--- untuk menyikapi malapetaka bangsa yang mengintai dibalik drama politik Setya Novanto
Demokrasi kita menggunakan tata cara pemilihan yang "agak" langsung untuk menentukan siapa yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dikatakan "agak" karena tak mesti sosok yang ada dalam daftar calon pilihan yang kelak pasti terpilih. Banyak pemilih yang sesungguhnya tak mengenal siapa yang akan dipilih. Oleh karenanya mereka hanya menjatuhkan pilihan pada Partai Politik yang menaungi calon-calon itu. Itulah sebab mengapa jumlah suara yang dipungut "partai" kerap jauh lebih besar dibanding perolehan kader-kader yang dijagokannya.
Maka selalu ada kemungkinan sosok yang ditetapkan partai untuk mewakili suara kita di lembaga lagislatif Negara itu, berbeda dengan pilihan.
Pertanyaannya, siapakah yang akan mempertanggung jawabkan sikap, prilaku, kerja, dan putusan yang dilakukan oleh wakil pilihan yang ditempatkan partai di DPR?
Jangankan sosok lain yang berbeda dengan pilihan kita. Terhadap mereka yang memang kita pilih langsung dan kemudian duduk di gedung parlemen saja, pertanyaan itu tak terjawab selain penjelasan normatif.
Lalu ada pertanyaan lain yang jauh lebih mendasar: sesungguhnya adakah hak pemilih untuk mempertanyakan kerja, putusan, tindak tanduk, bahkan kepatutan para wakil terpilih membawa diri dan melakoni tugas di parlemen sana?
Bagaimana pula aturan soal kewajiban mereka menanggapi dan menjawabnya?
+++
Sesungguhnya memang terlihat ada yang aneh pada tatanan sistem perwakilan - yang mengerahkan sumberdaya gigantis bangsa - yang tak hanya melibatkan tapi juga "mengorbankan" kita semua itu.
Tak hanya soal materi tapi juga moril. Termasuk waktu yang tersita, hubungan perkerabatan, kualitas silaturahmi, citra pribadi, bahkan emosi, mental, dan mungkin juga kesehatan jiwa. Begitu banyak yang terpancing - selain mereka yang dengan sengaja terlibat dan dengan sadar melakukannya - turun gelanggang karena termotivasi maupun terseret keadaan di sekeliling.