Banyak yang keliru mengira Jokowi menginginkan kekuasaan. Lalu menyangka keterpilihan kembali sebagai Presiden tahun 2019 nanti sangat penting baginya.
Saya pastikan Anda salah jika berfikir atau menduga demikian!
###
Jokowi tak pernah mengelu-elukan kekuasaan --- termasuk menjadi Presiden sekalipun --- sebagai cita-cita dan tujuan hidup.
Presiden kita yang satu ini hanya ingin melakukan yang seharusnya dilakukan pemerintah sejak lama : berpihak kepada seluruh nusa dan bangsa secara adil dan bijaksana. Karena Indonesia memang bukan hanya Jakarta atau pulau Jawa yang semakin sesak dan semerawut. Tapi juga seluruh wilayah dan berbagai pelosoknya yang terbentang luas dari Sabang hingga Marauke.
Indonesia telah memilihnya sebagai Presiden sekaligus Kepala Negara hingga tahun 2019 nanti. Dia sangat menyadari amanah yang berusia 5 tahun itu, dan ingin menunaikan tekadnya, janji-janjinya, dan harapan yang dilimpahkan padanya, sebaik mungkin. Maka merealisasikan berbagai pidato berbunga-bunga yang selama puluhan tahun telah disampaikan para pendahulunya --- walau kadang hanya sekedar retorika manis semata --- sebagai hal-hal nyata dan mewujud, adalah penting dan segalanya.
Jokowi sangat paham jika menyiapkan diri untuk terpilih kembali TIDAK TERMASUK bagian kegiatan sehari-hari yang diamanahkan kepadanya. Setelah terpilih, tugasnya hanya mengabdikan diri melaksanakan kewajiban dan wewenang sebagai pemimpin SELURUH bangsa ini. Kerja, kerja, dan kerja.
Jadi, terpilih kembali atau tidak bukan soal yang penting. Tapi membuktikan keterpilihannya kemarin sebagai hal yang tak sia-sia --- baik kepada yang memilih maupun menolaknya --- justru sangat penting. Maka pujian dan pengakuan tentang kehebatan diri sendiri tak pernah menjadi agenda dan terlintas di benaknya.
###
Jokowi adalah manusia biasa dan sederhana dalam arti yang sesungguhnya. Dia menyadari ketidak-sempurnaan dan keterbatasan diri sendiri. Bahwa seluruh kerja yang harusnya dilakukan bersama-sama. Masing-masing yang lain mestinya turut bekerja dan bekerja sesuai tugas dan tanggung jawab bagiannya masing-masing. Terlebih lagi para menteri dan pimpinan berbagai lembaga pemerintahan yang berada dibawah kendalinya langsung. Begitu pula mestinya seluruh pemimpin pemerintahan dan kepala daerah terpilih yang tersebar di seluruh Indonesia.
Semua lakon yang dicontohkannya selama 3 tahun belakangan sebagai Presiden --- sebagaimana juga dilakukannya ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta maupun Walikota Solo sebelumnya --- telah lebih dari cukup memperagakan bagaimana mestinya menjalankan kepemimpinan yang diamanahkan. Sebab sejatinya setiap pemimpin juga memiliki hak dan wewenang untuk mengupayakan yang perlu dan mesti dilakukan. Bukan terjebak, bahkan berlindung, dibalik birokrasi administratif dan protokoler yang sungguh menjengkelkan.
Revolusi budaya digital yang sedang mengubah cara pandang, prilaku, adat-istiadat manusia dan kehidupannya memang sedang berlangsung. Tak hanya terjadi dan berpengaruh bagi kita di Indonesia, tapi juga seluruh dunia, dan tak mungkin terbendung lagi. Membatasi diri pada hal-hal kuno yang dibangun atas keterbatasan peradaban masa lampau --- bahkan mungkin disandera pemikiran maupun kepentingan politik kekuasaan yang sempit dan munafik --- sebaiknya mulai dilupakan.
Kita harus siap, terbiasa, dan berani berhadapan dengan setiap peluang perubahan tersebut. Termasuk bijak dan bersikap kesatria terhadap seluruh tantangannya yang segera merasuki hampir setiap sendi kehidupan.
Maka sikap kaku yang mengacu pada berbagai tatanan dan ketentuan yang dibangun atas pemahaman masa lalu, sehingga kita ragu bahkan khawatir menerima perkembangan zaman, sebaiknya tak perlu lagi dibiarkan menjerat keseharian kita. Sesungguhnya hsl itulah yang dimaksud dari ungkapan Archandra Tahar pada salah satu sesi diskusi Indonesia-is-me Summit di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, pada Sabtu siang, 9 Desember 2017 tadi siang.
Banyak tatatan birokrasi pemerintahan yang kita miliki, seolah-olah membatasi ruang gerak inovasi dan kreatifitas yang dibutuhkan untuk menyikapi tantangan zaman. Sedemikian rupa sehingga yang dapat dan boleh dilakukan hanya hal yang selama ini telah ditata oleh berbagai aturan yang ada. Sementara sesungguhnya, begitu banyak hal baru yang berlangsung.
Kekakuan sistem administrasi dan birokrasi itu telah menyebabkan membudayanya rasa khawatir --- bahkan anggapan haram --- untuk mencoba mengembangkan sikap maupun tanggapan yang dibutuhkan.
Hal itu bertentangan dengan kondusifitas yang berlangsung di sebagian besar pelosok dunia yang berpesta menyambut Revolusi Budaya Digital itu. Berbeda dengan fakta yang kita hadapi di sini, mereka justru menganut faham yang leluasa untuk mencoba apapun selama tidak termasuk hal-hal yang dilarang atau diharamkan.
Tapi mungkin kegamangan --- atau bahkan ketidak mampuan --- sebagian menteri, pimpinan lembaga pemerintah, dan kepala daerah dalam menyikapi perubahan eksponesial yang sedang berlangsung itulah yang justru menyebabkan mereka "berlindung" di balik sistem birokrasi yang ada.
Lalu sebagian anggaran yang disediakan negara akhirnya lebih banyak dihambur-hamburkan bukan pada pokok kegiatan yang diperlukan, tapi justru pada program-program penunjangnya yang tidak produktif. Sebagaimana kejengkelan yang diungkapkan Jokowi pada penyerah DIPA 2018 di Istana Bogor kemarin.
###
Sekali lagi, semua sepak terjang Jokowi yang ingin menerobos berbagai kebuntuan yang telah berlangsung lama itu, tak akan optimal bahkan bisa kembali sia-sia jika dan hanya jika yang lain tak mampu mengimbanginya.
Maka jika tekad mewujudkan "Indonesia Menjadi Bangsa Pemenang" sebagaimana tagline dari perhelatan Indonesia-is-me Summit itu sungguh-sungguh ingin diwujudkan, perbaikilah sikap, prilaku, dan cara berfikir yang menyia-nyiakan anggaran Negara yang terbatas tersebut, untuk hal-hal yang bukan menjadi kegiatan pokok diperlukan. Dengan demikian berarti Anda memang mendukung dan mensyukuri anugerah yang dilimpahkan Tuhan kepada bangsa kita.
Sebab Jokowi memang hanya bertransaksi dengan Tuhannya, menunaikan amanah yang dilimpahkan di pundaknya, untuk sebesar-besarnya kebaikan Indonesia.
Jilal Mardhani, 10 Desember 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H