Lalu mereka 'bangkit' dan 'bergerak' sendiri. Memanfaatkan celah-celah yang tersedia di antara mobil, bus, dan truk yang menjadi 'anak emas' jalan-jalan raya. Kemudian perlahan tapi pasti 'merebut dan menjajahnya sebagai wilayah kekuasaan', lalu 'membangun dan mengembangkan kebiasaan dan prilaku baru', hingga akhirnya menabalkannya sebagai 'budaya berterima' yang harus dihormati yang lain.
Ahok tak pernah menyangka kata-katanya - tentang Surabaya yang setara Jakarta Selatan dalam penjelasan panjang yang tanpa maksud sama sekali menghina atau mempermalukan Risma - ternyata menghadirkan celah yang segera dikerubuti mereka yang suka-cita membangun kontraversi dan permasalahan yang tak perlu. Dua sosok revolusioner yang telah menghadirkan harapan kehidupan madani yang progresif dan beradab di Jakarta dan Surabaya itu, semula saling menghormati satu dengan yang lain. Celah di atas kemudian menghadirkan luka yang menggiring keduanya (bisa) bertikai. Setelah itu, tentu ada yang bersorak sorai!
Begitu pula dengan kabar dwi kewarganegaraan Archandra Thahar yang sedang heboh hari ini. Jika berita panas itu benar adanya, sang profesional muda berprestasi yang sebelumnya hampir tak dikenal di Nusantara tapi 'diimport' langsung oleh Jokowi dari Amerika untuk menggantikan Sudirman Said itu, mungkin tak pernah menyadari celah 'fatal' yang terselip antara statusnya sebagai Warga Negara Amerika dan Indonesia. Konon, jika ia langsung berterus terang, celah itu mungkin dapat (terpaksa) diabaikan.
Celah memang niscaya tapi bagaimanapun perlu disikapi dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
Bisa jadi tak penting. Tapi kadang sangat menjengkelkan.