Menakar Peluang Revolusi Pertelevisian Indonesia : Industri Budaya yang Salah Urus (Bagian I, Bab I) - edisi 2008
Pengantar :
Awal tahun 2008 lalu saya berniat tak lagi bekerja aktif di dunia pertelevisian. Dunia yang telah saya geluti sejak tahun 1993. Dunia yang harus saya akui - tentunya bagi saya pribadi - telah membuka cakrawala yang begitu luas untuk memahami banyak hal tentang Indonesia yang sangat saya cintai ini beserta mereka yang sedang mengisinya : hangat tapi rumit, mendebarkan tapi gelisah, asyik tapi menjengkelkan, berlimpah-ruah tapi miskin, bermoral tapi munafik, penuh kasih-sayang tapi khianat. Persis seperti motto permen yang pernah populer di era 1990-an.
Sejak beberapa tahun sebelumnya sejumlah teman menyarankan untuk mendokumentasikan sejumlah pengalaman, ingatan, dan juga pemahaman tentang belakang layar dunia yang gemerlap dan hingar-bingar itu. Tak ada salahnya bukan?
Kemudian saya bertekad menulisnya. Agar faktual juga obyektif - saya tak bisa menyangkal jika menjaga jarak seutuhnya dari dunia itu bukan soal yang mudah karena terlanjur begitu mencintainya - maka sejumlah riset pustaka maupun lapangan perlu dilakukan. Selama beberapa bulan mulai awal tahun 2008 hingga menjelang Ramadan, saya berkeliling ke beberapa kota Indonesia. Khususnya daerah dimana stasiun televisi lokal maupun komunitas mulai tumbuh menjamur. Juga bertemu dengan sejumlah nara sumber yang terkait dengan apa yang ingin saya tuangkan dalam tulisan itu.
Tapi begitulah hidup manusia. Niat dan suratan tak selalu bersesuaian.
Tiba-tiba telepon genggam saya berbunyi dan diujung sana seorang teman lama meminta untuk bertemu. Ia dari salah satu jaringan media cetak terbesar di republik yang juga sedang mengembangkan stasiun-stasiun televisi lokal di daerah. Meski maksud dan niatan 'pensiun' telah saya sampaikan, ia ngotot agar saya berkenan membantunya.
Pembicaraan kami belum selesai. Saya masih meminta waktu untuk menimbang-nimbangnya. Lalu seorang rekan lain yang memiliki dan memimpin usaha rumah kreatif (advertising agency) yang menangani salah satu produk sepeda motor terbesar di negeri ini menghubungi saya dan meminta untuk menggantikan dirinya.
Kedua tawaran itu tak bisa saya tolak. Saya harus mengurungkan niat untuk tak bersentuhan lagi dengan industri budaya itu. Begitu pula tekad menyelesaikan tulisan tentang pengalaman, ingatan, dan juga pemahaman yang saya miliki.
***
Sejak berniat, saya telah memulai sebagian dari bagian pertama (pendahuluan) yang ingin saya tulis. Hasil pengamatan dan perjalanan ke sejumlah kota, maupun wawancara dengan sejumlah nara sumber yang ditemui pada kurun waktu 7-8 bulan itu, rencananya akan saya gunakan untuk melengkapi bagian-bagian berikutnya.
Tapi semua terpaksa ditunda karena saya kembali berkecimpung di sana. Layaknya pasangan yang pernah saling mencintai, baru pada tahun 2010 akhir kami dapat berpisah secara baik-baik. Memang tidak lagi hidup bersama tapi sesekali masih bertegur sapa menanyakan kabar masing-masing.
Harus saya akui bahwa menulis itu tak mudah, apalagi tentang cinta. Saya berupaya keras mengembalikan semangat dan menyatukan energi yang berserak untuk meneruskan tulisan yang terbengkalai sejak tahun 2008 itu. Lalu saya berkenalan dengan kompasiana. Tempat yang begitu ramah menuntun saya mengumpulkan semangat dan menggelandang energi untuk melanjutkan cita-cita menulis.
Sejak bergabung tahun 2009 lalu, baru sekarang saya mulai menikmati candunya. Ada keyakinan bahwa tulisan yang terbengkalai dulu sudah saatnya untuk dilanjutkan.
***
Sejak tahun 2008 hingga hari ini, industri pertelevisian telah berkembang luar biasa. Tak hanya itu, dominasinya pun sudah bergeser dan mulai berkelindan dengan industri internet dan media sosial yang tumbuh jauh lebih pesat. Apa yang sebelumnya telah saya tulis, walau tetap meyakini relevansinya sebagai bagian dari kerangka besar yang ingin disampaikan, semestinya disunting dan diperbaiki terlebih dahulu agar memiliki kesesuaian yang aktual. Bagi saya, hal itu akan beresiko menyurutkan semangat kembali. Maka saya putuskan untuk mempublikasikan saja dulu tulisan yang pernah ada sebelumnya tanpa melakukan perubahan maupun perbaikan apapun. Niat saya, kelak ketika semuanya rampung, baru akan saya edit dan sempurnakan.
Jadi, mohon dimaklumi jika tulisan yang secara bertahap akan saya munculkan itu bernuansa latar belakang hingga tahun 2008. Begitu pula data dan informasi pendukungnya. Meski demikian, walau jauh dari sempurna, saya berharap pesan maupun gagasannya masih dapat dipahami dalm konteks kekinian.
Terima kasih,
Jilal Mardhani - 23 Oktober 2015
****
"MENAKAR PELUANG REVOLUSI PERTELEVISIAN INDONESIA : INDUSTRI BUDAYA YANG SALAH URUS"
Bagian Pertama - KENDALI YANG TERLEPAS
Bab 1 : Sang Pelopor yang Dipuja dan Dibenci
Indonesia pernah berharap tayangan televisi yang hadir di tengah ruang keluarga mulai beragam ketika RCTI mengudara pada pertengahan tahun 1989 lalu. Sebelumnya, masyarakat hanya dapat menyaksikan TVRI. Lembaga penyiaran yang dimiliki dan dikelola pemerintah itu memancar-luaskan sebagian besar program tayangan yang dikendalikan dari Jakarta ke berbagai pelosok tanah air melalui 27 jaringan stasiun penyiaran daerah yang didukung hampir 400 stasiun transmisi.
Pembangunan TVRI dimulai setelah bung Karno yang sedang berada di Wina mengirim teleks kepada Menteri Penerangan Maladi pada tanggal 23 Oktober 1961 (Sejarah TVRI dapat dilihat pada www.tvri.co.id, diunduh pada tanggal 15 April 2008 - red). Siaran percobaan dilakukan pada saat memperingati HUT Kemerdekaan XVII Republik Indonesia di halaman Istana Merdeka. Seminggu kemudian, 24 Agustus 1962, TVRI untuk pertama kali mengudara dengan menyiarkan langsung acara pembukaan Asian Games IV dari Istora Senayan yang kini berganti nama menjadi Gelora Bung Karno (Istora merupakan singkatan dari Istana Olahaga sedangkan Gelora adalah singkatan dari Gelanggang Olahraga - red).
Stasiun penyiaran daerah yang pertama mengudara adalah Yogyakarta (1965). Kemudian menyusul Medan (1970), Palembang (1974), lalu Surabaya, Denpasar, dan Menado pada tahun 1978, serta kota-kota besar lainnya. Empat yang hadir setelah swasta ikut ambil bagian dalam kancah tayangan pertelevisian adalah Ambon (1993), Palangkaraya (1995), Bengkulu (1998), dan Gorontalo (2007).
Semula stasiun-stasiun penyiaran daerah yang berada di ibukota propinsi itu hampir sepenuhnya mengelola tayangan yang disuguhkan. Wilayah jangkauan masing-masing juga diperluas hingga mencakup masyarakat kota-kota lain disekitarnya dengan membangun relay station yang mengandalkan teknologi microwave. Ketika itu Indonesia belum memiliki satelit sendiri sehingga jumlah tayangan dari Jakarta yang dipancar-teruskan ke stasiun-stasiun lokal itu masih sangat terbatas.
