Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antiklimaks Ahok? Refleksi Valentino Rossi

20 Juni 2016   06:08 Diperbarui: 26 Juni 2016   20:17 2012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejuta KTP yang dicanangkan Teman Ahok, kemarin telah terlampaui. Sungguh ikhtiar dan kesungguhan kerja yang luar biasa dari sekumpulan anak muda yang ingin memperjuangkan Ahok dapat maju melalui jalur independen tanpa tersandera 'hutang politik'. Ketika itu, seperti lazim terjadi selama ini, hampir semua partai politik mencla-mencle menyatakan dukungan. Aroma 'busuk' merebak dimana-mana bahkan Ahok 'terancam' tak memiliki kendaraan untuk maju pada Pilkada 2017 nanti. 

Hanya Nasdem yang menyatakan dukungan tanpa syarat. Tapi jumlah kursi DPRD yang dikuasainya tak cukup. Hingga akhirnya Ahok bersama Teman Ahok-nya menetapkan tekad menggalang dukungan langsung masyarakat ibukota agar memenuhi syarat tanpa usungan parpol.

PDIP pun 'tersinggung dan tak merelakan' Djarot Saiful Hidayat, kader yang dipasangkannya mendampingi Ahok ketika resmi mengambil alih posisi Gubernur DKI setelah ditinggalkan Joko Widodo yang terpilih menjadi Presiden RI pada Pemilu 2014 lalu.

Ahok tak menggubris. Ia menawarkan kepada Heru Budi Hartono - pegawai negeri karir di kantor Pemerintah Daerah DKI Jakarta - posisi calon Wakil Gubernur via jalur independen.

Sejak itu, intrik, godaan, bahkan teror silih berganti menerpanya. Tak hanya dari para petugas partai-partai yang 'marah dan panik' karena sikap dan pilihan Ahok menyebabkan popularitas mereka yang selama ini sudah tak bagus semakin terpuruk, tapi juga dari pihak-pihak lainnya. Komisi Pemilihan Umum DKI saja beberapa kali menuai kecaman publik karena mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang justru cenderung 'mempersulit' ketimbang 'membantu dan memudahkan' upayanya. Belum lagi 'goyangan-goyangan' melalui aktivitas hariannya menjalankan tugas pokok dan fungsi Gubernur. Soal pintu air yang macet, sampah kabel bekas yang menyumbat saluran, perlawanan terhadap berbagai upaya penertiban (diantaranya jalur hijau Kalijodo) maupun pembangunan (diantaranya pembelian RS Sumber Waras), sampai dugaan korupsi dan kolusi yang dilakoni pengusaha reklamasi dengan anggota DPRD untuk 'mengganjal' rencananya menetapkan besaran kontribusi yang harus diserahkan pengembang bagi kepentingan masyarakat luas Jakarta.

Sesungguhnya berbagai 'provokasi' yang dilancarkan 'lawan-lawannya' itu juga memberi manfaat buat bangsa ini untuk memperbaiki berbagai praktek tata kelola yang selama ini 'salah kaprah'. Misalnya seperti 'kesemena-menaan' BPK menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Pernyataan KPK baru-baru ini yang mengesampingkan temuan final BPK soal kerugian negara pada proses pembelian RS Sumber Waras - sebaliknya malah menyatakan tak ada tindak korupsi yang dilakukan Ahok disana - telah mengingatkan bangsa ini untuk perlu meninjau ulang kekuasaan dan sistem pengawasan yang harus diberlakukan kepada lembaga pemeriksa keuangan negara yang titahnya sangat menentukan nasib itu.

