan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat kita --- maupun politisasi identitas suku-agama-ras-antar golongan di tengah masyarakat --- akhir-akhir ini?

Menolak Revolusi Budaya Digital yang sebetulnya sedang menyerbu setiap sendi kehidupan kita, sama dengan mengaminkan fenomena katak yang tetap tenang berenang kesana-kemari di dalam panci air yang sedang direbus. Tanpa disadarinya, pada suatu titik didih tertentu, ia akan mati sia-sia di sana.

Digitalisasi telah memudahkan fenomena pemurnian berbagi kepentingan yang nyata. Bukan hanya secara ekonomi --- kerap disebut sebagai "sharing economy" --- tapi juga sosial, budaya, politik, bahkan ideologi.

Digitalisasi memang membuka bermacam peluang pemberdayaan keterbatasan dan kendala masa lalu yang mampu mengecoh (deception) sehingga kita tak mampu menyangka tentang perubahan yang "sesungguhnya". Kebiasaan dan adat-istiadat yang sebelumnya jamak, bisa dan mampu bergeser, berganti, bahkan berubah menjadi fenomena yang baru (disrupsi).

Maka berbagai peniadaan fungsi dan peran agregasi konvensional pun segera berlangsung. Disebut sebagai proses dematerialisasi. Bukan hanya terhadap wadah yang bermakna fisik (tangible) tapi juga yang bukan (intangible). Menyaksikan tayangan audio-visual mutakhir dengan kecanggihan teknologi yang paling sempurna, tak lagi harus bersusah payah ke teater yang terletak di pusat kota.

Membaca artikel penting dan menarik minat, tak lagi diharuskan membeli koran atau majalah, bahkan berlangganan websitenya. Bahkan kelak, keinginan menekuni dan piawai dalam ilmu pengetahuan tertentu, tak lagi harus kuliah ke kampus perguruan-perguruan tinggi. Maka suatu saat nanti, mentaati negara dan pemerintah yang korup pun bisa jadi sebuah pilihan. Bukan keterpaksaan yang harus dituruti begitu saja.

Fenomena crypto-currency atau bitcoin --- sistem nilai tukar digital yang berfungsi global tanpa negara (stateless) --- adalah salah satu pertanda nyata yang sebaiknya tidak dipandang sebelah mata.  

###

Jadi, manakah sesungguh yang lebih penting, "memindahkan" ibukota yang menyediakan kebutuhan fisik dan non-fisik pusat pemerintahannya, atau "mentransformasi" budaya dan adat-istiadat birokrasi kekuasaan sehingga sejalan dengan tuntutan berbangsa dan bernegara di masa depan?

###

Bahwa kesemerawutan, pemborosan, dan kesia-siaan ibukota Jakarta hari ini --- sebagaimana juga berbagai kota besar maupun kecil lainnya di Indonesia --- terasa menjengkelkan, adalah satu hal. Semua itu, karena selama ini Negara memang tak pernah sungguh-sungguh hadir di sana, melakoni peran dan fungsi sejatinya sebagaimana yang diamanahkan konstitusi. Kita harus berani jujur untuk mengakui bahwa semua kekacauan itu, sesungguhnya berakar dari penyelewengan dan penyalah-gunaan makna kekuasaan. Selama ini, kehadiran negara justru berpihak sekaligus melegitimasi aglomerasi (pengelompokan) segala sesuatu pada pusat kekuasaan dan sekitarnya. Negara justru kerap mengabaikan peran distribusi dan pemerataan yang menjadi tugas dan tanggung jawab utamanya.

Kebijakan Joko Widodo yang memprioritaskan pembangunan dan pengembangan berbagai infrastruktur di seluruh pelosok Tanah Air adalah hal yang sangat tepat dan cerdas. Tapi semua itu sama sekali tak cukup untuk mengantisipasi masa depan Revolusi Budaya Digital. Kebutuhan transformasi cara pandang, peradaban, dan adat-istiadat birokrasi pemerintah menjalankan peran dan fungsi kekuasaan Negara juga sangat mendesak.

Maka dibanding memindahkan ibukota, Jokowi sesungguhnya lebih perlu mempertimbangkan pembatasan fungsi dan jenis kegiatan yang diperkenankan di Jakarta dan sejumlah kota besar lain yang ada di pulau Jawa.

Mengapa semua jenis industri dan pusat kegiatan ekonomi-sosisl-budaya harus selalu diperkenankan mengambil tempat di ibukota dan wilayah sekitarnya?

Selama ini, Negara memang selalu ragu dan gelisah menyikapi hasrat pertumbuhan suatu kota. Konsekuensinya, keunggulan skala yang dimiliki sering dibiarkan terus-menerus menjajah ruang wilayahnya yang telah dan semakin semerawut.

Mengenai keinginan memindahkan pusat pemerintahan, Bappenas semestinya berkenan dan berani menyikapi dengan wacana yang lebih cocok dan sejalan dengan tantangan dan tuntutan mutakhir, sebagaimana yang telah diuraikan di atas tadi. Tentu saja perlu disertai dengan konsekuensi pengembangan berbagai kebijakan mendasar tentang sistem birokrasi pemerintahan masa depan dalam melakoni amanah kekuasaan yang diserahkan Negara kepadanya. Sebab, berbagai kebijakan yang ada saat ini memang sudah tidak sejalan lagi dengan tuntutan perkembangan jaman, khususnya terkait dengan Revolusi Budaya Digital yang sedang berlangsung.

Walaupun sangat menantang, semua itu memang bukan pekerjaan yang mudah.

--- Jilal Mardhani, 15 Desember 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun