Seusai prosesi khidmat yang singkat itu, Ayah lalu memutar kunci. Setelah bunyi klak, ia berusaha mendorong pintu yang berat dan sering macet itu.
"Astaga, Mang!" Ayah kontan berlari ke arah ruko.
Aku terkejut. Sontak berlari mengikuti Ayah. Namun saat aku tiba tepat di daun pintu, siku segera kaku. Sekilas aku melihat ketiga penjahit lainnya menghambur ke arah sosok nan kini terbujur di sepanjang dapur. Itu Mang Pii, dengan kaus hitam dan celana jeans yang biasa ia kenakan.
Ibu dan adik baru saja datang beberapa saat yang lalu. Adik kontan buang muka. Sedangkan Ibu segera terkulai lemas di lantai, sesekali merintih memanggil nama Allah.
Si Penjahit Muda mengambil tangan Mang Pii. Berusaha mencari nadinya. Ketemu. Tapi tak berdenyut. Ia membandingkan denyut di nadi Mang Pii dengan denyut jantungnya. Sambil kami berharap-harap cemas, Si Penjahit Muda menatap kami dengan takut dan ragu.
Kami tahu arti tatapan itu, tapi enggan memercayainya. Kami masih punya harapan bahwa Mang Pii masih hidup. Kami masih yakin dengan itu.
Di satu sisi, rupanya Adik sudah menjemput seorang dokter puskesmas. Dokter itu masuk dengan gegas. Ia membawa sebuah koper. Ada stetoskop dan sarung tangan karet di dalamnya. Ia mulai memeriksa denyut nadi Mang Pii. Ia membandingan detak jantung Mang Pii dengan detak jantungnya. Ia lalu membuka kelopak mata Mang Pii yang total memerah.
"Maaf sekali, tapi Bapak sudah tidak ada," ujar Dokter.
Tangis kami pecah. Harapan kami menguap. Aku dapat dengan jelas mendengar suara tangis Si Penjahit Muda. Ia pasti terpukul karena perkiraannya beberapa menit lalu ternyata benar. Sedang Si Penjahit Paruh Baya masih berusaha menepuk-nepuk Mang Pii, masih enggan menerima kenyataan.
"Ayah, Ayah tolong bantu hubungi keluarga Mang Pii," kata Ibu sambil terisak.
"Ibu, kita siapkan gaji Mang Pii bulan ini, ya. Biar aku panggil ambulans. Kita antar Mang Pii ke Pangandaran. Uang ambulansnya dari aku," sahutku.