[caption caption="Aplikasi Online Jasa Angkutan, invoice Uber (koleksi pribadi)"][/caption]
Kemana telunjuk harus ditudingkan sebagai biang kerok ribut-ribut layanan online angkutan umum dengan pelaku konvensional saingannya?
Pemerintah!
Kita telah sepakat memberikan kewenangan untuk mengatur dan mengelola negara ini kepada lembaga yang disebut pemerintah. Tugas pokok dan fungsinya adalah mengatur - juga memfasilitasi berbagai kepentingan publik pada - setiap sendi kehidupan yang berlaku di tengah masyarakat. Didalamnya termasuk kemampuan mengantisipasi dan beradaptasi terhadap berbagai perkembangan yang sedang maupun akan terjadi.
Agar kehidupan kita tertib, berkeadilan, serta terhindar dari penyalah-gunaan kekuasaan dan sikap yang semena-mena maka konstitusi mengamanatkan pemerintah bersama dengan lembaga perwakilan rakyat (DPR) menyusun dan menetapkan bermacam undang-undang. Mengacu padanya maka kemudian diturunkanlah berbagai perangkat hukum lainnya. Semua dengan maksud dan tujuan tunggal : mengikat kepatuhan setiap individu dan kelompok masyarakat yang tergabung sebagai bangsa Indonesia yang majemuk ini agar hidup berdampingan dengan damai dan sejahtera.
Undang-undang jelas bukan kitab suci yang tak tergantikan. Ia disusun sesuai dengan situasi dan kondisi di masanya. Sebatas pengetahuan dan kemampuan pemahaman mereka ketika menggagasnya, sejumlah antisipasi terhadap perkembangan di masa depan kerap dimasukkan ke dalamnya. Tapi pastilah tidak sempurna. Karena begitu banyak rahasia kehidupan yang belum terkuak. Dan manusia memang tak pernah berhenti menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menyempurnakan lakon kefanaannya di dunia ini.
Setiap temuan maupun kemajuan kerap tak sekedar memudahkan. Tapi juga mengubah tatanan yang sebelumnya dianggap ajeg. Bayangkan kehidupan manusia sebelum roda ditemukan. Pengaturan lalu-lintas manusia yang ada sebelumnya mungkin hanya sampai pada kehadiran hewan tunggangan yang disertakan. Tak terbayang harus berbagi ruang dengan kereta beroda yang dapat ditarik. Maka konvensi budaya maupun aturan yang berlaku akhirnya perlu menyesuaikan diri.
Ketika Alexander Graham Bell menemukan teknologi telepon, siapa yang menyangka kemewahan komunikasi antar individu yang berlangsung di berbagai pelosok dunia hari ini? Di tahun 1980-an, saya masih ingat kalau jumlah sambungan telepon per 1.000 penduduk suatu negara merupakan salah satu indikator kesejahteraan dan keberadabannya di tengah masyarakat dunia. Majalah The Economist selalu menyertakannya sebagai bagian angka statistik pencapaian berbagai negara di dunia pada hampir setiap publikasi mingguannya.
Lompatan besar kehidupan manusia memang berlangsung begitu cepat - bahkan eksponensial - setelah teknologi digital ditemukan. Berbagai inovasi dan rekayasa pada hampir setiap sendi kehidupan manusia berkembang demikian pesat. Segala sesuatu dimungkinkan menjadi lebih efektif dan efisien. Terukur langsung pada sasarannya. Semakin menihilkan dampak sampingan yang tak diperlukan. Dan tentu saja lebih mudah dan murah.
Salah satu yang mencengangkan terjadi pada dunia teknologi informasi dan komunikasi. Ia tak sekedar mempercepat proses evolusi. Tapi juga melahirkan revolusi. Mengubah tatanan maupun proses yang sebelumnya baku.
Lihatlah fenomena media televisi maupun cetak yang secara drastis kehilangan pemirsa dan pembacanya. Setiap orang kini berpeluang menjadi produsen berita. Tak lagi hanya sekedar konsumen pasif bagi kabar yang diwartakan media-media tradisional itu. Industri musik tiba-tiba tak lagi disandera jaringan toko yang menjual piringan hitam, cassette, maupun cakram CD yang mewadahinya. Tak ada lagi curatorship yang memiliki kewenangan mutlak untuk menyatakan sebuah karya layak, baik, dan sesuai selera pasar.