Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat disangkal, dan sebagai sumber energi dan nutrisi, ia memiliki peran penting dalam mendukung kehidupan dan kesehatan. Konsep pangan melampaui sekadar bahan makanan; ia juga mencakup aspek ketersediaan, aksesibilitas, kualitas, serta stabilitas pasokan, sehingga dalam perspektif yang lebih luas, pangan menjadi isu strategis yang berkaitan erat dengan ketahanan nasional, kesejahteraan masyarakat, dan pembangunan berkelanjutan. Ketahanan pangan, yang semakin penting di era modern, adalah kemampuan suatu negara atau daerah untuk menyediakan pangan yang cukup, aman, dan bergizi bagi seluruh penduduknya secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan aspek kuantitatif (kecukupan) serta kualitatif (kualitas), aksesibilitas, dan stabilitas.Â
Dalam konteks ini, masa depan pangan menjadi tantangan yang mendesak bagi setiap negara, termasuk Indonesia, terutama dengan adanya pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, iklim ekstrem, alih fungsi lahan, dan penurunan produktivitas petani yang menjadi faktor ancaman terhadap ketersediaan pangan bergizi. Selain itu, kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat pertumbuhan penduduk membuat permintaan dan produktivitas sering kali tidak seimbang, sehingga diperlukan upaya khusus untuk memenuhi permintaan yang semakin besar ini.
Oleh karena itu, ketahanan pangan merupakan aspek mendasar dalam memastikan kesejahteraan suatu bangsa. Di Indonesia, dengan populasi yang besar dan beragam, ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan bahan pangan, tetapi juga mencakup kualitas, keterjangkauan, dan keberlanjutan sistem pangan secara keseluruhan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, ketahanan pangan bahkan menjadi prioritas yang harus diwujudkan melalui berbagai strategi inovatif yang adaptif terhadap tantangan masa depan, seperti perubahan iklim dan peningkatan kebutuhan pangan.
Namun, Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam sektor pangan, mulai dari penggunaan lahan pertanian yang tidak berkelanjutan hingga ketergantungan pada input kimia, yang semakin diperburuk dengan data dari Badan Pusat Statistik bahwa sekitar 89,54% lahan pertanian di Indonesia berstatus tidak berkelanjutan. Situasi ini menunjukkan urgensi untuk mengubah pola dan praktik pertanian yang ada, sementara konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih didominasi oleh pangan karbohidrat dengan asupan pangan hewani, sayuran, dan buah-buahan yang terbatas.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, transformasi sistem pangan harus berfokus pada upaya memperkuat produksi pangan lokal, diversifikasi sumber pangan, serta pengelolaan sampah pangan. Transformasi ini diharapkan dapat menciptakan sistem pangan yang lebih tangguh, sehat, dan inklusif, terutama melalui pendekatan ekoregion yang mengintegrasikan keanekaragaman hayati dengan sistem pangan lokal, sehingga sumber daya lokal dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa merusak ekosistem.
Selain itu, pendekatan Nexus Pangan, Energi, dan Air (FEW Nexus) juga sangat relevan karena mengakui bahwa ketiga sektor tersebut saling terkait, sehingga strategi untuk meningkatkan produksi pangan perlu mempertimbangkan ketersediaan energi dan air. Sebagai contoh, peningkatan penggunaan biofuel yang dihasilkan dari tanaman pangan dapat memicu persaingan lahan dan air antara kebutuhan pangan dan energi, sehingga diperlukan kebijakan yang mengatur keseimbangan antar sektor ini.
Dalam rangka menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan, praktik-praktik pertanian berkelanjutan perlu diperluas, termasuk pertanian konservasi dan rendah karbon yang menjadi kunci untuk menjaga produktivitas tanah jangka panjang sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sektor pertanian. Indonesia juga perlu mengembangkan pertanian berbasis iklim atau climate-smart agriculture yang adaptif terhadap perubahan iklim agar ketahanan pangan semakin kuat dan berkelanjutan.
Langkah lain yang perlu dilakukan adalah melalui biofortifikasi dan fortifikasi pangan untuk meningkatkan asupan gizi masyarakat, terutama dalam mengatasi masalah kurang gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan. Penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan lokal juga menjadi strategi penting dalam menciptakan ketahanan pangan yang lebih stabil, khususnya di daerah yang rentan terhadap kerawanan pangan.
Dalam menghadapi tantangan pangan di masa depan, Indonesia perlu terus berinovasi dengan mengutamakan keberlanjutan serta pemberdayaan masyarakat lokal. Ketahanan pangan bukan sekadar soal produksi dan distribusi, tetapi juga mencakup keterjangkauan, keragaman, dan keamanan pangan bagi seluruh penduduk. Program-program seperti penganekaragaman pangan lokal dan peningkatan gizi masyarakat harus diperluas, terutama bagi daerah rentan rawan pangan, seperti kawasan Indonesia Timur.Â
Langkah strategis lainnya adalah membangun food hubs di berbagai wilayah yang bertujuan mengintegrasikan distribusi, produksi, dan pemrosesan pangan berbasis sumber daya lokal. Dengan ini, efisiensi rantai pasok dapat ditingkatkan, sehingga mampu menekan biaya dan memperluas akses pangan bagi masyarakat. Selain itu, program regenerasi petani perlu diperkuat untuk menarik minat generasi muda ke sektor pertanian yang lebih modern dan ramah lingkungan.
Sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, pendekatan sistem pangan berbasis ekoregion menjadi langkah strategis dalam memperkuat kedaulatan pangan berbasis kearifan lokal dan keanekaragaman hayati. Upaya bersama ini akan membawa Indonesia lebih dekat pada cita-cita ketahanan pangan yang berkelanjutan, tangguh, dan inklusif, memastikan kesejahteraan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat di masa depan.