Kehidupan perempuan Indonesia dahulu cukup menyedihkan tidak seperti sekarang ini. Terdapat jurang pemisah antara laki-laki dan perempuan di semua bidang kehidupan, terutama bidang pendidikan. Â Perempuan hanya mengenal sumur, dapur, kasur sehingga mereka dianggap lebih rendah dari laki-laki. Hal tersebut terjadi karena berbagai faktor, seperti faktor ekonomi sampai ke faktor adat yang melarang perempuan untuk mengenyam pendidikan terutama pendidikan formal. Dalam kondisi tersebut, terdapat tokoh-tokoh perempuan yang mencoba melangkah maju dan berjuang menuntut haknya. Mungkin kita kenal dengan tokoh emansipasi wanita yang sangat terkenal yaitu Raden Ajeng Kartini dari Jawa Tengah dan Dewi Sartika dari Jawa Barat. Tetapi terdapat tokoh dari daerah lainnya seperti di Sumatra Barat yakni Rohana Kudus. Beliau sangat serius untuk memberdayakan perempuan melalui pendidikan dan jurnalistik dengan mendirikan Kerajinan Amai Setia dan surat kabar perempuan Soenting Melajoe di Sumatra Barat. Tokoh-tokoh perempuan ini melihat begitu pentingnya pendidikan bagi perempuan. Bagi mereka dengan memajukan pendidikan merupakan langkah awal bagi kaum perempuan untuk dapat bangkit dari keterbelakangan.
Kondisi Perempuan Minangkabau
Minangkabau merupakan salah satu etnis di Sumatra Barat, di awal abad ke 19 ruang gerak perempuan masih terhalang oleh praktek adat istiadat dan ajaran nenek moyang yang mengharuskan mereka mengabdi dalam lingkungan domestik. Menurut Hamka, perempuan Minangkabau dahulu itu rawan kekerasan karena adanya konstruksi budaya dimana elite-elite adat dan agama dengan mudah mempergunakan hak istimewanya untuk dapat memiliki istri dengan gonta ganti melalui perceraian, kawin paksa, dan kawin muda. Hal tersebut membuat perempuan banyak yang dimadu, dicerai dan ditinggalkan begitu saja oleh laki-laki sehingga perempuan sulit untuk menyambung kehidupannya tanpa seorang suami apalagi karena tidak ada bekalnya pendidikan.
Dengan kondisi tersebut, Rohana Kudus melakukan pergerakan untuk keluar dari ketertindasan itu melalui pendidikan dan jurnalistik. Rohana Kudus merupakan seorang perempuan Minangkabau lahir tanggal 20 Desember 1884 di Koto Gadang yang terletak di kaki Gunung Singgalang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Beliau merupakan saudari sebapak dengan Sutan Sjahrir yang merupakan tokoh revolusioner kemerdekaan Indonesia. Stigma masyarakat tentang perempuan masa itu membuat Rohana Kudus dari kecil sampai akhir hayatnya tidak pernah mendapatkan sekolah formal seperti laki-laki. Masa kecil Rohana Kudus dihabiskan dengan berpindah-pindah ke beberapa wilayah di Sumatera Barat karena mengikuti orang tuanya angkatnya yang bekerja sebagai jaksa. Ia mengisi harinya dengan minta diajarkan membaca kepada istri sang jaksa. Akhirnya Rohana Kudus bisa membaca dan sejak saat itu menjadi kutu walaupun tidak pernah menempuh sekolah formal. Rohana Kudus merupakan orang yang mendobrak kondisi yang tidak beruntung itu dengan keberanian, kecerdasan serta perjuangannya secara otodidak. Di usia 17 tahun Rohana Kudus pindah kembali ke Koto Gadang, tinggal bersama neneknya. Melihat kondisi perempuan disana masih dalam kegelapan dan termajinalkan, sehingga rawan mengalami kekerasan seksual, ekonomi, fisik. Hal tersebut membuat Rohana Kudus bergerak dengan mendirikan Kerajinan Amai Setia dan surat kabar perempuan Soenting Melajoe.
Berdirinya Kerajinan Amai Setia Sebagai Lembaga Pendidikan Ekonomi Bagi Perempuan Minangkabau
Kerajinan Amai Setia (KAS) didirikan pada tanggal 11 Februari 1911 di Koto Gadang yang merupakan tempat pendidikan bagi perempuan di wilayah tersebut dengan maksud agar dapat mengangkat derajat perempuan Minangkabau dengan mengajari perempuan menulis, membaca, berhitung, agama, akhlak, urusan rumah tangga, keterampilan tangan, membuat perhiasan dari perak dan sebagainya. Murid yang mendaftar terdiri dari anak-anak, remaja putri sampai ibu-ibu rumah tangga yang sudah mendapat izin dari keluarga. Mereka semua diterima karena tidak ada batasan usia. Materi yang diajarkan Rohana Kudus di Kerajinan Amai Setia bisa dibilang memenuhi tiga ranah dimensi pendidikan perempuan yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Kehadiran Kerajinan Amai Setia berhasil mengembangkan perempuan-perempuan pebisnis yang mandiri dari segi ekonomi. Sehingga kemandirian ini dapat mensejahterakan perempuan sebagai salah satu media yang bisa dihandalkan untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Kerajinan Amai Setia juga disebut sebagai koperasi perempuan pertama di Minangkabau yang bergerak dalam usaha kerajinan perempuan. Hingga akhirnya Koto Gadang sampai saat ini terkenal sebagai kampung pengrajin tangan dan industri rumah tangga dari kecil dan menengah.
Surat Kabar Perempuan Soenting Melajoe
Rohana Kudus dalam perjuangannya memberdayakan perempuan tidak hanya melalui bidang pendidikan saja, tetapi juga jurnalistik dengan mendirikan Soenting Melajoe. Soenting Melajoe merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang terbit pertama kali pada tanggal 10 Juli 1912 di Minangkabau dan beredar ke seluruh Sumatera Barat. Penerbitannya ini dibantu oleh Datuk Sutan Maharaja tetapi redaksi majalah sepenuhnya dipegang oleh perempuan. Surat kabar ini bertujuan untuk melawan ketidakadilan terhadap perempuan dengan edukasi yang lebih luas kepada masyarakat luas. Soenting Melajoe dipenuhi tulisan-tulisan yang berkaitan dengan perempuan dimana sebelumya tidak pernah ada yang menulis. Dalam tulisannya ini berisikan edukasi berkeadilan gender. Hingga akhirnya Soenting Melajoe berhenti terbit pada 28 Januari 1921. Dari perjuangan Rohana Kudus ini telah mampu memberdayakan perempuan masa itu untuk keluar dari ketidakadilan dari berbagai aspek dan berkontribusi terhadap kesehateraan perempuan sehingga perempuan dapat mandiri dan memiliki kesetaraan yang sama dengan laki-laki serta tidak lagi menjadi objek kekerasan. Buah perjuangannya Rohana Kudus dinobatkan sebagai 'Wartawati Pertama' pada 17 Agustus 1974 oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat.
Referensi
Jayudha, I. A., & Darmawan, W. (2020). Pendidikan bagi Perempuan Indonesia: Perjuangan Raden Dewi Sartika dan Siti Rohana Kudus (1904-1928). FACTUM: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, 9(2), 161-174.Â