Kegelisahan yang dicerminkan pada artikel Project Preparation Key to Lure Private Investment pada harian The Jakarta Post tanggal 30 Juni 2016 kemarin patut disimak. Dikatakan dalam 10 tahun terakhir ini tak sampai 10 proyek kemitraan pemerintah-swasta yang mampu mencapai tahap pra kualifikasi, boro-boro di-tender-kan! Baru 1 proyek yang telah tuntas kesepakatan pembiayaannya setelah terkatung-katung selama 3 tahun, yaitu Proyek Pembangkit Batang senilai USD 2.1 miliar.
Infrastruktur memang persoalan besar yang dihadapi Indonesia yang selama ini begitu 'terpusat' di Jawa. Membangkitkan kutub-kutub pertumbuhan baru di wilayah lain Indonesia memang sangat bergantung dari ketersediaan infrastrukturnya. Itulah alasan utama pencanangan lebih dari 200 proyek strategis - 30 diantaranya masuk daftar prioritas - yang harus segera diselesaikan. Hingga tahun 2019 mendatang, perkiraan biaya yang dibutuhkan sekitar USD 400 miliar. Jika dihitung dengan kurs hari ini nilainya lebih dari Rp 5.200 triliun.
Fakta 'sejarah' berkait kelambanan birokrasi yang dikemukakan - sebagaimana dikutip pada awal tulisan di atas - layak menjadi alasan keraguan pada kemampuan merealisasikan proyek-proyek strategis tersebut. Meskipun sangat dibutuhkan tapi terpaksa tetap dipandang sebagai hal yang sangat ambisius.
Artikel yang ditulis Bernardus Djonoputro tersebut menekankan sekali lagi pentingnya rencana gamblang pemerintah agar partisipasi swasta betul-betul terwujud. Sebab - untuk memgorkestrasi bermacam sumber daya dan kekayaan miliknya pada kerjasama yang akan dilakukan, selain mendemonstrasikan kemampuan dan pengelaman global dalam inovasi pendaya gunaan asset yang kelak dikembangkan - pihak swasta harus memastikan imbalan keuntungan finansial dan manfaat ekonomi yang diperolehnya.
Selain perencanaan yang jelas, tentu mereka juga menuntut implementasi berbagai proses tata laksana yang jamak berlaku secara internasional, termasuk tata cara penyelesaian jika terjadi perselisihan, serta kejelasan sistem kelembagaan untuk mengkoordinasikan proyek yang dikerjakan, serta dasar-dasar hukum dan segenap aturan yang memayungi.
Managing Partner HD Asia Advisory itu kemudian menyinggung sejumlah kesungguhan yg perlu dilakukan pemerintah. Mulai upaya mendorong kemudahan sindikasi perbankan yg akan mendukung sampai masalah legislasi di tingkat Nasional maupun Daerah yang mendorong percepatan realisasi kemitraan pemerintah dan swasta pada proyek2 strategis itu.
***
Semua yang disampaikan memang layak diperhatikan sungguh-sungguh. Tapi saya melihat ada persoalan jauh lebih pelik yang harus segera dipecahkan juga.
Cita-cita pemerintahan Jokowi yang ingin menggeser pusat pertumbuhan tidak terkonsentrasi di Jawa - tapi tersebar di berbagai wilayah Nusantara - adalah memang semestinya. Harus diakui jika selama ini kesungguhan mengembangkan wilayah luar Jawa tak memadai. Infrastruktur yang dibangun dapat dikatakan terbatas pada upaya memudahkan eksploitiasi kekayaan sumber daya alam yang tersebar. Belum menjangkau pendaya-gunaan nilai tambah yang semestinya dapat menjadi motor pertumbuhan di daerah-daerah dimana sumber daya alam itu berada. Manfaat dan keuntungan terbesar eksploitasi yang terjadi memang hanya dinikmati 'kemitraan Pemerintah dan Swasta' yang berada di pusat kekuasaan, Jakarta.
Sejak merdeka hingga hari ini, hampir seluruh wewenang dan kekuasaan yang menentukan ada di tangan Jakarta. Daerah tempat sumber daya alam itu berada hanya bersifat melengkapi. Bukan hanya terkait dengan administrasi perizinannya tapi juga dalam menetapkan mitra investasi utama.
Kita tahu, seluruh lembaga perbankan dan pembiayaan non-bank utama bermarkas di Jakarta karena proses pengambilan keputusan memang berada di sana. Sebagaimana juga perusahaan-perusahaan raksasa yang menjadi mitra investasi eksploitasi sumber daya alam daerah yang menjadi nasabah utama mereka. Kantor-kantor cabang lembaga perbankan dan non-bank tersebut lebih berfungsi sebagai kasir dan pelayanan konsumen semata. Tentunya selain pembiayaan aktivitas 'pendukung' dan 'aktivitas konsumtif' yang menjadi jatah daerah. Itupun tak lepas dari 'rekomendasi dan jaminan' pemain utama di Jakarta.
Semua itu tak terlepas dari tanggung jawab dan wewenang birokrasi yang dimiliki daerah. Sebagaimana dimaklumi, pembiayaan pembangunan dan operasional pemerintah daerah yang berlaku hingga hari ini masih menggunakan 'kebijakan subsidi' pusat. Pendapatan aslinya tak mungkin bisa menutupi seluruh kebutuhan. Oleh karena itu, direkayasalah 'subsidi pusat' tersebut dalam judul dana 'perimbangan' yang selain dari 'bagi hasil pajak dan bukan pajak' juga bersumber 'dari dana alokasi umum' dan 'dana 'alokasi khusus'.
Hal di atas terjadi karena struktur kewenangan dan tanggung jawab daerah yang diatur undang-undang memang demikian. Kewenangannya tak memungkinkan untuk 'berjuang memenuhi' kewajiban dan kebutuhan sedangkan tanggung-jawabnya tak menjangkau hal-hal pokok dan mendasar yang 'harus dipenuhi'.
Bukankah infrastruktur strategis yang ingin dikembangkan sesungguhnya bertujuan untuk merangsang pusat pertumbuhan di daerah terkait?
Lalu bagaimana tanggung jawab daerah tersebut terhadap pengembalian investasinya?
Kewenangan apa yang dimiliki daerah hingga dapat dan harus didaya-gunakannya untuk memenuhi tanggung jawab tersebut?
Prinsip 'no free lunch' semestinya dipertimbangkan sebagai bagian pendekatan strategis dari rencana pembangunan infrstruktur yang akan dilakukan. Keterlibatan daerah seharusnya tidak sebatas 'melengkapi' ketentuan administratif birokrasi saja. Tapi juga terhadap kewajiban mempertanggung jawabkan investasi termasuk kemampuan mengembalikannya.
Kewajiban tersebut tentu akan membebani pemerintah daerah mengupayakan peningkatan sumber pemasukan untuk mengembalikan. Artinya, realisasi kutub pertumbuhan baru akan menjadi agenda utamanya, dan mereka tak lagi sekedar pelengkap penderita atau pemeran pembantu semata. Dan pertumbuhan ekonomi itu kelak tercermin dari jumlah pajak yang dihasilkan.
Tapi yang menjadi persoalan, pemerintah daerah tak memiliki hak dan wewenang langsung terhadap pajak yang dibangkitkan aktifitas ekonomi yang berlangsung di wilayahnya! Pajak merupakan wewenang penuh pemerintah pusat.
Investasi USD 400 miliar yang dicanangkan untuk membiayai 200 proyek infrastruktur strategis di seantero Indonesia itu rencananya akan dibiayai melalui hutang luar negeri. Tentunya akan diikuti kewajiban cicilan pokok dan bunga untuk melunasinya. Sementara kita maklumi sumber pemasukan negara dari pajak berperan significant karena pendapatan bukan pajak yang kini semakin kecil setelah masa keemasan eksploitasi sumberdaya alam yang telah berlalu.
Tidakkah layak dipertimbangkan untuk men-desentralisasi-kan (sebagian) kewajiban pinjaman investasi itu kepada daerah-daerah yang mendapat manfaatnya?
Desentralisasi sebagian hak dan wewenang perpajakan tersebut bukan hanya membangkitkan tanggung jawab dan rasa memiliki daerah, tapi juga membuka peluang kreatifitas mereka untuk berperan menstimulasi pertumbuhan. Masing-masing daerah dapat mengembangkan gagasan insentif yang memanfaatkan bagian dari pajak yang menjadi haknya agar memacu pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan.
Jadi bukan hanya kutub pertumbuhan yang perlu didistribusikan dari wilayah Jakarta dan sekitarnya, tapi juga hak dan tanggung jawab mereka mengelola pertumbuhan itu. Pemerintah pusat hendaknya lebih menitik beratkan perannya dalam hal pengembangan kebijakan-kebijakan strategis. Layaknya induk perusahaan terhadap anak-anak usahanya yang menyebar di seluruh Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H