Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik

Transformasi yang Tak Diinginkan

22 November 2016   02:50 Diperbarui: 22 November 2016   03:29 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak semua proses perubahan memang diinginkan. Penebalan kerak pembuluh darah di dalam tubuh karena makanan, minuman, prilaku, dan gaya hidup yang tak sehat, adalah salah satu contohnya. Misal yang lain, seorang anak yang ketika dewasa menjadi pelaku kriminal sadis yang berdarah dingin --- karena kemiskinan dan kekerasan lingkungan yang terbiasa dihadapi dalam masa pertumbuhannya --- adalah sebuah transformasi yang celaka. Tak ada urusan genetika disana. 

Jadi, tak semua transformasi bermakna positif, bermanfaat, atau sejalan dengan idealisme yang dicita-citakan. Baik oleh individu yang mengalaminya maupun bagian lebih besar dimana hal yang bertransformasi itu berada. Sebab, metamorfosa juga berlangsung pada hal-hal buruk dan tidak diinginkan. Disengaja, disadari, ataupun tidak. 

***

Hari ini salah satu transformasi yang  menakutkan sebagian kelompok --- tapi justru dipandang sebaliknya oleh yang lain --- sedang berlangsung. Syarat perlunya hampir cukup : tentang kesadaran (perlunya) perubahan ---sense of urgency. Hal utama dan pertama dari 8 langkah yang umum ditempuh untuk mesukseskannya (John P. Kotter, 'The Heart of Change', 2002). 

Delapan langkah-langkah itu adalah : 1. terbangunnya kesadaran untuk berubah; 2. mengerahkan motor penggerak perubahan; 3. kapitalisasi visi dan motivasi aktual yang tepat; 4. membangun komunikasi untuk mengokohkan keyakinan terhadap perubahan yang dilakukan; 5. memberdayakan aksi-aksi yang sejalan dengan arah perubahan; 6. merancang sekaligus mewujudkan kemenangan demi kemenangan yang bersifat jangka pendek; 7. mengadakan bantuan penuh terhadap kesulitan yang dihadapi oleh bagian dari transformasi agar tak mengendurkan semangat; dan 8. mengukuhkan keyakinan tentang perubahan sebagai budaya yang semestinya.

***

Persoalannya, pemahaman akan perlunya perubahan yang sedang berkembang di tengah masyarakat kita saat ini terpolarisasi pada 2 kubu ekstrim. Satu dengan yang lain saling menganggap lawannya 'keliru'. Sehingga menyisakan ruang yang lengang diantara keduanya. 

Mengapa? 

Karena di salah satu kutub, dipenuhi sebagian kelompok mayoritas yang sedemikian rupa merasa perlu mengukuhkan keberadaannya. Secara berlebihan mereka merasa terhina oleh sebuah 'ketidak-sengajaan kecil' yang dilakukan Ahok yang kebetulan dari kelompok minoritas. Meskipun sesungguhnya untuk hal yang terbilang sepele. Sebab, contoh yang serupa meski tak sama --- dengan 'kadar penghinaan yang tergolong lebih dahsyat' --- nyatanya tak dihebohkan dengan setara.

Kutub yang lain menganggap 'kesalahan tidak sengaja' yang dilakukan Ahok itu tak perlu dibesar-besarkan. Meski tak berarti mereka ingin mengabaikan proses hukum formal yang tetap harus dijalankan pria berdarah Tionghoa itu. 

***

Apa sesungguhnya yang sedang berlangsung?  

Pertama, mungkin karena label pribumi dan non-pribumi  masih tetap bersemayam di benak sebagian besar kita. Setipis apapun, sekat pemisah itu belum sungguh-sungguh sirna. Sedikit saja 'kekeliruan' yang dilakukan sang minoritas maka sekat tersebut segera menebal. Lalu mempertegas kembali pemisahan 'kami' dan 'mereka'. Jadi, Indonesia yang sesungguhnya masih hadir dengan ragu di bumi pertiwi ini.

Kedua, mungkin karena berketuhanan menjadi hal yang wajib. Bukan keberagamannya. Status yang mengulas hal ini pernah saya sampaikan beberapa waktu lalu di bawah tajuk 'Dialektika Penistaan'. Untuk alasan yang hampir sama maka penjelasannya tak lagi saya ulang disini. 

Ketiga, mungkin karena 'berdagang' merupakan budaya utama bangsa kita. Bukan kompetisi yang konstruktif. Bersaing karena keunggulan kemampuan. Bukan karena kekayaan yang sesungguhnya anugerah Tuhan. Hal yang mengantarkan kita pada sikap seolah apapun menjadi halal untuk diperdagangkan. Termasuk kekuasaan hingga keyakinan. Lalu berketuhanan menjadi segala-galanya hingga mungkin menyingkirkan kemanusiaannya, harmonisasi sesama makhluk ciptaan Tuhan itu sendiri. Sebab, hal yang kita perdagangkan adalah milik Nya. Ada kekhawatiran Dia tak berkenan, marah, lalu mencabut semua 'kemewahan istimewa' yang dianugerahkan Nya. Lalu kita terserat dalam bangunan logika-logika yang mensetarakan Sang Khalik dengan makhluk yang lemah, serba kekurangan, dan penuh kebencian. Maka yang tak seiman selalu berada di seberang (lihat status lain yang berjudul 'Manusia, Tuhan, dan Diri Sendiri).

***

Ke tiga kemungkinan itu lalu bertali-temali membangun asbab-musabab. Seolah hidup ini hanya karena kebaikan Tuhan yang telah menganugerahkan semua kekayaan untuk diperdagangkan agar pengikutnya dapat menikmati kemewahan hidup. Maka mereka yang tak seiman senantiasa mengancam dan harus terus diawasi. Jadi, bagaimanapun dan apapun, mereka adalah musuh. Termasuk keturunan dari para pendatang yang telah berkembang biak di sini tapi memiliki keyakinan yang berbeda. 

Sebaliknya, kelompok pendatang lain yang memiliki keyakinan dan Tuhan yang sama, sekecil apapun mereka, adalah mitra. Menjadi saudara karena seiman. Jauh lebih berharga dan mulia dibanding kerabat kandung sekalipun. Apalagi mereka yang memiliki 'keyakinan' berbeda.

***

Inilah salah satu peninggalan sejarah yang sewaktu-waktu bisa membawa bencana bagi bangsa ini. Musuh yang bergentayangan di tengah kehidupan kita yang tanpa aba-aba memadai, siap menerkam dan menghancurkan dalam seketika. Sebuah pekerjaan rumah yang memang amat sangat sulit dan terbukti belum berhasil dituntaskan hingga sekarang. 

Jika kita mencintai bangsa ini, singkirkanlah segera apapun yang bermakna memisahkan : pribumi dengan non-pribumi, kelompok agama mayoritas dan minoritas, garis keturunan yang istimewa atau bukan, dan seterusnya.  

Enyahkan saja semua istilah itu, berikut dengan segala perlakuan yang berkait padanya. 

Saya semakin tergelitik untuk menguji hipotesa 'bhinneka tunggal ika' memiliki makna yang jauh lebih sempurna dibanding 'ketuhanan yang maha esa' yang tercantum pada sila pertama Pancasila yang menjadi dasar terbentuknya negara kita.

***

Kini, sekonyong-konyong tak ada lagi kedamaian di 'ruang tengah' itu. Tempat yang nyatanya pernah hadir dalam semu karena kita menganggapnya telah cukup memelihara keberagaman. Di sana seolah-olah kita merayakan kemajemukan. Padahal, kondisi asismetris tetap berlangsung dan terpelihara. Mengintip dengan sabar menanti peluang. Saling meniadakan satu dengan yang lainnya. Sebab memang tak pernah setara.

***

Lalu pertanyaannya, sungguhkah kualitas 'pemahaman' dan 'kesadaran' mereka yang tergabung di kutub yang sedang bertransformasi itu berimbang secara layak? 

Saya meragukannya.

Sebab perihal 'keimanan' yang mendasarinya adalah sesuatu yang bergerak bebas antara rasionalitas dan dogma. Tak semua yang berkesempatan --- dan juga berkemampuan --- sama untuk menyikapinya. Kehidupan duniawi sehari-hari yang kadang cukup melelahkan, menyisakan ruang yang sempit. Menggiring sebagian diantaranya ke ranah keyakinan dogmatis. Meskipun menyangkut hal-hal yang menuntut rasionalitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun