Mohon tunggu...
Jihan Salsabila
Jihan Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

menulis, menyanyi, dan dengar musik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyusuri Jejak Luka Batin: Pemahaman Mendalam Tentang PTSD dan Proses Penyembuhannya

14 Maret 2024   05:01 Diperbarui: 14 Maret 2024   05:07 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Karya tulis ilmiah ini disusun untuk penugasan Student Day Fapsi kelas Kepenulisan Ilmiah

Oleh: Jihan Salsabila

PENDAHULUAN

Pengalaman traumatis dapat meninggalkan jejak mendalam dalam kehidupan seseorang, menciptakan luka batin yang tersembunyi di balik senyuman, atau ketenangan yang tampak. Salah satu hal yang paling intens dari dampak traumatis adalah Gangguan Stress Pascatrauma (PTSD). 

Dalam perjalanan kehidupan yang penuh liku, banyak individu mengalami peristiwa yang merubah cara pandang mereka terhadap dunia dan menciptakan bayang-bayang masa lalu yang sulit diatasi.Dampak dari trauma sangat berbahaya, karena dapat mengganggu fungsi kognitif, emosi, perilaku dan sosial seseorang. Trauma biasanya terjadi pada individu yang mengalami peristiwa atau kejadian yang dianggap mengerikan serta mengancam nyawanya, seperti: kecelakaan, perkosaan, kekerasan, bencana, perang dan peristiwa lainnya (Liu et al., 2020).

PTSD tidak hanya sekadar reaksi terhadap kejadian traumatis, itu adalah cermin dari pertarungan batin yang kompleks dan sering kali melelahkan. Pada tingkat dasarnya, PTSD merupakan respons alami terhadap pengalaman luar biasa yang mengancam keberlangsungan hidup atau kesejahteraan psikologis seseorang. PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik (Nutt, 2009). 

Dalam menyusuri jejak luka batin ini, kita akan memahami bahwa setiap gejala yang muncul flashback, kecemasan, dan penghindaran adalah bahasa batin yang mencoba untuk mengungkapkan ketidakmampuan mengatasi trauma seperti yang dijelaskan oleh Levers (2012) bahwa PTSD ditandai oleh tiga set gejala inti, yaitu reexperiencing, penghindaran, dan hyperarousal, yang bertahan selama lebih dari 1 bulan. Bahkan prevalensi jumlah penderita PTSD di dunia mencapai jumlah 200 juta penderita, sedangkan berdasarkan data Survei Kesehatan Mental Nasional Indonesia menyatakan bahwa sekitar 2,45 juta remaja mengalami gangguan mental di mana 0,5% dari total penderita PTSD setara dengan 12,250 remaja di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat dari total 68.894 responden, ditemukan 70,4% responden mengalami trauma seumur hidup, gejala PTSD berlangsung rata-rata enam tahun, dan wanita lebih mungkin mengembangkan PTSD daripada pria (Kessler et al, 2017). Oleh karena itu PTSD perlu dipahami gejala dan proses penyembuhannya guna mengurangi pengidap PTSD.

Pentingnya pemahaman mendalam terhadap PTSD tidak hanya terletak pada pengidentifikasian gejala, tetapi juga pada eksplorasi penyebab yang mendasarinya. Trauma akibat perang, kekerasan rumah tangga, bencana alam, atau kecelakaan dapat merusak psikologis seseorang. Namun, di tengah-tengah bayang-bayang yang menakutkan, ada cahaya harapan. Proses penyembuhan PTSD menjadi pilar utama pembahasan ini. Beberapa perlakuan dapat digunakan untuk menangani pasien yang mengalami stres pasca trauma, salah satunya adalah Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR). EMDR memadukan antara pergerakan mata, pengingatan kembali peristiwa traumatik, serta verbalization (Connor & Butterfield, 2003). Selain itu, penyembuhan PTSD juga bisa menggunakan pendekatan terapeutik, seperti terapi kognitif-perilaku. Pendekatan psikoterapi dengan metode Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dikatakan sebagai salah satu metode pengobatan psikoterapi yang paling efektif dalam menangani kasus PTSD (National Centre of PTSD, 2011).

PEMBAHASAN

Gangguan Stress Pascatrauma (PTSD) merupakan bayangan yang melingkupi jiwa seseorang setelah mengalami peristiwa traumatis yang luar biasa. Dalam memahami PTSD, kita harus menyelami jejak luka batin yang terbentuk akibat perang, kekerasan rumah tangga, bencana alam, atau kejadian traumatis lainnya. Gejala khas PTSD menciptakan medan perang emosional yang kompleks. Flashback, di mana individu kembali terhantui oleh momen traumatis, dan penghindaran terhadap stimuli yang memicu kenangan tersebut, menciptakan isolasi dan kecemasan yang menghimpit. Namun, pemahaman mendalam bukan hanya pada identifikasi gejala, tetapi juga pada pemeriksaan akar trauma yang melatarbelakangi PTSD. Trauma, dalam berbagai bentuknya, merusak landasan psikologis individu. Perang meninggalkan bekas yang mendalam pada veteran, kekerasan rumah tangga mengoyak kesejahteraan keluarga, dan bencana alam menciptakan ketidakamanan. Peristiwa ini dianggap traumatik karena dialami oleh anak-anak dan remaja yang dirasakan kemampuannya untuk mengatasinya. Selama peristiwa traumatik ada rekrutmen dari adaptif, stressmediating sistem syaraf (misalnya hypothalamic adrenal pituitary dan sistem syaraf simpatik) yang pada gilirannya menghasilkan adaptif fisiologis, emosional dan kognitif (Ira Palupi Inayah Ayuningtyas, 2017). Proses penyembuhan dari PTSD bukanlah sekadar melepaskan diri dari kenangan yang menyakitkan, melainkan menyusuri jejak luka batin dengan penuh keberanian dan pemahaman.

Proses penyembuhan PTSD merupakan langkah-langkah konkret untuk mengatasi dan mengelola dampak psikologis traumatis. Terapi Kognitif-Perilaku memberikan pandangan dalam mengubah pola pikir negatif yang muncul setelah trauma. Melibatkan individu dalam mengidentifikasi dan menantang keyakinan yang merugikan, terapi ini membimbing mereka menuju cara pandang yang lebih seimbang dan adaptif. Penanganan PTSD selain diberikan secara farmakologis dengan memberikan obat anti depresi dan anti cemas, juga dapat ditangani dengan menggunakan psikoterapi. Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan psikoterapi yang menggabungkan antara terapi perilaku dan terapi kognitif yang didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia secara bersamaan dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis serta konsekuensinya pada perilaku (Ni Putu Diah Prabandari, I Made Sukarja, Ni Luh Gde Maryati, 2015). Terapi kognitif fokus pada pemahaman dan struktur pemikiran yang merugikan yang muncul setelah pengalaman traumatis. Suatu terapi bekerja sama dengan individu untuk mengidentifikasi dan menantang pola pikir negatif serta distorsi kognitif yang dapat memperburuk gejala PTSD. Proses ini memungkinkan individu untuk membentuk pemahaman yang lebih seimbang dan realistis terhadap peristiwa traumatis yang mereka alami. Melalui pengubahan keyakinan negatif, terapi kognitif membantu individu untuk mengatasi pemikiran yang dapat memicu kecemasan dan stress berlebihan. Terapi ini membimbing klien untuk merestrukturisasi memori traumatis dan menggantikan interpretasi yang merugikan dengan pandangan yang lebih konstruktif. Teknik pengelolaan kecemasan, termasuk relaksasi dan meditasi, diajarkan untuk membantu individu mengatasi ketidaknyamanan dan mengurangi tingkat kecemasan yang mungkin muncul selama terapi. Terapi kognitif juga memfokuskan pada peningkatan koping dan membangun strategi untuk mengatasi stress yang lebih sehat. Dengan bekerja bersama terapis dan memahami pikirannya, individu dapat mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan sehari-hari dan meningkatkan kepercayaan diri mereka. Secara keseluruhan, terapi kognitif untuk PTSD memberikan pendekatan yang holistik dan terarah, membimbing individu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang pengalaman traumatis mereka dan membantu mereka meresapi perubahan positif dalam pemikiran dan perilaku.

Salah satu pendekatan inovatif yang semakin dikenal untuk proses penyembuhan PTSD adalah Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR). Dengan memanfaatkan gerakan mata atau stimuli sensorik lainnya, EMDR membantu individu memproses kenangan traumatis dengan lebih adaptif. Pendekatan ini memungkinkan individu melepaskan ketegangan emosional dan memandang ulang peristiwa traumatis dengan perspektif yang lebih positif. EMDR memadukan antara pergerakan mata, pengingatan kembali peristiwa traumatik, serta verbalization (Connor & Butterfield, 2003). EMDR yang terdiri dari 8 sesi mencakup delapan tahapan sebagai berikut: tahap pertama yaitu client history and treatment planning, tahap kedua preparation, tahap ketiga adalah assessment, tahap keempat desensitization, tahap kelima adalah installation, tahap keenam body scan, tahap ketujuah closure dan tahap yang kedelapan adalah melakukan reevaluation (Leeds, 2009). Hal yang paling unik dari EMDR adalah terapis menginduksi gerakan mata dengan cepat pada klien selama proses menghilangkan suatu hal yang kompleks (desensitisasi; seperti imaginal eksposur) dan fase-fase penginstalan (Dwi Sari Rizki, Khoirudin Bashori, Elli Nur Hayati, 2017).

Namun, penyembuhan tidak hanya terletak pada ruang terapi. Dukungan sosial menjadi elemen krusial dalam membangun pondasi penyembuhan yang kokoh. Keluarga, teman, dan komunitas menciptakan jaringan dukungan yang kritis. Penerimaan dan pengertian dari lingkungan sosial dapat meminimalkan rasa isolasi dan menyediakan tempat yang aman untuk menyuarakan pengalaman trauma.

Selain itu, pendekatan holistik merangkum berbagai aspek kesehatan mental dan fisik dalam proses penyembuhan. Terapi seni, meditasi, dan olahraga terapeutik melengkapi langkah-langkah klinis untuk menyelaraskan dimensi fisik, emosional, dan spiritual.

Proses penyembuhan PTSD adalah perjalanan yang berliku dan membutuhkan ketekunan. Pemahaman mendalam membuka mata kita terhadap kompleksitas jejak luka batin dan mendorong kita untuk mendukung individu yang mengalami PTSD. Melalui kombinasi terapi, dukungan sosial, dan pendekatan holistik, kita bersama-sama dapat membantu mereka menyusuri jejak luka batin mereka dan memandang ke masa depan dengan harapan dan keberanian.

PENUTUP

Penyembuhan Gangguan Stress Pascatrauma (PTSD) memerlukan pemahaman mendalam terhadap jejak luka batin akibat peristiwa traumatis. Gejala PTSD menciptakan medan perang emosional yang kompleks, namun terapi Kognitif-Perilaku, Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), serta dukungan sosial membentuk fondasi kokoh untuk proses penyembuhan. Terapi Kognitif-Perilaku mengubah pola pikir negatif, sementara EMDR dengan gerakan mata membantu melepaskan ketegangan emosional. Dukungan sosial dari keluarga dan komunitas kritis dalam meminimalkan isolasi. Pendekatan holistik melibatkan aspek fisik, emosional, dan spiritual untuk mendukung kesehatan mental. Proses penyembuhan PTSD adalah perjalanan yang membutuhkan ketekunan, dan melalui kombinasi terapi, dukungan sosial, dan pendekatan holistik, kita dapat membantu individu menyusuri jejak luka batin mereka dengan harapan dan keberanian menuju masa depan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Rizki, Dwi Sari., Bashori, Khoirudin., & Hayati, Elli Nur. (2016). EYE MOVEMENT DESENSITIZATION AND REPROCESSING (EMDR) UNTUK MENURUNKAN PTSD PADA KORBAN INSES. Jurnal Humanitas, 14 (1), 59.

Ayuningtyas, I. P. I. (2017). Penerapan strategi penanggulangan penanganan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) pada anak-anak dan remaja. INTERNATIONAL CONFERENCE, 49.

Prabandari, N. P. D., Sukarja, I. M., & Maryati, N. L. G. (2015). PENGARUH COGNITIVE BEHAVIOURAL THERAPY  (CBT) TERHADAP POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) PADA PASIEN POST KECELAKAAN LALU LINTAS DI RSUP SANGLAH DENPASAR. COPING Ners Journal, 3 (2), 23.

Suprataba., Saleh, A., & Tahir, T. (2021). PENATALAKSANAAN PSIKOLOGIS PADA PENDERITA POST TRAUMATIC STRESS DISORDER. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 4 (1), 10.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun