Mohon tunggu...
Jihan Afnan
Jihan Afnan Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa Sastra Prancis di Universitas Padjadjaran

Saya menyukai menulis dan berencana untuk memiliki karir di bidang ini di masa depan. Saya menyukai tantangan, jadi saya akan terus berusaha meng-improve tulisan saya dan tidak akan pernah berhenti belajar.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Gagal Menjadi Harry Potter Hingga Trauma: Review Novel #BUNCIS

1 April 2023   00:40 Diperbarui: 1 April 2023   01:02 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak tahu Harry Potter? Novel karya penulis dengan penjualan terbanyak di dunia alias J.K Rowling ini berhasil mencetak banyak rekor internasional, baik untuk karya tulis atau adaptasi filmnya. Bagi saya dan mungkin orang-orang lain yang satu generasi dengan saya, Harry Potter adalah memori masa muda/remaja yang indah dan akan lama terkenang. 

Bagi kalian yang belum tahu, karya ini sempat menjadi fenomena pada masa perilisannya. Bayangkan! Di jaman dimana internet dan smartphone belum umum (tahun 2001), sebuah film bisa begitu hits dan dengan cepat menjadi film yang paling banyak dibicarakan. Pada red carpet premiere filmnya, ratusan, tidak, ribuan fans HP berkerumun untuk bertemu dengan para cast aktornya! Ya, sengehits itu. Ibaratnya HP itu seperti BTS di era dulu. Fanbasenya kuat dan jumlahnya kayak kacang goreng alias nggak terhitung. Bahkan sampai sekarang pun parodynya masih suka lewat di medsos, meski sudah lebih dari 10 tahun sejak perilisan film terakhirnya!

Anyways, sekarang kalian sudah punya gambaran tentang seheboh apa Harry Potter pada masanya. Sekarang, coba bayangkan, jika kamu masuk ke dalam salah satu deretan aktornya. Tentu kamu akan sangat terkenal, hidup mewah bergelimang harta dan sukses besar di usia muda. Lalu bagaimana jika itu bukan imajinasi belaka? Bagaimana jika kamu sebenarnya NYARIS banget mendapatkan posisi tersebut namun gagal di tahap akhir casting?

Martin Hills mengalami kepahitan itu dan harus hidup dalam trauma seumur hidupnya-- termasuk dengan dampak phobia Harry Potter akibat kegagalan yang terlalu menyakitkan. Novel berjudul "Numero Deux" ini ditulis oleh David Foenkinos yang menggabungkan realita dan fiksi sekaligus. Faktanya, David Heyman selaku produser film HP mengaku bahwa memang ada anak lainnya yang hampir mendapatkan peran Harry tapi gagal di tahap akhir, barangkali itulah yang menginspirasi lahirnya novel ini.

Dikisahkan bahwa Martin adalah anak berumur 10 tahun biasa tanpa pengalaman akting yang secara tidak sengaja berpapasan dengan produser dan ditawari kesempatan casting. Ayahnya membujuk untuk mengambil kesempatan itu dan sutradara casting memuji bakat aktingnya. Sudah seperti itu, bagaimana mungkin Martin nggak semakin berekspetasi tinggi? Pada akhirnya, Daniel Radclifflah yang terpilih dan Martin dipaksa menerima penolakan setelah sanjungan-sanjungan dan sikap welcome sutradara.

Intinya, setelah dia gagal dicasting, Martin punya dendam dan traumanya sendiri setiap mendengar kata 'Harry Potter' atau 'J.K Rowling' atau 'Daniel Radcliffe'. Dia menganggap hidupnya udah gagal dan bahkan pernah berpikir hidupnya sudah dicuri (oleh aktor terpilih). Benar, sebesar itu rasa sakit hatinya. 

Secara keseluruhan premis novel ini cukup jelas dan menarik, tapi target pembacanya sangat sempit: hanya orang-orang yang membaca/menonton Harry Potter yang bisa mengerti 100% keseluruhan isi novel ini. Saya pikir mungkin ini cara penulis menunjukkan apresiasi dan kekagumannya pada Mahakarya J.K Rowling yang melegenda tersebut. 

Mungkin pada awalnya sangat sulit menganggap serius novel ini, saya sendiri awalnya tidak memiliki niat membacanya. Saat membaca sinopsisnya, kamu mungkin akan berpikir novel ini tak ada bedanya dengan fanfiction. Tapi, tidak sama sekali! 

Nyatanya, novel ini memberikan sesuatu yang lebih dari yang bisa diekspektasikan pembaca. Mengikuti perjalanan dan perjuangan Martin dalam melawan phobia Harry Potternya lebih menyenangkan dari yang bisa dipikirkan. Selain itu ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari novel ini. Martin mengajarkan pentingnya menanamkan pola pikir legowo dan suportif pada anak sejak dini. Lalu melalui tokoh-tokoh lain kita belajar bahwa setiap orang memiliki kelemahan dan traumanya: bukan hak kita untuk menjudge dan meremehkan luka batin mereka. 

Lalu melalui Martin, saya pun sadar bahwa terkadang kita -- atau lebih tepatnya saya-- seringkali menganggap diri sendiri sebagai orang yang paling menderita dan menyedihkan. Seringkali saya merasa iri kepada hidup orang lain (yang mungkin terlihat lebih baik), tapi di balik itu, saya pun sebenarnya tidak tahu apa yang orang itu hadapi. Dalam novel ini, David juga menjukkan sudut pandang Daniel Radcliff yang menyadarkan kita bahwa hidupnya tidak seglamour dan semenyenangkan yang di lihat oleh Martin dan para fans di layar. 

Secara keseluruhan, novel ini sukses menghibur dan panjangnya pun saya rasa pas dan tidak berlebihan. Selain plot utamanya, saya juga menyukai hubungan ibu dan anak yang begitu murni tercermin antara Martin dan Jeanne. 3,9/5 dari saya untuk novel ini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun