Pemilu 2024 tinggal beberapa saat lagi, tentunya menimbulkan gejolak politik yang memanas mulai dari pengusungan capres cawapres hingga caleg dari berbagai partai politik.Â
Salah satu yang menjadi sorotan publik ialah hadirnya putra politikus kawakan yakni Rasyid Rajasa yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif dengan latar belakang personal yang membuat publik menolak lupa akan kasus tersebut.
Rasyid Rajasa merupakan salah satu putra dari Hatta Rajasa yang kini melaju sebagai calon anggota DPR RI dari dapil Kota Bandung-Cimahi. Rasyid sempat mengalami catatan kriminal pada akhir tahun 2013, dimana saat itu Rasyid yang mengemudikan BMW X5 telah menabrak Daihatsu Luxio F 1622 CY yang dikemudikan oleh Frans Joner Sirait di jalur kanan Km 3+335 Tol Jagorawi hingga menewaskan 2 orang.
Setelah menjalani persidangan, Rasyid Rajasa divonis 6 bulan hukuman percobaan dengan hukuman pidana 5 bulan. Putusan tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa, yaitu 8 bulan dengan masa percobaan 12 bulan. Rasyid dinyatakan bersalah dan terbukti melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas akibat mengendarai kendaraan dengan lalai dan subsider Pasal 310 Ayat (2).
Seakan menolak lupa, kini Rasyid melenggang menjadi caleg dengan bangga. Salah satu yang menjadi perbincangan hangat publik ialah, ketika adanya baliho pencalonan Rasyid yang tak biasa.Â
Dimana dalam baliho nya bertuliskan "Selain Cari Suara, Juga Cari Istri" sontak hal ini membuat publik kembali mengingat akan kasus kematian 2 orang yang dilakukan oleh caleg tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Komisioner KPU Idham Holik menyatakan, semua caleg yang masuk dalam daftar caleg tetap (DCT) sudah memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 240 ayat (1) dan (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 juncto Pasal 11 dan 12 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Idham menjelaskan, seseorang yang berstatus terpidana atau mantan terpidana juga masih bisa menjadi caleg dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.Â
Syarat tersebut adalah salinan putusan pengadilan dan surat keterangan dari kejaksaan, sesuai dengan Pasal 19 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Menurutnya, jika caleg mantan terpidana sudah menyerahkan berkas dan sudah dinyatakan memenuhi syarat, berarti secara peraturan tidak ada yang dilanggar.
Tidak hanya Rasyid Rajasa, nyatanya KPU mengumumkan terdapat 52 mantan narapidana yang terdaftar sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) DPR RI pada Pemilu 2024. Nama-nama tersebut pernah dipenjara karena berbagai jenis kasus pidana, termasuk perkara korupsi.Â
KPU merekapitulasi data tersebut berdasarkan apa yang menjadi materi putusan MK Nomor 87/PU-XX/2022 yang diturunkan secara teknis dalam PKPU Nomor 10 tahun 2023, khususnya pasal 11 dan 12. Dimana putusan MK tersebut memperbolehkan mantan terpidana yang melakukan tindak pidana dengan ancaman kurang dari lima tahun penjara menjadi caleg DPR/DPRD dan DPD. Secara hukum, mereka diperbolehkan maju sebagai bacaleg setelah melewati masa tunggu lima tahun sejak dinyatakan bebas.
Selain atas dasar hukum tersebut yang memperbolehkan narapidana menjadi caleg, konsep Right to be Forgotten di Indonesia juga mendasari mantan narapidana korupsi untuk membangun kembali hidupnya tanpa hambatan catatan di masa lalunya. Istilah right to be forgotten merupakan suatu konsep yang berkembang di bidang hukum siber.Â
Tidak hanya itu, di dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga terdapat penambahan norma baru, salah satunya yaitu diatur mengenai konsep right to be forgotten. Konsep tersebut menitikberatkan terhadap penghapusan informasi tentang diri seseorang di dalam media internet
Di Indonesia, penerapan konsep right to be forgotten dilakukan dengan penghapusan konten yang wajib dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik atas permintaan orang yang bersangkutan dengan didasarkan atas penetapan pengadilan.Â
Hal ini merupakan salah satu langkah represif yang dapat dilakukan oleh seorang mantan narapidana untuk meminta penghapusan informasi terkait masa lalu nya yang merugikan diri sendiri dan orang banyak jika ingin mencalonkan diri sebagai caleg untuk membangun kembali integritas dan kredibilitasnya.
Dalam ranah politik di suatu negara, calon legislatif memiliki peran yang sangat penting sebagai lembaga representasi suara rakyat. Namun adanya kontroversi yang dilakukan seorang caleg berupa latar belakang personal, seperti catatan kriminal, skandal, atau dugaan pelanggaran hukum yang menjadikan caleg tersebut sebagai mantan narapidana tentunya selain akan memunculkan pertanyaan publik tentang integritas dan kepatutan moral seorang caleg juga kan berpengaruh pada objektivitas rakyat dalam memilih calon wakil rakyatnya
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara untuk bijak dalam memilih pemimpin yang dapat membawa negeri ini kepada kesejahteraan dengan objektif dan kritis untuk menilai latar belakang seorang calon pemimpin. Sebab, pemimpin yang hebat lahir dari pemilih yang bijak sehingga dapat menghantarkan kita pada tatanan negara berprinsipkan good governance.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H