Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Transportasi Jakarta, Diskriminasi yang Kasat Mata

17 Februari 2016   18:37 Diperbarui: 17 Februari 2016   18:43 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi lain, menyikapi kebijakan perbankan yang semakin ketat paska krisis politik 1998, industri keuangan mulai melirik peluang sektor konsumsi sebagai bisnis yang menggiurkan. Salah satunya adalah dalam menyediakan fasilitas pembiayaan kepemilikan kendaraan seperti yang disinggung di depan. Lalu melonjaklah jumlah kendaraan, khususnya sepeda motor, di jalan-jalan raya Jakarta yang panjang dan lebarnya amat terbatas itu. Sekonyong-konyong hampir setiap ruas jalan yang ada selalu dipadati oleh kendaraan roda dua.

Terhadap indikasi yang sangat jelas dan di depan mata, yaitu lonjakan kepemilikan sepeda motor yang memadati jalan-jalan raya tersebut, pemerintah DKI Jakarta dan mungkin hampir semua kota besar lain di Indonesia, nyatanya tak berbuat apapun. Padahal, para pengendara sepeda motor yang sesungguhnya berhak menuntut pelayanan transportasi publik yang layak di ibukota republik ini, tak kuasa lagi menunggu hingga terpaksa mengambil inisiatif sendiri, yaitu berupaya memiliki sepeda motor dan mengadu nyawa di jalan raya untuk menyambung hidup keluarga di rumah!

Sangat mudah ditemukan dalam keseharian ibukota seorang bapak yang mengendarai sepeda motor sambil membonceng istri dan anak-anak mereka. Sungguhkah mereka mengabaikan keselamatan anggota keluarganya sendiri dari ancaman maut di jalan raya? Hampir pasti jawabannya adalah tidak. Semua itu terpaksa dilakukan karena mereka tak punya alternatif lain untuk melakukan kegiatan berpergian. Biaya angkutan umum tentunya jauh lebih mahal dibanding ongkos bahan bakar yang dibutuhkan sepeda motor yang ditunggangi beramai-ramai itu.

Diskriminasi antara kelompok berpunya dengan yang belum beruntung sesungguhnya dimulai dari jalan raya. Meski penunggang roda dua melonjak tajam dan berjumlah paling banyak, tapi tetap tak ada upaya bergegas dari pemerintah ibukota untuk menyediakan lintasan khusus bagi kendaraan itu. Seperti juga kendaraan roda empat atau lebih lainnya, kendaraan roda dua itu tentu membutuhkan ruang untuk bergerak. Jika berbicara atas nama suara terbanyak, tentu jumlah mereka jauh lebih besar dibanding pengguna mobil. Apalagi sebagian besar diantaranya terpaksa memilih mengendarai sepeda motor karena pemerintah yang berwenang tak mampu menyediakan angkutan publik yang layak dan memadai kebutuhan perjalanan mereka. Bukankah sangat patut jika pemerintah memberi perhatian yang lebih proporsional?

Bagaimanapun para pengendara roda dua itu membutuhkan ruang untuk bergerak dan melesat mencapai tujuannya. Karena tak disediakan bahkan mungkin tak difikirkan maka tak ada pula cara lainnya selain menyerobot ruang-ruang jalan raya yang hanya dirancang untuk kendaraan roda empat atau lebih itu. Tak perlu heran jika mereka terbiasa lincah menggunakan ruang sempit diantara 2 mobil yang sedang melintas kencang di jalan raya. Harus pula dimaklumi jika para penunggang sepeda motor itu tak pernah ragu mendahului dari sebelah kiri meski pengendara mobil sudah memberi isyarat akan berbelok ke kiri juga. Saat harus berhenti ketika lampu merah pengatur lalu-lintas menyala, hanya dalam hitungan singkat berbagai jenis dan ukuran sepeda motor akan memadati ruang terdepan, memadati sisi-sisi sempit diantara mobil yang berhenti, sambil menunggu tak sabar untuk segera memacu kendaraannya lagi. Mereka layak marah, kecewa, dan cemburu. Mengapa pengendara sepeda motor tak diperhatikan, harus dibedakan dengan pengendara mobil, dan menjadi warga keluar dua?

Sejumlah kecelakaan antara sepeda motor dengan mobil, pejalan kaki, ataupun dengan sepeda motor yang lain kerap terjadi. Jika demikian, pengendara sepeda motor lain yang kebetulan melintas sigap berhenti dan membantu. Solidaritas diantara mereka di jalan raya, meski satu dengan yang lain belum tentu saling mengenal, secara alamiah telah terbangun tanpa ada yang memintanya.

Jakarta memang harus menyediakan angkutan umum massal yang mampu memudahkan warganya bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Jakarta memang harus segera mendahulukan lintasan-lintasan khusus yang hanya dapat digunakan para pejalan kaki. Jakarta memang harus lebih tegas mengatur upaya pembatasan penggunakan kendaraan pribadi di ruas-ruas jalan rayanya yang amat terbatas itu. Tapi sebelum mampu menyediakan sistem transportasi yang canggih dan memadai, Jakarta harus segera memikirkan ruang gerak yang nyaman dan aman bagi para pengendara sepeda motor yang jumlahnya meningkat tajam itu, sambil terus mengupayakan terobosan-terobosan lain agar kehadiran mereka diperlakukan lebih layak, lebih manusiawi, dan lebih berkeadilan.

Jakarta, 25 Juni 2009 

sumber : Disini 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun