Mohon tunggu...
Jihan  Putri
Jihan Putri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perubahan Permukiman Kumuh Menjadi Objek Wisata di Jodipan, Kota Malang

18 Desember 2016   00:16 Diperbarui: 18 Desember 2016   22:05 1540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:iwantantomi.wordpress.com

Dewasa ini pertumbuhan penduduk meningkat sangat pesat, hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dengan ruang dalam kota terutama lahan untuk tempat tinggal. Pertumbuhan penduduk yang tidak terbatas dan peningkatan migrasi dari daerah pedesaan ke perkotaan tidak diimbangi dengan lahan yang tersedia, hal ini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan berbagai permasalahan seperti terbentuknya wilayah perkampungan padat penghuni dan kumuh.

Menurut UU No. 4 Pasal 22 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Permukiman Kumuh adalah Permukiman tidak layak huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan/tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya.

Permukiman kumuh merupakan permasalahan yang sering terjadi di kota – kota besar, salah satunya adalah Kota Malang. Permukiman kumuh di Kota Malang dapat kita jumpai dibeberapa daerah salah satunya di Kelurahan Jodipan, Kecamatan Blimbing. Kampung ini terletak di bantaran sungai Brantas, yang juga terletak dibawah jembatan rel kereta api. Letak kampung ini di sebelah selatan stasiun kota baru Kota Malang.

Masalah apa saja yang terjadi di Kampung Jodipan ? Sebelum menjadi “Kampung Warna-Warni” seperti sekarang ini dulunya kampung Jodipan merupakan permukiman kumuh. Adapun permasalahan yang terjadi di kampung Jodipan antara lain: satu, Kampung Jodipan merupakan kampung dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Bisa dilihat berdasarkan BAPPEDA kampung Jodipan memiliki luas wilayah seluas 49 ha dengan jumlah penduduk 13.201 jiwa. Bila kita hitung kepadatan penduduknya dengan rumus : 

Kepadatan Penduduk = Jumlah Penduduk (jiwa) / Luas Daerah (ha)

Didapatkan hasil sebesar 269 jiwa/ha, yang mana kategori penilaian kepadatan penduduk bila antara 194,3-269 menunjukan kategori kepadatan tinggi. Karena tingginya kepadatan penduduk yang terjadi di kampung Jodipan, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan jumlah penduduk yang tinggal di daerah tersebut dengan lahan yang tersedia untuk tempat tinggal. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakatnya tinggal di bantaran sungai Brantas.

Kedua, banyaknya sampah yang terdapat di pinggiran sungai Brantas karena masyarakat sekitar sudah terbiasa untuk membuang sampah ke sungai walaupun sudah ada aturan yang melarang. Karena banyaknya sampah yang ada di sungai Brantas mengakibatkan meluapnya air sungai saat musim penghujan. Hal ini sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di tepian sungai Brantas.

Ketiga, kurangnya penataan ruang dalam pendirian rumah masyarakat. Kebanyakan masyarakat yang tinggal di kampung ini mendirikan rumah tidak disertai penataan ruang dan fasilitas yang memadai sehingga menambah permasalahan seperti sistem jaringan jalan, sistem drainase dan pelayanan air bersih. Disamping itu jarak antar rumah yang hampir tidak ada sekatnya menyebabkan sirkulasi udara tidak berjalan dengan baik.

Jika kita lihat banyak sekali masalah yang terjadi di kampung Jodipan sebelum berubah menjadi “Kampung Warna-Warni” seperti saat ini. Dulu kampung Jodipan yang kusam sekarang sudah berubah menjadi kampung yang berwarna-warni. Hal ini terjadi karena banyaknya rumah warga yang di cat warna – warna seperti warna kuning, pink, biru, dan hijau. Inisiatif untuk mengecat kampung ini berawal dari sejumlah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang tergabung dalam kelompok “Guys Pro”. Kelompok ini terdiri atas 8 orang dengan Nabila Firdausiyah sebagai ketuanya dan 7 anggota lainnya yang terdiri atas Salis Fitria, Ira Yulia Astutik, Dinni Anggraeni, Wahyu Fitria, Elmy Nuraidah, Fahd Afdallah, dan Ahmad Wiratman.

Awalnya pengecatan kampung ini bertujuan agar kampung Jodipan tidak terlihat kusam. Namun warga sekitar menyambut antusias program ini dengan ikut membantu proses pengecatan. Pengecatan tidak hanya dilakukan di dinding rumah warga melainkan juga di atap rumah, di pintu rumah, dan di jalan. Selain pengecataan warga juga melukis mural di dinding atau di jalan.

Karena perubahan fisik tersebut membuat kampung Jodipan menjadi salah satu objek wisata di Kota Malang saat ini. Banyak orang berbondong – bondong datang ke tempat ini untuk berkeliling maupun foto – foto dengan background kampung Jodipan.

Adapun dampak positif yang bisa kita ambil yaitu perubahan perilaku warga setempat yang awalnya sering membuang sampah di sungai menjadi berkurang sebab banyak wisatawan yang berkunjung ke kampung Jodipan sehingga membuat mereka enggan untuk melakukan kebiasaan buruk tersebut, tersediannya lapangan pekerjaan baru untuk warga setempat, serta menjadikan kampung Jodipan lebih bersih dan lebih menarik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun