Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Mental, Jokowi Mustahil Sendiri

29 September 2015   01:42 Diperbarui: 29 September 2015   02:16 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bertubii-tubi persoalan yang menerjang bangsa kita hari ini. Keadaan ekonomi yang masih memburuk dan dunia usaha yang makin terpuruk salah satunya. Ditambah pula dengan berbagai bencana seperti tragedi asap karena hutan yang terbakar maupun dibakar. Termasuk kekeringan yang berkepanjangan. Semua derita itu masih perlu dilengkapi dengan prilaku ‘tak senonoh’ putra-putri terbaik yang dipilih untuk nongkrong di berbagai lembaga tinggi negara. Menyalah gunakan kekuasaan maupun mendahulukan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Tak ada kecuali. Eksekutif, legislatif, bahkan unsur yudikatifnya.

Berhadapan dengan bermacam persoalan yang berulang ataupun yang tak kunjung menampakkan titik terang - terutama bagi yang menghadapinya langsung - tentu membuat suasana tidak nyaman. Apalagi sebagai anggota masyarakat biasa yang mendambakan upaya sungguh-sungguh dan bertanggung-jawab dari pihak yang berwenang. Termasuk pemimpin tertinggi negara ini : Jokowi dan JK. Janji dan pernyataan menyejukkan terasa semakin hambar. Kesabaran terus tergerus hingga demkian tipis. Kemarahan dan rasa frustasi itu ada. Dan mulai subur berkembang.   

Sejak kemarin, di salah satu media sosial terbatas, issue-issue itu mengemuka. Seorang sahabat yang mengalami langsung derita bencana asap di Sumatera memohon kepada yang lain untuk memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa untuk mengulurkan tangan ajaibnya. Rekan lain di ujung timur pulau Jawa mengkhawatirkan kemarahan di berbagai lapisan masyarakat bawah yang terdampak menjadi rawan terbakar atau dibakar tangan-tangan yang ingin memecah-belah bangsa ini.

Sebagian besar persoalan yang dihadapi bangsa ini adalah buah karya nafsu, hati-nurani dan tangan manusia-manusianya. Baik yang sekarang masih bercokol di simpul-simpul kekuasaan maupun sebagai bentuk warisan buruk prilaku oknum pemerintahan lancung sebelumnya. Berdoa perlu. Tapi tanpa iktikad dan upaya yang semestinya hal itu tentu sesuatu yang absurd. Seandainya ada peruntungan yang mampir pastilah bersifat sangat sementara dan jangka pendek. Tanpa perubahan yang sungguh-sungguh - melalui revolusi, reformasi, atau apapun namanya - persoalan yang sama akan kembali lagi. Sangat mungkin dengan skala dan kompleksitas yang lebih runyam.

Di bawah ini merupakan cuplikan dari sebagian pembicaraan saya dengan 2 rekan - AM dan NHA - di media sosial terbatas tadi. Saya lakukan beberapa penyuntingan kecil tanpa merubah makna pokok yang dibahas. Semata untuk membuatnya lebih mudah dipahami. 

***

kepada AM : 

Hampir semua kita menghadapi berbagai keprihatinan. Asap di Sumatera dan Kalimantan adalah salah satunya. Memang dirasakan sangat mengganggu oleh sebagian dari kita, terutama yang bersentuhan langsung. Sesungguhnya sebagian yang lain juga sedang berduka dengan bermacam soal yang lain yang tak kalah memusingkan. Juga soal hidup-mati.

Saya ikut prihatin. Dan malah sangat prihatin!

Tapi saya tak berani berkata lebih jauh. Khawatir terjadi salah tafsir. Pada sisa umur yg semakin pendek ini saya sungguh berupaya untuk mengisinya hanya dengan hal-hal yang dapat mendatangkan kebaikan. “Its about the song that we sing but not the singer!”

Tentu kita semua berdoa dan Tuhan-pun niscaya bekerja dengan kuasa-Nya. Dia yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana memutuskan mana yang berlaku.

Tapi lepas dari wilayah otoritas Nya yang tak mampu kita campuri itu, kita harus terus berupaya, tetap bekerjasama, dan selalu saling mengingatkan.

Itu sebab beberapa waktu lalu saya menyaranikan pembacaan buku Yudi Latief, “Negara Paripurna - Historisme, Rasionalitas, dan Aktualitas” itu. Memang tak ada hubungan langsung dg soal kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Tapi bagi saya, sangat menenteramkan hati menyadari betapa hebat, kaya, luas, dan dalamnya pendiri bangsa ini memikirkan masa depan Indonesia.

Permasalahan justru terlihat pada yang mengurus setelah merdeka, termasuk kita semua.

Kepada NHA :

Saya yakin Anda peduli. Di sektor jagung yg menjadi pakan ternak terbukti Anda bersama SL sudah melakukannya.

Hasilnya tak sesuai dan masalah makin runyam? Wajar kok, kawan! Tapi sabar dan teguh saja pada keyakinanmu selama memang hanya niat kebaikan yg diyakini.

Maaf beribu maaf jika saya sekedar mengungkap contoh. Juga tak ada maksud ria dan sombong. “Dont get me wrong ya bro.”

Saya yakin Tuhan ga tidur. Mungkin cuma kita yg malas atau tak mau berusaha.

Pasti masih banyak yg meragukan bermacam hal yg sedang diupayakan agar berlaku sebagaimana yang semestinya. Sebab terlalu banyak yg sudah terbiasa dan nyaman berkelindan dg hal-hal yg tidak seharusnya.

Masing-masing dari kita tak sulit untuk mengetahui hal itu. Tapi mungkin cukup sulit untuk memahaminya.

Dalam lingkup terkecil memang harus dimulai dari diri sendiri. Jika dilihat dari sudut tertentu seperti menyiksa diri. Tapi dari sudut yg lain mudah-mudahan sebagai ikhtiar dan upaya membebaskan diri.

Tak ada yg suci bersih dan tentulah hal itu sudah pasti, kawan! Kita semua pernah kotor, salah, atau lancung. Semua tahu. Memperbaiki lebih baik dibanding mempertahankan yg tak betul. Pada tingkat ini hanya upaya memelihara dan meningkatkan kesadaran terus-menerus dan pantang lelah atau tak hendak menyerah yang menjadi prasyaratnya.

Jokowi dan beberapa yg ada di sekitarnya saya yakini memiliki tekad itu. Dan tentu bukan hal yang istimewa jika masih banyak pula diantara mereka yang tetap berupaya mempertahankan kenyamanan yang diperoleh dari prilaku kotor, salah, dan lancung sebelumnya. Sebab banyak yang terlanjur meyakininya sebagai suatu keniscayaan. Sudah membudaya, bung!

Sampai disini tentu tak ada lain yg bisa saya bilang selain upaya membantu pemimpin yang kita yakini sedang beriktikad melakukan semua itu. Sekecil apapun yg dapat dilakukan. Tanpa mengharap ganjaran apapun darinya.

63 persen dari kita dulu langsung memilih SBY. Berharap pada kesantunan calon presiden yang 'teraniaya' itu.

Hanya dalam tempo 5 tahun hampir 2/3 pemilih itu lupa pada 'alergi' akutnya terhadap sepak terjang ABRI - sebelum berganti julukan menjadi TNI - yang begitu menggelisahkan saat politik dwifungsi marak di era Orde Baru lalu. Bahkan fraksinya di DPR telah kita dihilangkan setelah reformasi. Tentara kembali saja ke barak dan tak usah mengurusi kehidupan sipil.

Dan dalam waktu singkat pula SBY kembali membiarkan - jika tidak ingin mengatakan menyuburkan - hal-hal yg kotor, salah, dan lancung tadi berkembang. KKN - korupsi, kolusi, nepotisme - yang disepakati bersama sebagai momok pembangunan bangsa ini malah dibiarkan menyesuaikan diri dengan segala kekinian.

Tentu momok itu tak mungkin kerja sendirian.

Kemarin, lebih dari setengah rakyat memilih Jokowi ditengah keadaan yg sebetulnya jauh lebih carut marut dibanding era Orde Baru sebelumnya. Midas telah bersalin bentuk layaknya malaikat dan peri yang baik.

Kita - ya kita semua - memang selalu menyerahkan cek kosong. Kepada Megawati lalu SBY. Sepatutnya janganlah kita ulangi pada Jokowi. Karena saya memang pendukungnya. Malah mencintainya.

Jilal Mardhani 

 

Artikel terkait:

  1. “Ramadan #1 : Perubahan” 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun