Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Preman

2 Februari 2017   11:00 Diperbarui: 2 Februari 2017   11:20 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kini, pemaknaan istilah itu rupanya telah meluas. Tak lagi bagi mereka yang 'dikenal' nekad beradu jotos ---berkelahi secara fisik hingga mencederai bahkan menghilangkan nyawa orang lain --- sekedar untuk memenuhi kehendak maupun menyelesaikan perselisihan. Prilaku intimidatif itu berkembang untuk menciutkan nyali yang lain sehingga akhirnya mereka cenderung atau terpaksa mengalah, menghindar, bahkan menghambakan diri. Intinya, terjadi pengkondisian yang tak setara dan berimbang. Para preman, seperti biasanya, memaksakan kehendak agar menguasai berbagai keistimewaan.

Tabiat buruk itu ternyata telah merasuk mereka yang 'memiliki' bermacam jenis 'kelebihan' yang lain. Mulai dari otoritas yang diamanahkan untuk menjalankan pemerintahan, pengaruh politik, kedudukan sosial dan kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga keimanan dan pemahaman agama.

Pangkal soalnya mungkin pada kesepakatan. Baik yang berlaku formal maupun informal.

Mereka yang 'disepakati' memiliki dan menguasai 'kelebihan' itu lalai, abai, bahkan sengaja menyalah-gunakannya. Padahal, kita selalu mengagungkan ungkapan 'mensyukuri segala nikmat Tuhan untuk kebahagiaan hidup dan kesejahteraan bersama seluruh umat manusia'.

Bukankah semestinya 'kelebihan yang dimiliki' itu didaya-gunakan untuk mencerahkan yang lain?

Lihat betapa tololnya kita sekarang!

Sungguh sangat tak terhitung waktu, energi, materi, dan perasaan yang disia-siakan hanya untuk saling menjatuhkan calon-calon pemimpin yang telah bersedia menampilkan dirinya ke depan. Sudah barang tentu mereka semua adalah sosok-sosok istimewa dan terpilih. Jika tidak, bagaimana mungkin mampu mencapai status calonnya itu?

+++

Tapi ternyata, kearifan manusia sebagai makhluk sosial yang kodratnya selalu hidup bersama dengan yang lain itu, semakin sirna dan kita semua turut tidak memperdulikannya!

+++

Semua karena label-label subyektif yang hampir diluar kekuasaan kita sebagai manusia.

Siapa yang bisa mengganti garis turunan saya yang berdarah Tapanuli menjadi Cina?

Apakah kalian akan memeluk agama yang kalian yakini sekarang jika bukan lahir dari pasangan bapak-ibumu yang beriman pada hal yang sama?

Satu-dua hijrah yang terjadi --- dari muslim ke kristen, budha, katolik, hindu, atau yang lain, dan sebaliknya --- hanyalah pengecualian yang tak mungkin digeneralisasi sampai ada Lebaran Kuda nanti kan?

Mengapa kita terus dan semakin asyik berbantahan --- bahkan bernafsu saling mengenyahkan --- untuk menafikan kodrat keberagaman hidup yang niscaya itu?

+++

Hal yang paling celaka, pengabaian kodrat kebersamaan kita justru hampir merata. Bukan hanya pada masyarakat luas yang memilih tapi juga segelintir yang dipilih karena 'memiliki kelebihan' itu.

Mereka semua memilih jalan pintas kehidupan preman!

Semua 'kelebihan' yang dimiliki malah digunakan untuk meniadakan satu dengan yang lain. Bukan lengkap-melengkapi. Tidak saling mencerahkan. Padahal, pasti tak ada kesempurnaan yang mampu dikuasainya sendiri.

Kemarin saya coba mengilustrasikan lewat 'dialog imajiner' yang berlangsung diantara 3 pasangan calon Gubernur DKI hari ini. Betapa sesungguhnya tergambar jelas di sana kerumitan persoalan yang dihadapi Jakarta yang tak mampu diselesaikan melalui gagasan pasangan calon secara sendiri-sendiri. Dari sudut pandang disiplin ilmu tata ruang dan management perkotaan yang tersirat di sana, sesungguhnya terlihat jelas, tak ada pemikiran pasangan calon yang telah mengemuka selama ini, mampu menjangkau esensi persoalan mendasar yang diungkapkan. Dari apa yang kita sama-sama saksikan dan ketahui, semua kandidat masih disibukkan dengan upaya 'pemadaman kebakaran' yang sedang terjadi. Itupun masih diragukan efektifitasnya. Semua belum menjangkau pemikiran dan gagasan antisipatif agar mampu menghindar dari  'kebakaran' baru yang kelak mungkin lebih dahsyat.

Ternyata para preman itu terlanjur asyik mengintimidasi. Mereka  betul-betul abai, lalai, bahkan sengaja menistakan 'kelebihan yang dimilikinya'. Semakin jauh dari cita-cita menyelenggarakan kehidupan bersama dan kemanusiaan yang lebih baik.

Omong kosong!

Sesungguhnya kita sedang beramai-ramai menanggalkan, bahkan meninggalkan Pancasila kan?

Akuilah!

Adalah paling celaka jika kita sudah mendustai diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun