Hal yang dimaksud dengan tarif untuk mengurus penerbitan dan pengesahan STNK adalah biaya administrasi. Ongkos yang dikenakan untuk mengganti biaya-biaya yang harus dikeluarkan agar pemerintah mampu menyelenggarakan administrasi penerbitan dan pengesahan STNK.
Pertanyaan pertamanya adalah, mengapa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) itu diperlukan?
STNK adalah dokumen legal kendaraan yang menandakan bea maupun perpajakannya sudah beres. Baik untuk kemewahan memperoleh dan memiliki, maupun menggunakannya. Soal bea dan pajak kepemilikan, umumnya hanya dilakukan sekali. Yaitu saat pertama kali kendaraan itu masuk ke Indonesia dan ketika kita membelinya. Sementara terkait penggunaan, biasanya pajak akan dikenakan setiap tahun, selama kendaraan belum secara resmi beralih kepada pihak lain.
Seluruh pajak-pajak itu adalah untuk pendapatan negara. Agar kemudian dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan kegiatannya. Termasuk mengelola administrasi pelayanan untuk menerbitkan, mengesahkan, maupun menertibkan STNK itu sendiri.
Biaya administrasi sejatinya ditetapkan ketika ada ongkos minimal yang perlu dikeluarkan untuk menyelenggarakan kegiatan. Terutama kalau pemasukan yang diperoleh dari kegiatan tersebut tidak memadai.
Misalnya dalam usaha perbankan. Nasabah dikenakan biaya administrasi setiap bulan untuk mengganti biaya minimal yang harus dikeluarkan. Baik untuk pengelolaan data transaksinya maupun pelaporan atau pertanggung jawaban bank kepada nasabah. Artinya, walau pemasukan yang diperoleh tidak memadai bahkan tidak ada --- karena dana tabungan yang disimpan nasabah sangat minim --- bank yang bersangkutan tetap perlu membiayai pelayanan dan kegiatan administrasinya.
Oleh karena itu, untuk memberikan daya tarik, acap kali bank menawarkan pembebasan biaya administrasi jika dana mengendap yang disimpan nasabah pada bank tersebut di atas jumlah tertentu. Pendekatan demikian digunakan sebagai salah satu instrumen untuk memenangkan persaingan pelayanan dengan bank lain.
Begitu juga yang jamak dilakukan ketika mereka menawarkan produk kartu kredit. Sering kita temukan penawaran pembebasan biaya iuran jika memenuhi syarat ketentuan akumulasi transaksi minimal yang ditetapkan dalam setahun. Artinya, keuntungan yang diperoleh Bank dianggap lebih dari cukup sehingga nasabah dibebaskan dari biaya adminstrasi yang harus mereka keluarkan. Tujuannya tentu agar nasabah senang dan loyal sehingga tak beralih ke bank lain.
+++
STNK adalah monopoli pemerintah. Selain mereka, tak ada lagi yang berhak dan diperbolehkan melakukannya. Begitu juga dalam hal urusan penerbitan KTP, Kartu Keluarga, Paspor dan seterusnya.
Sebetulnya, sangat tak pantas bahkan menggelikan ketika adminstrasi pengurusan STNK yang telah menghasilkan pendapatan yang jauh lebih besar dan terus meningkat setiap tahun itu, pemerintah masih merasa perlu mengenakan biaya administrasi kepada masyarakat. Padahal, untuk pengurusan KTP dan KK saja sudah banyak yang digratiskan. Padahal, tak ada sumber pemasukan langsung seperti STNK di sana.
Sebetulnya, masyarakat tak punya kepentingan apapun terhadap ketertiban adminstrasi itu. Justru pemerintahlah yang perlu cara untuk memudahkannya mengawasi dan mengetahui masyarakat yang sudah maupun belum melaksanakan kewajiban yang diamanatkan. Jika biaya untuk menjalankan cara tersebut dibebankan lagi kepada masyarakat, sesungguhnya amat sangat tidak pantas lagi. Sikap dan cara tersebut sangat cenderung menjadi kesemena-menaan.
Sebab masyarakat ditempatkan pada posisi tanpa pilihan selain mengikuti kehendak penguasanya. Seolah mampu untuk memiliki kekayaan (dalam hal ini kendaraan) adalah 'dosa' sehingga perlu ditebus dengan suatu 'biaya' yang jenis dan besarannya bersifat liar. Karena tak ada acuan obyektif di sana. Padahal, memiliki kendaraan itu bisa jadi karena ketidakmampuan pemerintah sendiri melaksanakan kewajibannya menyediakan dan menyelenggarakan angkutan publik yang memadai dan dibutuhkan masyarakat, misalnya.
Persoalan biaya administrasi STNK ini merupakan salah satu yang perlu dirumuskan ulang mulai dari konsepsi dasar pemahamannya. Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla tak perlu sungkan memperbaiki berbagai pelengcengan maupun kesalah-pahaman konsepsi pelayanan masyarakat yang sesungguhnya diamanatkan konstitusi itu.
Jadi, pertanyaan keduanya adalah, mampukah pemerintah menyelenggarakan administrasi pelayanan yang berkeadilan sosial, sebagaimana diamanatkan konstitusi kita?
Ya, kita!
Sebab semua ini bukan persoalan kami dan mereka, tapi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H