Soal jalur pencalonan Ahok untuk maju pada Pilkada DKI 2017 kini telah meningkat ke tahap 'teror'. Salah satu pemicunya adalah pemberitaan soal 'celoteh' Adian Napitipulu, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDIP. Katanya dia dapat pesan dari Presiden Joko Widodo supaya Ahok sebaiknya memilih jalur partai. Pesan yang konon sudah pula disampaikannya langsung kepada yang bersangkutan.
Bagi sebagian pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla, sosok Adian Napitupulu mulai populer ketika ia tampil di panggung-panggung perdebatan politik mewakili kubu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia itu berhadapan dengan kubu pasangan lawannya: Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Banyak yang mengatakan kalau ia adalah salah satu juru bicara yang paling 'buas' dan 'tangkas' berargumentasi. Apalagi sosok dan dandanan-nya pun 'merakyat'.
Sebelumnya Budiman Sujatmiko - sosok 'merakyat' lain yang dimiliki PDIP - pernah 'coba-coba melancarkan teror' terhadap pilihan Ahok yang akan menggunakan jalur independen. 'Satu Superman Tak Cukup Benahi DKI, Butuh Parpol', katanya. Lalu saya memberi tajuk 'Mediocre' untuk mengomentari pernyataan konyol itu. Berikutnya mungkin lebih banyak sambutan negatif yang dituai sang mantan Ketua PRD yang kini selalu tampil parlente itu. Dan pernyataan maupun komentar lanjutannya kemudian memang menyurut.
Entah disengaja atau tidak, sekarang mungkin giliran Adian Napitupulu yang dipilih jadi 'pengantin' gang Moncong Putih untuk 'menebar teror'.
Katakanlah, karena kedekatan pribadi maupun politik yan dimilikinya, Joko Widodo memang 'benar' membisikkan pesan itu untuk disampaikan kepada Basuki Tjahja Purnama. Katakanlah, Adian Napitupulu dengan niat baik dan tulus kemudian menelepon Ahok untuk menyampaikan langsung pesan itu.
Lalu apa alasan MASUK AKAL sehingga kemudian dia perlu menyebar-luaskan kabar itu ke publik selain mengundang kegaduhan yang 'meneror' Ahok sendiri, relawan dan masyarakat pendukungnya, teman-teman simpatisan PDIP-nya, termasuk Presiden Joko Widodo yang logikanya memiliki hubungan lahir-batin yang jauh lebih dekat dengan bekas wakilnya saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta kemarin itu?
Politik adalah citra. Untung-rugi menyebar-luaskan 'pesan pribadi' itu ke publik semestinya dihitung cermat.
Jika kemudian Ahok memang berhasil 'digoda' menggunakan partai politiknya sebagai kendaraan untuk memasuki gelanggang Pilkada 2017 maka sosok Adian Napitupulu tentu akan melambung ke langit ke tujuh. Tapi hati-hati! Sebab, setelah itu mungkin tak ada parasut yang menahan tubuhnya meluncur kencang menghujam bumi ketika kemudian Ahok kalah berkompetisi meraih suara publik Jakarta.
Mengapa Ahok kalah?
Sebab pendukung dan pemilihnya akan kecewa setengah-mati, patah hati, dan frustasi. Cinta dan harapan yang telah mereka serahkan tanpa syarat seperti dikhianati. Sebagian besar mereka memang emosional. Tidak berumit-rumit mengikuti dinamika 'dagelan' politik yang selama ini dipertontonkan. Bagaimanapun penjelasannya, sebagian besar masyarakat kita tetap tak bisa menerima - sekaligus tak mampu berbuat apapun - terhadap drama-drama busuk dan tak bermutu yang disodorkan politikus dan panggung politiknya selama ini. Mulai dari barisan panjang yang dijerat kasus hukum sampai akrobatik memalukan dalam debat-debat yang dipertontonkan kepada publik luas. Contohnya adalah sidang Majelis Kehormatan Dewan pada kasus 'Papa Minta Saham' yang hingga hari ini belum ada kejelasannya itu. Tokoh utamanya malah baru saja terpilih menjadi Ketua Umum partai warisan Orde Baru yang sejak Soeharto berkuasa hingga Era Reformasi paka kejatuhannya ini selalu tampil 'menyusahkan kehidupan' berbangsa dan bernegara. Tak cukup disitu, susunan kepengurusannya yang baru pun bertebar dengan nama-nama yang pernah atau sedang tersangkut masalah hukum.
Maka simpatisan maupun pendukung yang semula berniat memilih Ahok bukan hanya balik badan kepada kandidat lain yang memiliki kedekatan emosional - permainan issue SARA kemungkinan besar akan mendapatkan panggungnya kembali - tapi juga mungkin tak sudi lagi mendatangi bilik suara untuk menggunakan hak pilihnya. Politik uang dan 'serangan fajar' untuk 'membeli' suara pemilih-pemilih yang sudah kehilangan kepedulian hak konstitusinya akan marak kembali.
Kemungkinan lain - sebagaimana yang sangat saya yakini - Ahok bergeming dan tetap melangkah dengan teman-temannya melalui jalur independen. Sosok Adian kemungkinan akan langsung TKO terhempas di kanvas!
Sekalipun kemudian Ahok kalah dalam persaingan perebutan suara, sulit dibantah jika para pemilihnya kemudian berang. TEROR yang dilancarkan 'pengantin' Adian Napitupulu akan dituding sebagai biang kerok. Akibatnya popularitas PDIP yang selama ini sudah tergerus akan semakin terpuruk. Perolehan suara mereka pada berbagai pemilihan umum berikutnya bakal terjerembab.
Semua adalah 'ongkos' sia-sia yang harus dikorbankan Adian Napitupulu dan PDIP akibat ke-'lebay'-annya menyebar luaskan pesan pribadi Jokowi kepada Ahok itu (seandainya memang benar ada).
Teror - oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun - tak pernah mendatangkan manfaat, menyuburkan permusuhan, dan menghancurkan keharmonisan hidup manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H