Seminggu terakhir saya ingin menarik diri dari perdebatan tak mutu soal pilkada Jakarta. Sebab sesungguhnya begitu banyak hal lain yang jauh lebih asyik sekaligus menarik untuk diulas dan didiskusikan.
Bangsa ini sebetulnya sedang terseok dan semakin parah. Ekonomi yang pelan tapi pasti semakin semaput, mestinya jauh lebih penting. Pendapatan pajak di bulan-bulan pertama 2017 ini meleset jauh dari target. Tahun lalu, kalau hasil tax amnesty dikeluarkan dari perhitungan, kita tekor hampir 30 persen. Kini, Sri Mulyani pun dikabarkan mulai memangkas anggaran. Proyek infrastruktur Jokowi juga terancam karena kelangkaan sumber pembiayaan. Efek anggaran yang cekak dan iklim bisnis yang masih tak bergairah sudah merambat ke perbankan. Jumlah kredit macet meningkat drastis. Dari liputan majalah Tempo beberapa minggu lalu, jika tak ada kebijakan yg 'memudahkan' dari OJK, kredit yg berstatus call-1 sekarang mungkin sudah naik status call-2. Sementara jumlah yg termasuk kategori call-1 sudah mencapai kisaran 20% dari hampir IDR 5 ribu triliun yg disalurkan.
Belum lagi soal kesigapan bawahan Jokowi-JK mengikuti irama perubahan hari ini. Masalah penyikapan terhadap angkutan online adalah salah satunya. Begitu pula kebijakan perpajakan yang belum menunjukkan hal-hal yang menjanjikan selain gertakan.
Lalu urusan korupsi yang tak habis-habisnya. Setelah kasus mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, kemudian menyusul pimpinan tertinggi PT PAL. Kini kita pun disuguhkan kisah biadab korupsi e-ktp yg berjumlah triliunan. Besok entah apa lagi.
Tak cukup disitu, tiba-tiba kita dikagetkan dengan penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan. Tokoh KPK yg selama ini selalu kebagian menangani kasus kakap di institusi anti rasuah yg anak kandung Gerakan Reformasi 1998 itu. Tak kurang Jusuf Kalla yang melontarkan sinyalemennya soal keterkaitan penyerang Novel dengan kasus kakap yg sedang ditanganinya.
Perlawanan sengit terhadap kebijakan gross-split yang diusung Jonan dan Archandra, adalah hal lain lagi. Maksud dan tujuan yg sesungguhnya crystal clear, terus-menerus disanggah. Semata hanya karena kebijakan itu sangat berpotensi membalikkan periuk nasi mereka yg selama ini nyaman menikmati kemewahan yg tersedia.
Jokowi dan pasukannya memang bekerja keras melakukan banyak hal di tengah situasi yg sesungguhnya runyam ini. Divestasi Freeport yang sempat pongah coba-coba melawan adalah salah satunya. Soal bagaimana dan darimana mengupayakannya tentu hal lain lagi.
Begitu pula ambisi menyelesaikan kemacetan. Tak kurang 3 kali Jokowi memperbaharui Kepres terkait LRT. Menunjukkan secara gamblang betapa langkah-langkah itu tak disiapkan matang. Kini, ada kekhawatiran proyek itu akan mengorbankan transformasi yang sebelumnya telah dilakukan ignasius Jonan di PT KAI. Sebab mereka dipojokkan untuk memikul tanggung jawab investasi proyek LRT yg sempat terbengkalai.
***
Saya berkeyakinan penyelesaian semua soal ini tak bisa dilakukan dengan cara-cara konvensional. Niat yang tulus, maksud yg baik, dan kerja yg jujur saja tak cukup. Harus disertai terobosan-terobosan inovatif dan kreatif. Harus berani mencoba cara dan sudut pandang yang lain. Melawan pakem-pakem lama yg sesungguhnya sudah terbukti tak efektif. Korup pula.
***
Penyerangan terhadap Novel Baswedan saat usai sholat Subuh beberapa hari lalu, adalah hal yang pertama mengusik 'puasa' saya terhadap gonjang-ganjing politik hari ini. Lalu, 'pengusiran' yang dialami Jarot saat sholat Jumat di Tebet tadi siang.
Kisah-kisah yg memecah-belah bangsa dan sarat dengan maksud makar seperti yang dilakukan komunis tahun 1960-an lalu, kini berseliweran tanpa sungkan.
***
Kejutan lain adalah soal investasi Saudi Arabia yang ketika rajanya berkunjung kemarin, kita begitu sibuk melayani. Padahal, ketertarikan mereka sesungguhnya hanya pada value chain sda minyak mentah yg dikuasainya. Sekitar 80-90 persen digunakan untuk membiayai pembangunan kilang yang hasilnya kelak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bangsa kita. Sementara komitmen mereka kepada Cina hampir 10 kali lipat untuk beragam aktivitas.
***
Tapi sebagian perhatian kita tetap saja disedot untuk hal-hal yang sama sekali tak produktif. Apalagi menolong keadaan.
Saya masih optimis tapi juga sangat gelisah. Amat khawatir.
Tidak bisakah kita belajar mensyukuri kehadiran Joko Widodo dan sejumlah sosok lain yang ingin membawa perubahan di republik tercinta ini?
Rupanya mimpi buruk era kepemimpinan Suharto dan Orde Baru yang warisannya masih membekas hingga hari ini, belum membuat kita jera.
Atau, kita pura-pura tak tahu kalau keinginan rezim itu kembali begitu menggebu?
Jika itu terjadi, menangis tersedu-sedu pun tak ada lagi gunanya.
Jadi, bacalah sejarah!
Jilal Mardhani, 15-4-2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H