Misalnya stasiun TVRI di Medan. Saya lahir dan tinggal disana sebelum pindah ke Bandung pada tahun 1980. Ketika itu, sebagian besar tayangan disiarkan dan dikendalikan oleh stasiun penyiaran setempat. Memancar-teruskan (relay) tayangan dari Jakarta membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Hingga menjelang akhir tahun 1970-an, pemirsa di Medan dan sekitarnya menikmati siaran TVRI stasiun lokal sampai jam 9:00 malam. Program dari TVRI Jakarta baru dipancar-teruskan setelahnya, bersamaan dengan jam tayang Dunia Dalam Berita dimulai. Saya masih ingat Toety Aditama dan Anita Rahman adalah 2 dari pembaca berita yang sangat populer di masa itu.
Mesin Propoganda
Sebelum TVRI mengudara di Medan, sebagian masyarakat yang bermukim di pesisir pantai barat Sumatera itu sudah biasa menyaksikan siaran RTM (Radio Televisi Malaysia). Kualitas penerimaan gambar dan suara televisi Malaysia itu, yang seperti TVRI juga menggunakan gelombang VHF (very-high-frequency), memang sering terganggu cuaca. Bahkan kadang-kadang gambar dan suaranya sama sekali tak dapat diterima. Agar kualitas siaran televisi negara jiran yang hanya dipisahkan laut Selat Malaka itu bisa diterima lebih baik, masyarakat membangun menara untuk menempatkan antena televisi. Tingginya bervariasi, bahkan ada yang sampai 40 meter! Semakin tinggi menaranya maka kualitas penerimaannya akan lebih baik. Keberadaan menara antena televisi yang terletak di halaman-halaman rumah itu tentu sangat mudah dilihat oleh siapapun yang melintas sehingga menjadi simbol fisik dari status sosial-ekonomi para pemiliknya.
Memancar-teruskan siaran dari stasiun pusat Jakarta baru mudah dilakukan setelah satelit pertama Indonesia (Palapa) diluncurkan pada pertengah tahun 1976. Satelit itu dibiayai melalui anggaran pemerintah dengan nilai US$ 153,4 juta setelah Indonesia memperoleh ‘rezeki’ dari melonjaknya harga minyak dunia pada tahun 1973. Pencanangannya sebagai bagian dari anggaran nasional disampaikan langsung oleh Presiden Soeharto pada saat pidato kenegaraan pada tanggal 6 Januari 1975 (Bondan Winarno, “Creating Value in a State-owned Company - a Case Study of PT Indosat Tbk.”, Inspirasi Indonesia Publisher, 1997, halaman 22 - red).
Dulu, sebelum jam 09:00 malam, Jakarta biasanya hanya menginterupsi tayangan stasiun daerah pada jam 7:00 malam, yaitu ketika Berita Nasional mengudara. Jika tidak ada hal khusus, seperti tayangan yang melaporkan kegiatan kepresidenan atau pemerintahan kabinet Orde Baru, relay tayangan berita dari Jakarta itu hanya sekitar 15 menit. Kemudian hari durasinya meningkat jadi 30 menit.
Ketika Indonesia belum memiliki satelit sendiri, menyajikan siaran secara nasional tentunya tidak mudah dan mahal. Doopy Irwan (Doopy Irwan merupakan salah satu karyawan yang bekerja di RCTI sejak masa awal dan disana pernah memegang berbagai jabatan strategis di bidang teknik dan operasional penyiaran. Ia juga sempat merangkap sebagai Direktur Teknik di SCTV ketika stasiun tersebut memindahkan kantor operasinya dari Surabaya ke Jakarta. Disamping itu ia juga pernah diminta menjadi salah seorang direksi di lingkungan Indovision, perusahaan jasa televisi berlangganan pertama yang juga dimiliki Bimantara Group - red) dan Dwiananto Widjojo (Ketika masih bekerja di RCTI, saya mengajak Dwiananto Widjojo bergabung dan menangani aspek teknik yang berada di lingkungan pemberitaan yang bernaung di bawah PT Sindo Citra Media. Ketika saya meminta program Seputar Indonesia memiliki siaran langsung dari lokasi setiap kali mengudara, lulusan ITB ini mempunyai peran besar dalam merancang dan membangun perangkat peliputan bergerak (electronic-news-gathering van) yang mampu meneruskan laporan reporter ke studio dengan menggunakan teknologi microwave, dan disiarkan langsung kepada pemirsa. Saat ini ia bekerja sebagai salah seorang Technical Manager di kelompok perusahaan siaran televisi berlangganan Astro - red) mengatakan, sebelum jasa satelit tersedia, TVRI memanfaatkan jaringan komunikasi PT Telkom Indonesia yang menggunakan teknologi kabel ataupun microwave untuk menjangkau stasiun-stasiun lokal di daerah. Dari sana baru kemudian dipancar-teruskan melalui jaringan relay-station kepada masyarakat luas yang berada dalam cakupan wilayah siar regional masing-masing.
Pemerintah Orde Baru memang memberi mandat resmi kepada TVRI sebagai agen pembangunan. Selaku corong pemerintah lembaga yang bernaung di bawah Departemen Penerangan itu bertugas menyuarakan program dan ‘keberhasilan pembangunan’ yang dilakukan. Presiden Soeharto kerap tampil dan seluruh pemirsa televisi dapat menyimak pidato-pidato yang disampaikannya pada berbagai jenis perhelatan. Biasanya berupa rekaman yang diambil ketika sang ‘Bapak Pembangunan’ meresmikan sesuatu, memimpin upacara perayaan tertentu, atau berkunjung ke daerah. Ada juga yang disiarkan langsung, terutama jika pemerintah menganggapnya penting, seperti pada saat memperingati kemerdekaan, pidato akhir tahun, penyampaian nota anggaran, serta pembukaan musabaqah tilawatil Qur’an. Presiden Soeharto biasanya tampil di acara-acara tersebut untuk membaca naskah pidato yang sebelumnya telah disiapkan dan diketik rapih.
Sebagai media propaganda tentu bentuk dan ruang kreatifitas tayangan TVRI sangat terbatas sehingga kadang dianggap menjemukan dan tidak menarik. Tapi anggapan tersebut mungkin tidak disetujui oleh sebagian masyarakat, misalnya oleh sejumlah pemirsa yang tinggal di kota-kota kecil dan pedesaan yang dilibatkan pada tayangan Kelompencapir (kelompok pendengar radio, pembaca koran, dan pemirsa televisi). Program itu biasanya diletakkan pada jam utama atau prime time. Meski format acara binaan Departemen Penerangan tersebut tidak jauh beda dengan kuis maupun game show yang tersebar di stasiun-stasiun televisi swasta mutakhir saat ini, Kelompencapir memang cenderung kehilangan daya tarik karena sajian maupun pesertanya terkesan diatur dan tidak spontan. Segala sesuatu telah diarahkan agar sesuai dengan ‘maksud’ yang ingin disampaikan. Para peserta juga harus melalui proses saringan khusus agar kelak dapat tampil sesuai dengan skenario yang diinginkan pengarah acara.
Tapi bukan berarti TVRI tak memiliki tayangan kuis maupun game show yang dinanti banyak pemirsa. Tokoh kreatif yang merintis tayangan-tayangan itu adalah Ani Sumadi (Ani Sumadi adalah istri salah seorang birokrat yang kemudian hari pernah menjadi pejabat di Departemen Penerangan. Ia mendapat inspirasi tentang tayangan kuis ketika bersama suami sering bertugas di luar negeri dan menyaksikan tayangan televisi di sana. Helmy Yahya yang kini menjadi salah satu ikon pencetus gagasan tayangan dan pembawa acara kuis dan game-show di berbagai TV swasta Nasional merupakan salah seorang ‘murid’-nya - red). Perannya tetap menonjol ketika kemudian stasiun televisi swasta mulai menghadirkan tayangan sejenis kepada pemirsanya. Sejumlah pembawa acara meraih ketenaran setelah membawakan progam-program kuis yang digagas beliau. Krisbiantoro, Kushendratmo, Tantowi Yahya, bahkan Dede Yusuf - yang pada pemilihan kepala daerah April 2008 lalu baru saja terpilih menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat - adalah beberapa diantaranya.
Selain Kelompencapir, program yang juga dianggap menjemukan tapi kerap ditayangkan TVRI adalah Temu Wicara. Kerap menampilkan Soeharto yang berdialog dengan rakyat bak penyuluh pertanian. Dengan fasih ia bertutur dan didampingi sejumlah pejabat yang duduk di kiri dan kanannya.
TVRI juga memiliki sejumlah tayangan yang berkualitas untuk zamannya, seperti penampilan berkala orkestra Telerama pimpinan almarhum Isbandi yang dipandu keponakannya, biduanita Diah Iskandar. Memang tidak semua pemirsa menggemarinya. Sebagian besar mungkin lebih berminat terhadap tayangan Kamera Ria dan Aneka Ria Safari yang dipandu mantan komedian almarhum Eddy Sud. Ketika itu, hampir tidak ada penyanyi yang bisa populer di jagad Nusantara tanpa terlebih dahulu tampil di sana. Peran TVRI terhadap industri musik cukup penting sehingga pemerintah berkuasa dapat menggunakan kekuatan media ini untuk menyokong kepentingannya. Pencekalan Raja Dangdut Rhoma Irama yang tak bersedia tampil mendukung Golkar (Golongan Karya) sebagai partai yang berkuasa sepanjang Orde Baru, merupakan salah satu contoh.
TVRI juga menyuguhkan serial asing. Sebagian besar merupakan produksi Hollywood yang banyak digemari pemirsa, seperti Bonanza, The Unthouchable, Alfred Hitchock, Hawaii Five O, bahkan Wrestling, serial gulat menegangkan yang versi masa kininya sempat tayang di salah satu stasiun swasta Nasional. Program yang populer dengan istilah smackdown itu menuai kehebohan di penghujung tahun 2006 lalu karena menyebabkan Reza Ikhsan Fadillah (9 tahun) tewas oleh temannya yang sama-sama duduk di bangku SD, setelah menirukan adegan tayangan di televisi (lihat pemberitaan media massa nasional maupun lokal pada awal Desember 2006, diantaranya juga dapat dibaca di www.antara.co.id/print/?id=1164712854 - red). Disamping itu, meskipun dalam jumlah yang jauh lebih terbatas dibanding stasiun-stasiun televisi swasta masa kini, TVRI juga menyiarkan langsung berbagai perhelatan akbar olahraga internasional, seperti Piala Dunia Sepakbola, bulu tangkis All England, maupun pertandingan tinju kelas berat di masa George Foreman, Muhammad Ali, Joe Frazier, Ken Norton, dan kawan-kawannya masih aktif bertarung di atas ring.
Program komedi merupakan salah satu mata acara yang banyak dinanti pemirsa TVRI tempo doeloe. Dari sana banyak grup lawak dan komedian yang lahir dan kemudian populer. Meski dilanda pasang-surut, pada umumnya popularitas mereka mampu bertahan dan masih mengambil peran penting pada tayangan-tayangan televisi swasta yang muncul kemudian hari. Sebagian diantara mereka kini telah berpulang di tengah ketenarannya, seperti Asmuni, Ateng, Suprapto, Kasino, Basuki, dan beberapa yang lain.
Bagi sebagian pemirsa, program Berita Nasional yang mengudara selama setengah jam mulai pukul 19:00 WIB mungkin sangat menjemukan. Berita yang disuguhkan terasa datar dan didominasi berbagai liputan seremonial. Lain halnya dengan Dunia Dalam Berita yang tayang pada jam 21:00 WIB. Banyak pemirsa yang tak berselera menyaksikan Berita Nasional, tetap setia menanti jam tayang Dunia Dalam Berita. Sebagaimana judulnya, selain berita yang menyangkut kegiatan politik luar negeri Soeharto, juga disampaikan berbagai berita lain dari manca-negara yang dikutip dari sejumlah kantor berita asing. Secara visual maupun kemasan, tayangannya memang sering kali jauh lebih berkualitas. Segmen berita olahraga internasional yang diletakkan terakhir merupakan daya tarik tersendiri dari program itu.
Majemuk dan Sensor
Pemirsa TVRI adalah seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki akses ke pesawat televisi. Sebagai media propaganda pemerintah berkuasa, ia memang harus menjangkau seluas-luasnya kepentingan publik dan kekuasaan. Tingkat kepemirsaan (rating) bukan menjadi parameter utama untuk menentukan jenis dan jam tayang sebuah program. Betapapun saratnya kepentingan dan kendali pemerintah, mata acara yang disuguhkan sesungguhnya sangat beragam sehingga dapat memenuhi berbagai selera dan kepentingan. Penggemar musik simfoni tetap terlayani meski pemirsa setia pop dan dangdut jauh lebih banyak. Jikapun Kelompencapir ada penggemarnya, format kuis lainnya yang modern, meriah, dan megah tetap mendapat tempat. Berita seremonial gunting pita dan pecah kendi para pejabat ketika meresmikan proyek-proyek pemerintah diimbangi dengan tayangan berita internasional yang berkualitas pada jam lainnya.
Istilah sinetron muncul ketika televisi swasta hadir. Disingkat dari kata sinema eletronik. Lazimnya cukup disebut sebagai serial drama atau drama series saja, seperti yang biasa digunakan untuk memberi kategori kepada Melrose Place dan Bold and Beautiful. Belakangan kalangan swasta malah mempopulerkan istilah yang lain lagi, yaitu FTV. Maksudnya Film Televisi. Bedanya hanya pada jumlah episode, durasi tayang, dan sedikit teknik pengambilan gambar.
TVRI pada zaman doeloe sesungguhnya telah mampu menghadirkan serial drama menarik yang dinanti banyak pemirsa. Ketika itu teknologi kamera video belum berkembang sehingga pengambilan gambar adegan drama selalu dilakukan di studio. Program-program tersebut sarat dengan kandungan budaya dan kearifan lokal, termasuk pesan lembaga pemerintah yang mensponsorinya, seperti serial Dokter Sartika dan Losmen.
Peran pemerintah terhadap TVRI memang sangat ketat. Pembawa acara atau pembaca berita yang salah mengeja nama pejabat, menyebutkan pangkat atau jabatan tokoh yang diberitakan, bisa dipanggil dan diperiksa aparat keamanan (Ibu saya, Rosida Mardhani, dulu pegawai TVRI stasiun Medan (1975 - 1998). Selain membawakan acara Cerdas Tangkas, program regular bagi pelajar-pelajar sekolah, ibunda pernah menjadi salah seorang pembaca berita. Suatu kali ia salah menyebutkan nama Soeharto ketika membacakan berita daerah. Berita yang tertulis ‘Presiden Soeharto’ tanpa sengaja dibacanya sebagai ‘Presiden Soekarno’. Maka esok harinya ia harus berhadapan dengan interogasi petugas Laksusda - pelaksana khusus daerah, mengklarifikasi ketidak-sengajaan itu red) Oleh karenanya, penguasaan pengetahuan umum, kecermatan dan tingkat kecerdasan pembaca berita menjadi salah satu sarat utama untuk lolos proses seleksi yang dilakukan secara ketat. Tingkat kematangan dan penguasaan materi berita tentu saja menjadi salah satu kriteria lainnya. Juga teknik menyajikan dan menyampaikannya. Maka tidak mengherankan jika popularitas para pembaca program berita di tengah masyarakat ketika TVRI masih memonopoli layar kaca cukup tinggi. Terlepas dari kualitas isi materi berita yang disampaikannya, mereka memang tampil sebagai pewarta-pewarta yang meyakinkan.
Meski pemirsa TVRI segera tergerus drastis setiap kali stasiun televisi swasta memancangkan relay station di suatu daerah, kualitas pembawa acara program berita mereka tetap jauh lebih baik. Hal ini terbukti ketika Siti Hartinah Soeharto yang akrab disapa Ibu Tien wafat pada tanggal 28 April 1996. Peter F. Gontha (Peter F. Gontha atau PFG yang sebelumnya bekerja di American Express merupakan motor utama kelompok usaha Bimantara. Bersama dengan Bambang Trihatmodjo, Indra Rukmana, Tachril Sapii, dan Rosano Barakh mereka merambah berbagai sektor bisnis dan salah satunya adalah di bidang pertelevisian.
Di masa-masa awal persiapan RCTI, PFG sempat menjadi Direktur Utama. Ketika ibu Tien meninggal, ia telah menjadi salah seorang anggota Dewan Komisaris di RCTI maupun SCTV - red) mengambil alih kendali operasional RCTI utuk menyiarkan langsung berita duka tersebut secara marathon, sehari penuh. TVRI dan seluruh stasiun televisi swasta yang lain ikut bergabung menjadikannya siaran bersama pertama yang bukan acara resmi kenegaraan. Penayangan yang melibatkan liputan langsung dari berbagai lokasi itu tentu sangat membutuhkan wawasan, pengetahuan, kemampuan, dan kematangan pembawa acara yang memadai.
Sebagian besar materi yang disampaikan kepada pemirsa tentu tidak sempat disiapkan terlebih dahulu. Mereka harus berimprovisasi langsung dengan reporter di lapangan, mengolah cepat berbagai informasi yang terus mengalir melalui lembar-lembar kertas yang disodorkan ke atas meja, ataupun yang dibisikkan melalui saluran earphone (salah satu alat bantu yang memungkinkan pengendali siaran berkomunikasi dan menyampaikan instruksi maupun informasi kepada pembawa acara yang sedang melakukan siaran - red) yang menempel di telinga. Perlengkapan teleprompter (digunakan untuk menampilkan naskah yang harus dibaca pembawa acara. Posisinya yang diletakkan tepat di bawah lensa kamera yang sedang menyorot, menyebabkan pembawa acara berita dapat menatap langsung pemirsa seolah menguasai berita yang disampaikan - red) yang diletakkan tepat dibawah lensa kamera yang menyorot mereka tak lagi mampu membantu.
Seluruh penyiar RCTI yang ditampilkan pada tayangan berkabung yang di-relay seluruh kanal televisi itu tampak kewalahan. Mereka memang belum terbiasa dengan format demikian. Hanya Desy Anwar (Dessy Anwar beberapa kali terpilih sebagai Pembawa Acara Program Informasi Terfavorit Pilihan Pemirsa pada era tahun 1990-an. Bahkan ketika ia sudah tidak lagi tampil, pemirsa masih tetap memilihnya - red) yang tampil lumayan. Setelah beberapa saat mengudara, sejumlah pembawa acara berita TVRI datang membantu dan akhirnya penyiaran berita berkabung tersebut dapat terselamatkan setelah Usi Karundeng tampil mengambil peran sebagai news anchor (Saya selalu mengelompokkan pembawa acara program berita dalam 3 kategori, yaitu news reader, news presenter, dan news anchor. News anchor merupakan pembawa acara yang dapat menjadi pusat program berita yang mengerahkan dan mengendalikan berbagai sumber menjadi bahan beritanya, termasuk reporter maupun nara-sumber di lapangan dan tamu yang dihadirkan khusus di studio. News presenter belum tentu mampu menjadi news anchor karena mereka hanya terbiasa menyampaikan materi-materi yang sudah disiapkan matang terlebih dahulu, termasuk naskah yang akan dibacakannya - red)
***
Tayangan-tayangan TVRI tentu saja menghadapi sensor yang ketat, apalagi materi siaran beritanya. Adegan ranjang maupun pasangan yang berintim-ria diharamkan. Demikian ketatnya sehingga sebuah tayangan yang secara artistik bagus, kadangkala terpaksa tidak diloloskan karena pertimbangan kemajemukan tingkat kedewasaan pemirsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Intinya, meski siaran dibawah kendali pusat, Jakarta tetap tak serta-merta memaksakan gaya dan seleranya. Kurang-lebih dan baik-buruk dampak yang diakibatkan sebuah tayangan mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Secara normatif, TVRI memang dihadirkan untuk kepentingan publik, meski dalam prakteknya lebih diarahkan sebagai media penerangan pemerintah. Sangatlah wajar jika pertimbangan popularitas dan nilai komersial sebuah tayangan bukan menjadi hal yang utama. Program acara yang berkaitan langsung dengan materi kegiatan pendidikan formal, seperti Bahasa Inggris ataupun Cepat dan Tepat yang berupa acara kuis untuk pelajar-pelajar sekolah, adalah 2 diantaranya. Ada pula program yang ditujukan untuk memberi penyuluhan kepada masyarakat, seperti sajian yang dikemas sebagai program penerangan yang berkaitan dengan aspek kesehatan publik dan dunia medis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H