Mohon tunggu...
Jihantary
Jihantary Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

an ordinary girl teko ndeso. Mahasisiwi. Suka membaca, denger musik, mancing dan menulis. Terimakasih atas kunjungannya.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memoar Gadis Luka

7 Februari 2015   14:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:39 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menunggu di dalam kamar sampai matahari benar-benar tenggelam dan bumi hitam diselimuti malam. Kupastikan tak ada yang tertinggal barang-barang pentingku yang mungkin tidak berharga bagi orang lain, rekening bank dengan saldo nol rupiah, dompet berisi uang yang cukup untuk perjalanan, notebook, dan buku catatan. Selebihnya, jika ada apa-apa aku rela melemparkan seisi tas asal jangan barang-barang itu. Aku tak bisa hidup tanpanya.

Saat malam sudah tiba, aku mengangkat tasku meninggalkan rumah itu. Penghuni rumah sedang bercengkrama di kamar mereka saat aku membuka pintu dan melangkah pergi tanpa pamit tentunya. Bukan pula minggat karena mereka tak akan mencari-cari kemana aku pergi. Mereka tak akan pula menangis, malah akan tertawa riang sambil merayakan kemenangan mereka dengan ringkikan tawa mesum dan makian, untukku. Mungkin hanya akan ada wajah yang ditampakkan menyesal akan kepergianku saat mereka mengabarkan kepada orangtuaku bahwa aku hengkang dari rumah itu tanpa pamit. Kepergian yang mereka harap-harapkan dari dulu.

***

Sejak aku dirasakan tak membawa keuntungan finansial bagi mereka dan malah merugikan mereka, yang jika dihitung secara matematis dari penghasilan mereka, tidak seberapa banyaknya, selalu saja ada masalah yang menyulut kebencian si tuan rumah yang terhormat itu. Bukannya aku tak menyadari seberapa tak pentingnya aku, tapi aku menghargai perjanjian mereka dengan ibuku. Mereka bersedia memberiku tumpangan sementara waktu selama studi dengan catatan bersedia membantu pekerjaan rumah tangga di rumah itu. Kesalahanku adalah, aku tidak tahu apa maksudnya membantu. Aku sendiri mengartikannya “membantu semampuku” sebagai mahasiswa yang banyak tugas dan harus menghadiri perkuliahan setiap hari bahkan hari libur jika ada kuliah yang jadwalnya tertunda.

Kesalahfahaman itu makin meruncing saat aku sendiri mulai bosan dengan caci-makinya yang melukai hatiku. Aku berusaha menyadari diri betapa aku di sana bukan siapa-siapa dan berhutang budi pada mereka. Tapi aku manusia biasa yang memiliki hati tak sebening hati para malaikat. Aku anak muda yang selalu ingin menang walau masih sering mengalah. Tapi akhirnya aku kalah dan memulai perseteruan yang lebih serius. Aku membela hakku.

Tapi kuasa ada di tangan yang berpunya. Mereka bisa berkata apa saja karena selama mereka punya uang, mereka bisa menundukkan hati atau mengenyahkan orang lain. Mereka bahkan bisa mengabaikan siapa saja karena mereka telah memiliki harta yang lebih banyak dan senang hanya dengan memilikinya.

Aku merasa seperti menusukkan pedang ke dada sendiri. Tidak ada yang benar dari apapun yang kuucapkan dan tidak ada yang beres dari pekerjaan rumah yang kulakukan. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti melakukan apapun dan berhenti bicara. Aku tenggelam dalam duniaku yang sunyi yang hanya ada kebencian dan penyesalan.

Hingga kegelapan itu semakin kelam, saat suami tuan rumah menawarkan madu yang bisa membuatku merasakan manis di tengah pahit yang terlanjur mematikan hati. Aku menolaknya karena aku tak menyukainya. Ternyata mereka sama saja. Ia menanamkan pengaruhnya di hatiku dengan seribu kata manis yang mau tak mau harus aku dengar karena aku di hadapannya dan tak bisa lari kemana pun selama aku masih di sana.

Aku, setiap berada di rumah itu, tak mengenali diriku lagi. Semua kulakukan dengan perasaan dan insting. Tanpa berpikir. Aku menangis dan tertawa. Masuk dan keluar kamar, mengikuti kemauan tubuhku. Mulutku bisu dan pikiranku penuh keributan tentang khayalan-khayalan kebebasan di luar sana. Aku mati meskipun masih bernyawa dan tubuhku dijalankan oleh ruh tanpa semangat dan tujuan.

***

Dia membayangiku kemana pun aku pergi. Aku ingin berteriak membayangkan kengerian yang tengah kualami. Tapi obsesiku yang berlebihan tentang keidealan hidup yang penuh cinta kasih dan pikiran positif, membuatku menidakkan kemungkinan buruk yang terjadi, yang jelas-jelas terprediksi bahkan oleh instingku sendiri. Tapi aku terlanjur terperosok ke dalam jurang kesunyian yang membuatku enggan memikirkan kengerian, bahkan kengerian yang harus kusibak untuk menampilkan kebaikan hidupku di masa datang.

Aku kosong. Aku, jiwa yang melayang yang tak punya kekuatan sekedar untuk menautkan diri pada ujung-ujung dedaunan. Aku melayang-layang ditiup angin yang berhembus semaunya. Aku diam dan pasrah.

Hingga aku sadar. Bahwa laki-laki itu sudah menjejaliku dengan madu yang sudah kusangka sebelumnya adalah racun mematikan. Hatiku hancur. Lumer seperi cairan kental yang sedikit demi sedikit keluar dari rongganya.

Aku rapuh dan tak berdaya. Tapi aku anak muda yang pernah kecil dengan petualangan-petualangan kecil yang mendidikku menjadi manusia tangguh di masa datang. Manusia, yang meskipun tidak besar atau penting, namun selalu punya kekuatan untuk menjadi lebih baik.

Aku yang waktu kecil selalu disapa “Ndok” oleh ibuku, sangat senang bermain perang-perangan, tembak-tembakan, dan kelereng. Aku kecil bahkan ingin sekali mempraktekkan jurus kera sakti dari buku milik kakak laki-lakiku. Dan suatu hari aku pernah, tanpa sepengetahuan orangtua, memanjat pohon kelapa dan berhasil menjatuhkan sebutir kelapa muda dan turun dengan selamat dari kecelakaan dan dari omelan orang tua.

Lalu aku yang kini, bertubuh atletis? Perempuan yang pandai pencak silat?Ahli menembak? Gesit? Dan berani?. Tidak. Sama sekali tidak. Aku perempuan dewasa yang kekanak-kanakan, yang manja dan lemah secara fisik. Yang kulakukan sewaktu kecil tidaklantas menjadikanku seperti “wonder women” berotot kekar dan disegani banyak orang dengan sapa tunduk hormat. Tapi lebih dari itu, yang kupelajari saat kecil telah mengajariku untuk bisa berperang dalam batinku, mengalahkan musuh yang benar-benar mengajakku mati, dengan keputusasaan.

Aku menyadari, kekuatan bukan dari tangan kekar berotot yang kepalan tinjunya bisa merontokkan jantung dan meletuskan lambung, tapi hati yang tak pernah mati untuk bangkit dari keterpurukan. Musuh pun bukan berarti pedang atau tembak yang bisa memuncratkan darah dari anggota tubuh dan menghilangkan nyawa, tapi keputusasaan, sebuah kekuatan halus yang dengan perlahan bisa menyuruh tangan untuk menuangkan racun tikus ke dalam gelas atau menyuruh melangkahkan kaki ke tempat nista untuk menghidupkan raga dengan jiwa palsu. Aku tak mau mati konyol atau hidup dengan kenistaan. Meskipun aku punya alasan kuat untuk melakukannya. Aku bisa tapi tak mau.

***

Aku lebih memilih melanjutkan perjalananku meski dengan langkah gontai dan mata sembab. Aku bahagia masih bisa menatap cakrawala di atas bumi tanpa penghalang. Seburuk-buruk hidupku di pengasingan, aku masih akan bisa tersenyum dan bicara, mengutarakan maksudku meski aku akan bertemu dengan orang-orang yang mengenalku sebelumnya dan mendengarkan rumpiannya di sela-sela angin berhembus. Meskipun aku hina di mata sebagian manusia, aku akan terus tersenyum. Aku ingin bahagia meski pernah terluka.

***

Aku hampir sampai saat jam tanganku menunjukkan pukul tiga malam. Kota kecil itu tampak ceria oleh warna-warni lampu meski mulai lenggang tanpa kendaraan yang ramai hilir mudik. Dan meskipun ada tangis lirih yang terdengar di dalam dada yang terluka parah, oleh masa lalu yang sebentar lagi akan terlupakan.

Aku menunggu pagi dengan mata sembab terbelalak, di teras sebuah toko roti yang tak kukenali pemiliknya. Tempat pertama yang akan kutawari jasaku sebagai pelayan toko atau sekedar cleaning service.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun