[caption caption="Angkutan Non Trayek Berbasis Aplikasi Teknologi"][/caption]Peraturan Menteri Perhubungan yang baru (no. 32 tahun 2016) yang mengatur transportasi berbasis aplikasi belum saya peroleh. Isinya tentu belum saya baca juga. Tapi dari berita yang disampaikan, terlihat kehadiran Pemerintah sabagai pemegang kekuasaan untuk mengatur dan mengelola aktivitas dan kehidupan masyarakat itu, hanya mengenal prinsip 'pokoknya'.
Pokoknya kalau mau usaha angkutan harus berbadan usaha. Perorangan tidak boleh. Sebab UU 22/2009 bilang begitu. Titik!
Pokoknya kalau mau diizinkan usaha angkutan minimal harus punya 5 unit armada. Titik!
Pokoknya kalau ingin usaha angkutan harus ini-itu sesuai ketentuan undang-undang 22/2009.
Zaman sedang mengalami guncangan perubahan, bung! Buka mata Anda dan jadilah pelayan masyarakat yang bijak sekaligus cerdas!
Mengapa perorangan tidak boleh melakukan usaha transportasi non trayek? Apakah karena Pemeritah tak mampu mengurusnya atau karena pokoknya begitu? Apakah karena perorangan di bumi pertiwi ini sesungguhnya tak betul-betul merdeka untuk mencari nafkah dan mengembangkan kemampuannya di bidang transportasi? Apakah karena usaha transportasi non trayek merupakan hal yang bisa dan sangat berpotensi membahayakan masyarakat umum?
Pertanyaan itu bisa terus diperpanjang. Juga terhadap berbagai ketentuan 'ketinggalan zaman' lain yang 'pokoknya' dipertahankan itu!
Ayo bung Jonan! Saya sangat yakin Anda sangat memahami tantangan aktual maupun kontemporer yg sedang kita hadapi bersama. Jangan terlalu kaku dan keukeuh!
Jika negara dan pemerintah ini berasaskan prinsip 'pokoknya' maka bubarkan saja Badan Ekonomi Kreatif dan sejenisnya itu. Sebab, hasil kerja keras mereka hampir dipastikan akan berbenturan dengan berbagai undang-undang dan aturan hukum lain yang memang sudah usang, kuno, dan ketinggalan zaman.
Sementara, untuk mengejar berbagai ketinggalan pembangunan akibat prilaku koruptif aparat birokrasi sejak republik merdeka hingga sekarang, dibutuhkan begitu banyak investasi yang bersumber dari hutang. Dan ketergatungan pembiayaannya terhadap penerimaan pajak semakin tinggi bahkan mutlak. Jika negara dan pemerintahnya tak merangkul rakyat untuk bergotong-royong menanggung semua itu - sebab rakyat itulah yang membayar pajak untuk melunasi hutang dan membiayai keberlangsungan negara - maka kepada siapa lagi akan berharap?