Seorang rekan melemparkan pertanyaan di salah satu group social media, 'apakah GM melayani tantangan debat terbuka KZ?'
GM yang dimaksudnya adalah Goenawan Mohamad. Pendiri majalah Tempo, wartawan senior, sastrawan, dan aktivis kebudayaan yang hingga saat ini masih setia menulis kolom Catatan Pinggir yang hampir tak pernah saya lewatkan.
Sedangkan KZ adalah Kivlan Zen. Pensiunan tentara yang dari mesin pencari google saya tahu terakhir berpangkat Letnan Jenderal. Namanya juga berebut panggung dengan 'pahlawan-pahlawan' lain ketika dilakukan upaya pembebasan warga Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayaf di Filipina selatan kemarin.
Akhir-akhir ini KZ sedang getol menyuarakan 'kekhawatirannya terhadap kebangkitan kembali komunisme' yang disiarkan lewat media main stream maupun social media yang lagi nge-trend. Saya sih tak paham dengan apa yang dimaksudkannya. Juga tak ambil pusing.
Tapi konon GM menanggapi dan menyebut jenderal itu 'berotak karatan'. Lalu mungkin KZ berang dan kemudian menantangnya berdebat secara terbuka.
Berdebat itu lumrah. Terbuka maupun tertutup. Dua pihak atau lebih saling mengadu pendapat dan argumentasinya. Bagian dari proses peggalian dan pengembangan pemahaman / ilmu pengetahuan.
Saya tak tahu apakah KZ menyampaikan keinginannya itu langsung kepada GM. Seandainya demikian saya pun tak tahu bagaimana GM menyikapinya. Dan memang saya tak mau tahu.
Selama ini saya justru ingin tahu apa sih sebenarnya komunisme itu? Kok digambarkan begitu menakutkan hingga sesama bangsa ini pernah dan masih saling 'membantai' hingga hari ini?
Dalam berbagai kesempatan yang tak ada angin maupun hujan, issue komunisme itu selalu muncul kembali di tengah kehidupan.
Saya sudah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer yang hingga akhir masa kekuasaan Soeharto dinyatakan sebagai buku-buku terlarang. Hingga tuntas di halaman terakhir saya masih bingung menemukan alasan mengapa buku itu sempat diharamkan dan dianggap berbahaya.
Saya tonton film dokumenter besutan Joshua Oppenheimer berjudul 'The Act of Killing' yang menghebohkan itu. Setelahnya saya masih sering bergidik mengingat betapa kebiadaban tersebut ternyata berlangsung pada bangsa yang mengagungkan keramah-tamahan ini.
Fobia komunisme itu justru pernah merenggut teman saya bermain waktu masih kecil. Ia menghilang dari pergaulan sehari-hari setelah orangtuanya dituduh terlibat atau simpatisan partai komunis Indonesia dulu.
***
Setelah Soeharto turun maka dimulailah keterbukaan informasi itu. Juga kebebasan berserikat dan berkumpul. Ditambah pula dengan kehadiran 'malaikat' teknologi digital yang semakin memudahkan. Saya, seperti juga siapapun yang ingin dan mau, merdeka dan leluasa mencari tahu apa sebenarnya yang dimaksud dengan komunisme. Sebagaimana juga soal kapitalisme, sosialisme, imperialisme, anarkisme, dan seterusnya.
Senin, 23 Mei 2016 lalu, saya melakukan rutinitas yang asyik itu. Membaca Catatan Pinggir GM pada edisi majalah Tempo yang baru terbit. Judulnya ‘Komunisme’. Seminggu kemudian GM sendiri menampilkan tulisannya itu di halaman akun facebook. Jadi, bisa dibaca siapapun yang kebetulan tak berlangganan majalahnya.
Bagi saya, Catatan Pinggir itu telah menjelaskan dengan gamblang soal ‘fobia komunisme’ dan ungkapan ‘otak karatan’ yang terlontar. Mungkin saja tulisan itu dimaksudkan sebagai bagian dari perdebatan. Saya tak tahu. Tapi kepada rekan yang bertanyadi group social media tadi, saya teruskan saja tautan Catatan Pinggir itu kepadanya.
Bacalah cuplikan ini,
Komunis lahir untuk membentuk masyarakat yang "sama-rata sama rasa". Tapi di tengah jalan, agar efektif, ia harus membentuk Partai yang hierarkis dan keras-- dan pada gilirannya, represif.
Lalu yang berikut ini,
… menunjukkan apa yang akhirnya membuat gerakan komunis gagal: ketak-mampuannya dengan segera memperbaiki cacatnya sendiri. Ia pun ditinggalkan sejarah dan jadi kenangan, dipuja atau dibenci.
Maka pemahaman dan kesimpulan saya pribadi menjadi semakin membulat.
Komunisme - seperti juga berbagai cara pandang bermasyarakat lainnya (kapitalisme, sosialisme, liberalisme, dan seterusnya) - digagas untuk kepentingan dan kebaikan kehidupan yang lebih luas. Tapi dalam perjalanannya sering kali di-salah arti-kan, di-putar balik-kan, bahkan di-khianat-i oleh anak-anaknya sendiri.
Fobia dan hasutan sesat itu seperti fanatisme pada sekelompok manusia terhadap keyakinannya hingga menganggap mereka yang lain dan tak sejalan sebagai kafir, pendusta, dan sesat yang layak disingkirkan.
***
Di group sosial media yang lain, seorang rekan meneruskan artikel Derek Manangka (DM). Wartawan yang juga sudah senior ini memang rajin menuliskan pemikirannya pada page khusus facebook dengan judul Catatan Tengah.
Artikel itu menceritakan soal undangan kepada Joko Widodo, presiden Republik Indonesia sekarang, untuk menjadi pembicara utama pada pertemuan G7 di Jepang. DM membandingkannya dengan upaya Soeharto yang gagal tampil berbicara di forum negara-negara superkaya tersebut untuk membawakan mandat 110 negara non blok yang saat itu diwakilinya. Padahal, pada tahun 1993 itu, ia sudah tiba dan berada di sana.
Saya teringat pada salah satu notifikasi yang muncul di akun facebook. DM mengirimkan undangan untuk memberi ‘like’ pada Catatan Tengah yang diasuhnya. Dan undangan itu saya memang pernah saya terima.
Dan kemarin, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila yang selalu kita peringati, DM menulis Catatan Tengah soal pidato Yapto Soerjosumarno pada acara silaturahmi Purnawirawan TNI dan Ormas tanggal 13 Mei 2016 yang diunduh di Youtube.
Tulisan itu terlalu ke tengah, berada di antara arus interpretasi dan pemahaman yang mengalir kencang. Ibarat jalan raya, resiko tertabrak arus kendaraan yang melaju kencang sangatlah tinggi.
Lalu, pada tautan yang mengulas video pidato Pimpinan Pemuda Pancasila itu saya menuliskan komentar kepada DM:
Sorry bung Derek Manangka, saya terpaksa batalkan 'like' pada page 'catatan tengah' yang Anda undang itu.
***
Rasanya saya pernah membaca - atau mungkin mendengar langsung penjelasannya - Catatan Pinggir dimaksudkan seperti catatan-catatan kecil yang sering dituliskan pada bagian kosong halaman-halaman buku yang sedang kita baca. Semacam pertanyaan, kesimpulan, pemikiran, dan sejenisnya yang belum selesai terhadap pemahaman yang berkembang setelah membacanya. Mungkin memang tak pernah selesai. Tapi catatan yang dipinggir itu tak ditulis di tengah-tengah hingga mengaburkan teks yang ditimpanya. Bahkan mungkin tulsan asli yang memicu lahirnya catatan yang ditulis di tengah sama sekali sudah tak bisa terbaca lagi.
Wallahualam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H