Begitu pula kasus tertangkap tangannya praktek suap yang dilakoni pengembang reklamasi kepada anggota DPRD Sanusi. Hal ini telah membuka 'kesempatan' untuk meninjau kembali untung-rugi rencana proyek ambisius Giant Seawall Jakarta itu. Keputusan moratorium yang ditetapkan pemerintah pusat (Menteri Koordinator Perekonomian dan Maritim) sehingga pelaksanaan proyek perlu ditunda sementara membuka peluang berbagai departemen terkait dapat melakukan kajian ulang, adalah salah satu hikmahnya. Kita tahu reklamasi itu sebelumnya ditetapkan melalui Keputusan Presiden di era Soeharto dan Orde Baru nya yang bertabur praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Tapi pada kasus terakhir (reklamasi pantai utara Jakarta) yang diuraikan di atas itu pula 'bola liar' mulai menggelinding!

Ahok memang tersandera di kanan-kiri untuk menjalankan berbagai proyek pembangunan Jakarta. Proses dan administrasi penyusunan anggaran tak mudah dilakukannya. Bahkan berulang kali tersiar berita para wakil rakyat yang duduk di DPRD yang semestinya menjadi mitra kerja Gubernur malah cenderung mempersulit dan menghalangi. Ahok kemudian mencoba mencari terobosan dengan melibatkan perusahaan-perusahaan swasta membiayai sejumlah proyek yang perlu dikerjakan. Sebagian terlibat karena ia 'menagih' kewajiban yang selama ini mereka abaikan dan belum dilunasi. Tapi ada pula yang terlibat karena Ahok menggunakan 'hak deskresi'-nya, meminta sejumlah pengusaha yang berkepentingan dengan pengembangan wilayah reklamasi membiayai proyek-proyek yang dibutuhkan dan menjanjikan  untuk mem-barter-nya dengan besaran kontribusi yang akan ditetapkan nanti.

Bagaimanapun, disini Ahok agaknya kebablasan. Soal besaran kontribusi yang legalitasnya akan diturunkan melalui Peraturan Daerah itu sesungguhnya bukan sebuah kepastian. Ahok memang bertekad memperjuangkan 'maksud baiknya' itu. Tapi menggunakannya sebagai penawar di meja perundingan kepada pengembang yang diminta membiayai 13 proyek pemerintahannya, suka tidak suka, telah mengedepankan sikap 'otoriter'-nya. Bagaimana jika karena satu dan lain hal keinginannya tersebut tak terlaksana? Bagaimanapun tentu tak ada perusahaan komersial yang rela mengikhlaskan biaya ratusan miliar yang telah mereka keluarkan begitu saja tanpa manfaat bisnis.

Kekhawatiran itu menjadi nyata ketika KPK menciduk suap-menyuap yang melibatkan Mohamad Sanusi (DPRD DKI), Ariesman Widjaja (Agung Podomoro Land), dan Trinanda Prihantoro (anak buah Ariesman) dalam rangka menawar besaran kontribusi yang akan di-perda-kan. Buntutnya, penyusunan dan penetapan Perda itu sendiri ditunda hingga 2019. Terlepas dari tindak kriminal yang dilakukan pemimpinnya, ketidak jelasan jumlah kontribusi yang dapat dikompensasikan kepada 'pengeluaran yang 'dipalak' Ahok di depan, sudah barang tentu akan menyisakan persoalan tersendiri.

Permasalahan semakin runyam ketika KPK menengarai keterlibatan Sunny Tanuwidjaja, staf khusus Basuki Tjahja Purnama. Lembaga anti rasuah itu menangkap pembicaraan telepon dan sejumlah bukti lain yang mengarah pada keterlibatannya.

Berbagai fakta yang mengemuka kemudian setelah KPK melakukan sejumlah pemeriksaan - meski tak harus  dimaknai sebagai hal yang salah - membuat posisi Ahok 'semakin tak nyaman'. Misalnya ketika Suni menjelaskan bahwa Ahok dan Aguan, pemilik perusahaan pengembang reklamasi yang dihebohkan itu, secara rutin saling 'bersilaturahmi' hampir setiap bulan dan dia adalah perantaranya.

Gonjang-ganjing rupanya tak berhenti di sana. Aliran dana puluhan miliar juga tercium dari kelompok perusahaan pengembang itu ke Teman Ahok. Menyusul pertanyaan yang dilontarkan Junimart Girsang saat KPK melakukan dengar pendapat di DPR minggu lalu, majalah berita mingguan Tempo menurunkan laporan investigasi yang menguak sejumlah fakta yang menguatkan. Informasi yang menurut majalah itu sudah diketahui lama, termasuk oleh KPK sendiri, seolah mengkonfirmasi sinyalemen politikus PDIP yang kemarin mempertanyakannya dan begitu mengguncang jagad politik Jakarta! Betul-betul seperti petir di siang bolong saat Teman Ahok memasuki detik-detik terakhir pengumpulan 1 juta tanda tangan dan kartu tanda penduduk yang memberi dukungan pribadi kepada Ahok untuk maju melalui jalur independen pada pilkada 2017 mendatang!

Lalu, ketika mengumumkan capaian 1 juta KTP hari Minggu, 19-6-2016 kemarin, Teman Ahok juga menyampaikan pernyataan sikap berjudul 'Sejuta Teman Ahok, Satu Tujuan' yang intinya mengatakan bahwa mereka hanyalah relawan yang memfasilitasi warga Jakarta mengumpulkan tanda tangan dan KTP sebagai wujud dukungan kepada Ahok untuk maju mencalonkan diri sebagai Gubernur tanpa dibebani HUTANG POLITIK. Tersirat disana : terbukanya peluang maju melalui jalur independen tanpa harus diusung partai politik yang 'cenderung menyandera'.

Tapi ada yang sesungguhnya cukup menarik dicermati pada butir terakhir dari 6 hal yang disampaikan pada pernyataan sikap itu. Selengkapnya adalah seperti dikutip di bawah ini :

:: Dengan verifikasi yang dipersulit, jalur parpol bisa diibaratkan sebagai jalan tol. Tapi kami berharap Parpol tidak hanya deklarasi dengan ucapan saja. Kami menunggu langkah nyata dari Partai Politik, dengan membuat surat rekomendasi resmi. Sejuta KTP ini yang dikumpulkan setahun ini dalam waktu 1 detik bisa digantikan oleh selembar kertas yang ditandatangani oleh Ketua Umum Parpol. Setelah surat tersebut ada, dan warga melihat surat tersebut, kepercayaan kepada Partai Politik juga akan tumbuh. ::

Menarik!

Pertama, pernyataan butir terakhir itu kiranya tak bisa diinterpretasikan semata sebagai 'kejumawaan' Teman Ahok mendikte partai politik! Justru yang tersirat adalah 'melupakan tujuan mereka semula agar Ahok dapat maju tanpa hutang politik' sebagaimana yang dinyatakan pada butir 2 di atasnya. Mereka telah 'mengakui hantu' verifikasi yang dipersulit. Mungkin disana ada keraguan mampu melaluinya. Sejuta tanda tangan dan KTP adalah sesuatu yang membuktikan Ahok punya pendukung (untuk maju ke pilkada) yang bisa sekejap digantikan kertas dukungan resmi parpol!

Disini ada spirit yang mengendur. Apakah karena kabar aliran 30 miliar mulai tak terbantahkan dengan fakta-fakta yang mengemuka?

Kedua, pernyataan tersebut mulai menyiratkan 'the end justifies the means' alias 'tujuan menghalalkan cara'. Tersirat disini apapun halal, termasuk 'menyerah kalah' kepada 'kebaikan hati' partai politik yang bersedia 'menyelamatkan' sejuta KTP yang dikumpulkan agar Ahok dapat maju ke Pilkada 2017. Alasan (cara) yang digunakan untuk membujuk 1000 tanda-tangan dan KTP terkumpul mulai dikesampingkan. Kita semua tahu, selama setahun Teman Ahok bekerja kemarin, tak sekalipun terucap bahwa amanat mereka 'jika keadaan mendesak maka mungkin' akan di-barter (atau digadaikan?) dengan selembar surat pencalonan resmi dari partai politik yang bersedia!

Pernyataan itu sekonyong-konyong merebakkan keraguan 'vox populi, vox dei'. Suara rakyat adalah suara Tuhan! Sesuatu yang membayang jelas hingga beberapa minggu pada perjuangan yang mereka lakukan.

Sangat mungkin sebagian dari masyarakat yang menyerahkan KTP tidak (begitu) mempermasalahkan perubahan jalur dari independen ke via parpol. Tapi sangat mungkin pula sebagian mempertanyakannya, bahkan kecewa. Sebab salah satu alasan yang mengemuka ketika mereka berbondong-bondong memberi dukungan adalah rasa jengah dan muak terhadap kinerja partai-partai politik yang cenderung memanfaatkan suara pemilih hanya untuk merebut kekuasaan dan kemudian digunakan untuk kepentingan sempit kelompoknya saja. Bukan masyarakat pemilihnya!

Pada butir 5 pernyataan itu secara gamblang dikatakan bahwa mereka tidak berpengalaman dalam intrik politik. Mereka memang bukan partai politik dan juga bukan politikus. Tapi bagaimanapun sesungguhnya mereka adalah sebuah gerakan politik meski hal tersebut disangkal sebagaimana yang dinyatakan pada butir 1.

Di atas semua itu, ada hal yang lebih menarik lagi. 

Mereka menyatakan (butir 5) soal berita Ahok yang akan berkomunikasi dengan Teman Ahok. Dan mereka mengucapkan terima kasih. Pertanyaan yang menggelitik adalah, apakah Ahok sudah menghubungi dan berbicara sehingga perlu tergopoh 'melambaikan bendera putih' kepada partai-partai politik?

Semua ini sungguh membangkitkan rasa penasaran, bukan?

Apakah Teman Ahok mulai ragu terhadap aliran 30 miliar yang sementara masih dianggap dongeng itu?

Soal uang panas itu - seandainya benar dan terbukti kelak - patut diragukan telah diketahui oleh Ahok sendiri. Setidaknya demikianlah harapan ideal dari begitu banyak rakyat Indonesia yang mengagumi dan menghormati langkah, perbuatan, dan ucapan Basuki Tjahja Purnama membenahi dan membangun ibukota selama ini. Sosoknya  - bersama segelintir tokoh-tokoh lain yang mencuat akhir-akhir ini - telah memberi secercah harapan dan inspirasi bagi banyak orang tentang Indonesia yang (bisa) lebih baik.

Saya tetap berharap Ahok menpertahankan tekad dan langkahnya melalui jalur independen. Semata agar cara pandang serta sikap dan perilaku partai-partai politik di negeri ini mengalami reformasi ke arah kepentingan rakyat yang ingin diwakilinya.

Jika memang temannya Teman Ahok terbukti lancung bermain dengan 30 miliar itu, dan Ahok memang tak mengetahuinya (boro-boro menyetujui!) maka teruslah berjuang pada jalur semula. Soal berhasil atau tidak bukan masalahnya. Juga soal menang dan kalah. Sebab, begitu banyak optimisme perubahan - revolusi mental? - yang akan bergulir setelahnya. Dan Ahok tetap pahlawan bagi kami.

***

Ada baiknya Ahok belajar dari pengalaman Valentino Rossi pada ajang Moto GP 2015 lalu. Meski dugaan tentang 'Spain connection' yang ingin menggagalkannya menjuarai ajang kompetisi saat itu hampir nyata, pendukungnya tetap tak memuji - bahkan menyayangkan - aksinya yang 'menjatuhkan dengan sengaja' Marc Marquez di sirkuit Sepang waktu itu. Akibat ulah tersebut pada akhirnya ia dihukum start di barisan paling belakang pada putaran berikut dan terakhir di musim itu. Hal yang memupuskan harapannya menjuarai musim yang sesungguhnya tinggal selangkah!

Tapi Valentino Rossi adalah petarung sejati yang berjiwa besar. Musim kali ini penggemarnya memaafkan setelah ia tampil sportif tanpa dendam. Melanjutkan kompetisi secara sehat. Karena ia memang sang juara!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun