Setelah kejadian yang sudah diceritakan pada seri buku pertama yaitu Bumi Manusia, Minke kini memutuskan untuk tetap melanjutkan hidupnya dan berupaya mengiklaskan Annelis yang dibawa ke Belanda oleh wali sahnya dihadapan hukum.Â
Minke hendak pergi ke Betawi untuk melanjutkan kuliah kedokteran. Pikirnya, itulah tujuannya. Proses Minke dalam Anak Semua Bangsa, menurut saya adalah proses Minke untuk menemukan dirinya sendiri di penghujung remaja.Â
Sebelum pergi memulai awal semester, Minke berlibur ke Tulangan bersama Nyai Ontosoroh. Berbagai fenomena yang menyentuh kemanusiaan Minke temukan dan membuat hatinya iba.Â
Tak terbelesit di pikirannya, ada orang dengan kehidupan seperti Trunodongso. Seorang petani, yang mempertahankan tanahnya agar tak dijadikan perkebunan oleh Belanda.
Kegalauan Minke mulai menjadi. Antara ingin menuliskan kisah Trunodongso agar bisa membntu petani kecil dan Trunodongso lain dan korannya yang tidak mendukung tulisannya untuk disebar luaskan.Â
Kegaguman Minkepada Eropa runtuh. Itulah titik dimana, Minke mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya. Lahir di Hindia, anak seorang Bupati yang berjaya, mendapat kesempatan sekolah di HBS, hidup yang derita jauh darinya. Kisah Trunodongso membuat dirinya ternganga.Â
Dorongan menulis dengan bahasa sendiri akhirnya muncul juga dari hati. Saat Minke mampu mendengar dialog hatinya, saat itulah Minke tau siapa dia yang sebenarnya. Dan dia juga tahu, apa yang harus dilakukannya agar bermanfaat untuk semua bangsa. Terutama, bangsanya sendiri.
Â
Mengontrol Emosi dan Lebih Rendah Hati
Meskipun lulusan HBS, dan banyak bergaul dengan orang-orang Belanda, dalam seri buku ini, Minke mulai sadar banyak hal yang dia tidak tahu sebenarnya. Pemahamannya pun dibenturkan oleh orang-orang baru yang dia temui seperti Trunodongso, Surti, dan ada lagi tokoh yang dia temui di kapal saat berlayar menuju Betawi. Apalagi pemahamannya yang hanya sebatas teori tak bisa ia bantah saat berhadapan dengan orang-orang yang lebih sering melihat kenyataan.
Dalam buku ini, Minke juga merasa orang-orang terdekatnya tidak lagi mendukungnya untuk berkarya pada jalan yang dia pilih. Marah, kesal, dan kecewa tentu saja membunjcam di hatinya manakala, orang terdekat memintanya mengambil jalan lain untuk menulis. Yakni, menulis dengan bahasa sendiri. Bukan Belanda. Disinilah, Minke belajar meredam emosinya.Â