Celah adalah sela antara dua benda.
Atau 'ruang kosong' yang memisahkan dua 'hal'.
Sela atau ruang pemisah sempit yang dapat/sengaja/terpaksa diabaikan karena kedua 'benda' atau 'hal' itu (memang) tak bisa menyatu sempurna.
Dikatakan DAPAT diabaikan jika keberadaannya dianggap tak material, atau mengganggu, maksud utama penyatuan kedua benda atau hal yang bersanding.
Disebut SENGAJA karena hasil yang diperoleh dari upaya yang harus dilakukan untuk menutupinya tak akan sebanding. Atau bisa juga karena celah itu memang diperlukan sebagai penanda yang membedakan. Ruang 'kecil' yang memberi jarak secukupnya. Agar keduanya berdampingan harmonis.
Dibilang TERPAKSA karena kedua benda atau hal itu tak mungkin bersatu padu. Keberadaannya memang perlu. Jika tanpa celah maka dapat mengaburkan makna masing-masing yang justru perlu dan penting.
Apapun, celah merupakan ruang (sela) yang tak bisa diabaikan begitu saja. Tapi juga tak mesti memusingkan kepala untuk terus menerus memikirkannya.
Kekosongan pada sebuah celah bisa saja diisi oleh 'sesuatu' yang memang sengaja 'diundang' menghuninya. Tapi, sering juga terjadi karena 'sesuatu' yang memanfaatkan kesempatan untuk 'menyelinap' di sana.
***
Sisa makanan yang terselip di celah gigi bakal membawa petaka jika dibiarkan bercokol dan tak segera dibersihkan.
Pengendara sepeda motor di kota-kota Indonesia menyelinap di antara kendaraan roda empat atau lebih yang berseliweran di jalan raya. Sebetulnya populasi sepeda motor menjamur dan berkembang pesat karena negara yang abai menyediakan angkutan umum memadai. Ironisnya, keberadaan 'inisiatif publik' yang mengupayakan fasiltas transportasi untuk menutupi 'ketidak mampuan' negara itu justru tak dihiraukan. Ruang pergerakannya tak pernah diselenggarakan. Bahkan kadang mereka yang telah meringankan beban dan membantu pertumbuhan industri dalam negeri itu, lebih banyak dikeluhkan bahkan dicerca.
Lalu mereka 'bangkit' dan 'bergerak' sendiri. Memanfaatkan celah-celah yang tersedia di antara mobil, bus, dan truk yang menjadi 'anak emas' jalan-jalan raya. Kemudian perlahan tapi pasti 'merebut dan menjajahnya sebagai wilayah kekuasaan', lalu 'membangun dan mengembangkan kebiasaan dan prilaku baru', hingga akhirnya menabalkannya sebagai 'budaya berterima' yang harus dihormati yang lain.
Ahok tak pernah menyangka kata-katanya - tentang Surabaya yang setara Jakarta Selatan dalam penjelasan panjang yang tanpa maksud sama sekali menghina atau mempermalukan Risma - ternyata menghadirkan celah yang segera dikerubuti mereka yang suka-cita membangun kontraversi dan permasalahan yang tak perlu. Dua sosok revolusioner yang telah menghadirkan harapan kehidupan madani yang progresif dan beradab di Jakarta dan Surabaya itu, semula saling menghormati satu dengan yang lain. Celah di atas kemudian menghadirkan luka yang menggiring keduanya (bisa) bertikai. Setelah itu, tentu ada yang bersorak sorai!
Begitu pula dengan kabar dwi kewarganegaraan Archandra Thahar yang sedang heboh hari ini. Jika berita panas itu benar adanya, sang profesional muda berprestasi yang sebelumnya hampir tak dikenal di Nusantara tapi 'diimport' langsung oleh Jokowi dari Amerika untuk menggantikan Sudirman Said itu, mungkin tak pernah menyadari celah 'fatal' yang terselip antara statusnya sebagai Warga Negara Amerika dan Indonesia. Konon, jika ia langsung berterus terang, celah itu mungkin dapat (terpaksa) diabaikan.
Celah memang niscaya tapi bagaimanapun perlu disikapi dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
Bisa jadi tak penting. Tapi kadang sangat menjengkelkan.