Sebagaimana yang dihadapinya dengan institusi Polri -- alih-alih menyadari kekeliruan -- lembaga yang mewakili rakyat Indonesia itu justru berulang kali memamerkan 'iktikad' untuk 'mengkebiri' kewenangan dan 'melemahkan' mereka. Hal yang tak jemu diulang-ulanginya sebagaimana yang paling mutakhir dipertontonkan melalui Panitia Hak Angket KPK.
Mungkin gejala apatisme yang mendekat ke 'titik nadir' -- serta proses terwujudnya keputus-asaan massal -- telah berkembang semakin nyata. Lalu sekonyong-konyong Polri menawarkan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang membutuhkan dana triliunan rupiah. Konon jangkauan operasinya akan merambah hingga ke desa-desa.
Kita bukan tak menghargai maksud dan cita-cita Kepolisian RI yang ingin segera mengembalikan kepercayaan terhadap efektifitas dan efisiensi mereka dalam memberantas korupsi. Pada gilirannya -- jika institusi itu memang sepenuhnya telah bertransformasi menjadi lembaga yang sungguh-sungguh 'melindungi dan melayani' masyarakat dan benar-benar terbebas dari prilaku lancung KKN -- Indonesia tentu akan mengamininya.
Tapi tidak sekarang ketika jauh panggang dari api.
Saya khawatir cita-cita Densus Tipikor dan kewenangan yang digadang-gadangnya hanya menyempurnakan 'upaya pembingkaian' dan langkah strategis pihak-pihak yang ingin melumpuhkan KPK.
Marilah selesaikan persoalannya secara satu per satu. Tapi dengan tetap menjunjung tinggi iktikad yang kita canangkan bersama ketika memulai proses Reformasi dulu. Yaitu, menempatkan praktek korupsi-kolusi-nepotisme sebagai musuh bersama dan secara bersungguh-sungguh memerangi hingga ke akar-akarnya.
Maka yang pertama harus dipastikan steril dari bibit penyakit itu adalah lembaga-lembaga Negara yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk memberantasnya. Termasuk dan tidak terbatas pada lembaga Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian.
Begitu juga mereka yang terpilih dan duduk di dewan-dewan perwakilan rakyat. Mulai tingkat pusat hingga kabupaten/kota.
Setelah semua itu terbukti nyata, barulah kita pantas dan layak membicarakan kemewahan hak dan wewenang yang sekarang 'dimiliki' KPK melalui UU 30/2002 tersebut.
Bagi yang tak terlibat maupun memahami apa yang berlangsung dan terjadi di Indonesia pada tahun 1998-1999 itu, buka, baca, dan pelajarilah sejarahnya kembali. Sebab semua fakta dan data-datanya tersedia jauh lebih lengkap dan sistematis dibanding peristiwa G30S tahun 1965. Bahkan dibandingkan dengan proses kemerdekaan republik ini pada tahun 1945.
Sebab Revolusi Budaya Digital telah mulai bergulir di penghujung abad 20 itu. Hampir tak ada lagi informasi yang bisa disembunyikan ataupun disesatkan.