Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalijodo, LGBT, dan Kita

19 Februari 2016   01:51 Diperbarui: 19 Februari 2016   08:14 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Budaya Gotong-Royong untuk Menyelasaikan Masalah Bersama"][/caption]

Kalijodo dan LGBT hari ini menjadi topik populer. Keduanya berdesakan dengan yang lain. Berebut panggung dengan cerita Rio Haryanto yang berjuang mati-matian mencari sponsor supaya bisa tampil diajang balapan Formula One yang bergengsi dan mendunia itu. Alhamdulillah, hari ini tersiar kabar upayanya membuahkan hasil.

Hingar-bingar Kalijodo dan LGBT mungkin juga mampu menyisihkan kabar yang membanggakan soal penampilan Joey Alexander di acara puncak Grammy Awards ke 58 kemarin. Padahal, beberapa puluh jam sebelumnya, bocah Bali yang berusia 12 tahun itu telah memukau para mega bintang yang hadir dan ratusan juta pasang mata pemirsa di seantero dunia yang menyaksikan tayangan langsung permainan pianonya di layar kaca.

Kedua trending topic yang berpotensi tergelincir pada urusan syahwat tersebut mungkin mampu mengalihkan perhatian kita dari berita yang amat tak sedap dari Klaten. Seorang oknum polisi yang bernama Iptu Sriyanto memukul kepala seorang ibu rumah tangga yang sedang berkendara dan membonceng anak yang masih balita saat menggelar operasi razia kendaraan bermotor di jalan raya kota kecil yang terletak di antara Yogyakarta dan Solo itu.

Kalijodo dan LGBT bisa jadi pula mengaburkan hasil investigasi Ombudsman yang telah mengungkap kejanggalan dan rekayasa pengusutan kasus Novel Baswedan, penyidik KPK yang selama ini dikenal gigih dan sering berhasil menangani berbagai perkara korupsi kelas kakap, termasuk yang melibatkan sejumlah petinggi polisi dan politisi Senayan.

***

Topik Kalijodo mungkin masih tetap hangat untuk beberapa hari ke depan. Di berbagai media diberitakan bahwa Gubernur DKI Jakarta hanya memberikan waktu 11 hari lagi bagi seluruh penghuni di sana untuk mengosongkan area itu.

Hingar-bingar Kalijodo sekarang sesungguhnya bukan soal gusur-menggusur kegiatan pelacuran, perjudian, ataupun aktivitas hiburan yang selama ini berlangsung di sana. Seperti yang secara tegas disampaikan koh Ahok, Gubernur DKI Jakarta yang saya kagumi dan hormati itu, prakarsa pengosongan kawasan Kalijodo sesungguhnya didasari alasan bahwa selama ini kawasan tersebut telah dihuni secara 'liar' oleh sejumlah pihak yang sesungguhnya tidak memiliki hak. Jadi memang bukan karena soal praktek pelacuran, perjudian, dan kegiatan hiburan lain yang marak berkembang.

Gebernur Jakarta yang luar biasa itu memang jeli dan sangat cerdas mengemukakan dasar pemikiran langkahnya untuk menertibkan Kalijodo.

Kemudian muncul soal simpati Menteri Sosial atau Gubernur Daerah Jawa Tengah yang ingin menampung mantan penghuni Kalijodo. Hal itu tentu soal lain. Jelas bukan pekerjaan yang mudah mengalihkan profesi seseorang kepada yang baru. Selain tentang hasil yang diperoleh, keterampilan, pola kerja, dan seterusnya, ada soal yang jauh lebih pelik dan mendasar, yaitu iktikad. Disini bukan hanya soal ketulusan dan keseriusan pihak yang membantu tapi juga keikhlasan dan kesungguhan mereka yang ingin dibantu.

Kita harus meyakini niat baik Menteri Khofifah Indar Parawansa maupun Gubernur Ganjar Pranowo. Seandainya ketiga pejabat negara itu - Gubernur DKI Jakarta, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Gubernur Jawa Tengah - bersungguh-sungguh menunaikan janji-janjinya untuk memfasilitasi mantan penghuni Kalijodo kembali hidup layak dan normal di tengah masyarakat umum, peran serta kita semua sebagai bagian masyarakat luas tetap diperlukan. Tentu saja melalui cara dan kemampuan masing-masing.

Modal' yang disediakan pemerintah untuk membantu mereka sesungguhnya cukup menggiurkan. Pada warta-warta yang beredar Gubernur Ahok menjanjikan penjaminan sejumlah hal pokok dan penting yang menjamin kelangsungan hidup sehari-hari mereka, seperti penyediaan tempat tinggal, layanan kesehatan, pendidikan anak, dan seterusnya. Menteri Khofifah maupun Gubernur Ganjar menjanjikan penampungan lapangan pekerjaan. Tapi kita tentu sepaham bahwa semua 'bantuan' yang disediakan itu memang tak akan dapat mengganti seutuhnya 'kemewahan' yang dinikmati penghuni Kalijodo sebelumnya. Disanalah masyarakat luas perlu bersama-sama mengulurkan tangan untuk mendampingi dan membantu agar mereka dapat melalui proses sulit dan rumit yang dihadapi.

Rasanya tak berlebihan jika memadankan persoalan yang menimpa saudara-saudara kita yang selama ini menghuni dan hidup di Kalijodo itu seperti kelompok masyarakat yang terjerat penyalah-gunaan narkoba. Penyembuhannya tak cukup hanya dengan program detoksifikasi dan menjauhkan mereka dari barang haram itu. Tapi juga melalui proses pendampingan hingga mampu menggugah kesadaran, membangkitkan semangat, dan membulatkan tekad mereka untuk sepenuhnya meninggalkan prilaku menyimpang dan sangat beresiko sebelumnya.

Percayalah, seandainya pun kita bahu-membahu membantu mereka, tetap saja tak ada jaminan meraih keberhasilan yang sempurna. Setidaknya dalam tempo yang singkat. Sebab begitu banyak permasalahan yang sudah berurat-berakar disana. Berlangsung dalam kurun waktu yang begitu panjang sehingga terlahir sudah generasi yang berterima dengan prilaku dan budaya yang demikian.

Faktanya, ada saja sebagian kalangan yang justru ingin mempertahan keadaan itu. Status quo. Mungkin mereka menikmati atau mungkin juga disebabkan maksud untuk menungganginya demi kepentingan-kepentingan personal dan sempit. Atau bisa pula karena menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan.

Memang betul banyak kejanggalan yang berlangsung dan dibiarkan selama ini. Seperti fakta sebagian diantara mereka yang ditagih dan tertib membayar Pajak Bumi Bangunan. Atau kenyataan tersedianya sambungan listrik, telpon, dan air yang menunjang operasional kegiatan mereka sehari-hari sebelumnya. Jika semua itu merupakan kekhilafan - atau bahkan kesalahan - masa lalu, bukankah tetap harus diperbaiki dan tidak diteruskan?

Kita mengisi kehidupan untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Bukan untuk surut ke belakang.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun