Mohon tunggu...
Jihan Maharrani
Jihan Maharrani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Prodi Manajemen Pendidikan

akun ini dibuat untuk penambahan wawasan serta memberikan pengaruh dan informasi-informasi baik kepada khalayak umum

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Dampak Dan Kontroversi Penghapusan TKA Dalam Sistem Ujian Masuk Perguruan Tinggi

17 Desember 2023   08:00 Diperbarui: 17 Desember 2023   08:40 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Bukan hanya dalam menyebutannya saja yang berubah, melainkan juga skema yang diterapkannya pun berbeda. Seiring dengan perkembangan waktu, berbagai perubahan dan penyempurnaan telah dilakukan untuk meningkatkan transparasi, keadilan, dan akurasi seleksi calon mahasiswa baru.

Pada tahun 1989 ujian masuk perguruan tinggi negeri diberi nama UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sistem UMPTN ini terdiri dari 3 kelompok ujian, yaitu Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Ilmu pengetahuan Campuran (IPC). UMPTN ini berlangsung sampai tahun 2001. Lalu pada tahun 2002 UMPTN diubah menjadi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang penyelenggaranya bukanlah dari pemerintah, melainkan sebuah Badan Perhimpunan SPMB.

Lalu pada tahun 2013 digati nama menjadi SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang hanya dapat di daftar oleh jalur undangan saja atau jalur rapot dan SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) atau jalur tes. Dengan kuota penerimaan jalur undangan 50%, jalur tulis 30%, dan jalur mandiri 20%. Namum pada tahun 2017 kuota  jalur masuk tersebut berubah menjadi SNMPTN dan SBMPTN minimal 30% dan kuota mandiri maksimal 30%.

Pada tahun 2019, seleksi PTN yang tadinya menggunakan kertas, berubah menggunakan komputer, yang mengakibatkan adanya penambahan istilah baru, yaitu Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). Oleh karena itu jalur tulis dikenal sebagai UTBK-SBMPTN. Pada UTBK-SBMPTN mata Pelajaran yang digunakan yaitu ada TKA (Tes Potensi Akademik) yang berhubungan dengan jurusan yang dituju yaitu IPA dan IPS, serta TPS (Tes Potensi Skolastik).

Lalu tahun 2023 istilah SNMPTN diubah menjadi SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), sedangkan SBMPTN berubah menjadi SNBT (Seleksi Nasioanl Berbasis Tes). Dari sinilah perubahan besar-besaran dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Kriteria penilaian pada SNBP adalah minimal 50% dari nilai rata-rata rapor seluruh mata pelajaran dan maksimal 50% mata pelajaran pendukung minat bakat dari jurusan yang dipilih (nilai rapor maksimal 2 mata pelajaran pendukung, sertifikat prestasi, dan/atau portofolio).

Untuk SNBT sendiri, sudah tidak lagi menggunakan TKA atau menghapus ujian tes peminatan sesuai jurusan yang dipilih, materi tes tidak lagi mengikutsertakan mata Pelajaran, tetapi tes ini hanya tes skolastik yang mengukur potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam Bahasa Indonesia, dan literasi dalam Bahasa Inggris.

Penghapusan Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada ujian masuk 2023 ini berhasil menuai kontroversi di kalangan pelajar SMA dan Masyarakat umum. Berbagai kalangan berlomba-lomba menyuarakan opini mereka terhait hal tersebut. Masyarakat terbelah menjadi dua kubu besar, yaitu ada kubu yang pro dan ada juga kubu kontra dengan penghapusan TKA tersebut.

Melalui konferensi pers Merdeka Belajar Episode 22: Transformasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri secara daring, Rabu (7/9/2022), Nadiem Makarim mengungkapkan beberapa alasan dibalik penghapusan Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada SNBT 2023, yaitu:

  • Peserta didik tidak tergantung pada lembaga bimbingan belajar untuk persiapan tes.
  • Peserta didik tidak perlu khawatir akan keharusan untuk menghafal konten.
  • Orang tua tidak terbebani dengan tanggungan finansial tambahan untuk bimbingan belajar peserta didik.
  • Guru lebih fokus pada pembelajaran yang bermakna, holistik, dan berorientasi pada penalaran, bukan hafalan.
  • Guru percaya diri bahwa pembelajaran sesuai kurikulum sudah cukup dalam menyiapkan peserta didik menghadapi seleksi masuk PTN.

Kelompok yang pro dengan kebijakan baru ini merasa bahwa penghapusan TKA cukup adil karena bagi calon mahasiswa baru yang berasal dari SMA/MA/SMK di segala jurusan dapat memilih jurusan yang sesuai dengan kemampuan mereka, terlepas dari latar belakang jurusan mereka semasa SMA/MA/SMK.

Dengan hanya menggunakan Tes Potensi Skolastik lebih mengarahkan pada hasil pembelajaran logika, cara berfikir dan bernalar. Dengan kata lain, dapat dimengerti bahwa kita semua wajib memahami bahwa seleksi TPS itu bertujuan untuk menyeleksi kemampuan calon mahasiswa dalam bernalar, menyerap, membaca, dan menyimpulkan.

Dengan di adakannya TPS saja, membuat rasa keadilan pada seluruh peserta tes masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Jika ada yang ingin linjur dalam memilih jurusan di kuliah, siswa-siswi tidak perlu lagi belajar dari nol materi yang berhubungan dengan jurusan tersebut baik IPA maupun IPS. Mereka juga bisa memilih jurusan sesuai minat dan bakat mereka, yang mungkin saja saat di SMA mereka telah merasakan salah pilih jurusan dan ingin di kuliah nanti mereka tidak salah masuk jurusan Kembali.

Kelompok kontra dengan kebijakan baru ini berpendapat bahwa setiap mahasiswa baru harus menguasai ilmu dasar itu yang diperoleh dari materi Pelajaran di SMA. Maka dari itu, mereka yang kontra beranggapan bahwa penghapusan TKA dikhawatirkan akan memengaruhi pompetensi mahasiswa baru selama masa perkuliahan dan menyulitkan mereka jika tidak ada bekal ilmu yang mumpuni.

Jika demikian tentunya pada tiap program studi bisa lebih beragam dan tidak spesifik. Apalagi jika ditambah mereka yang lintas jurusan dan tidak terlalu mengerti menguasai ilmu dasar yang relavan dengan program studi, yang membuat mereka lebih lama dalam memahami pembelajaran. Selain itu, penetapan tes skolastik yang hanya mengukur tingkat penalaran seseorang dan juga tidak berhubungan dengan Pelajaran sekolah dikhawatirkan siswa-siswi dapat menyepelekan pembelajaran di sekolah, lalu hanya fokus pada pembelajaran nalar saja.

Dari pendapat-pendapat tersebut penghapusan TKA pada system seleksi masuk perguruan tinggi negeri memiliki sisi positif dan negatif. Dampak yang ditimbulkan dari menghapusan TKA pada SNBT 2023 sama-sama dapat dibenarkan karena alasan yang sudah disebutkan tadi memeng benar terjadi. Namun, seperti yang kita ketahui bahwa penghapusan TKA sudah dijalankan, nyatanya memang benar bahwa banyak siswa-siswi yang sangat terbantu dengan penghapusan TKA, karena mereka bisa memilih semua jurusan sesuai dengan minat dan bakat mereka.

Tetapi, banyak juga dari mereka yang kurang paham dengan materi pembelajaran di jurusan tersebut karena lintas jurusan dengan jurusan saat di SMA/MA/SMK, dikarekan mereka tidak mempunya basic skill dalam jurusan tersebut. Meski begitu, alangkah baiknya jika TKA yang merupakan salah satu tes seleksi masuk PTN tidak sepenuhnya dihapus, melainkan diperbaiki degan cara menyesuaikan subtes TKA yang relavan dengan program studi tujuannya.

Misalnya, dalam program studi Teknik sipil, maka subtes yang perlu diujikan hanyalah matematika dan fisika saja. Dengan begitu, seleksi masuk PTN dirasa lebih adil dan juga para mahasiswa baru sudah mengetahui basic skill dalam jurusan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun