Mohon tunggu...
Jihan Astriningtrias
Jihan Astriningtrias Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurnalistik

Suka sekali mengembara, meski hanya dalam kepala.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Asih Widodo, Pencari Keadilan yang Tak Gentar Pandemi

15 April 2020   16:32 Diperbarui: 22 April 2022   22:19 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2020 sudah masuk ke April. Kini butuh lebih dari dua puluh satu tahun bagi Indonesia untuk kembali ke 13 November 1998. Hari di mana aksi protes massa terhadap penolakan sidang istimewa MPR dan dwifungsi ABRI pecah, pun memakan 17 korban jiwa. Setidaknya tanggal itu tercetak di mayoritas buku sejarah Indonesia dan ditandai dengan nama "Tragedi Semanggi I". 

Berbeda dari sejarah negeri, Asih Widodo menandai 13 November 1998 dengan makna yang lebih pedih lagi. Sebab pada hari yang sama pula, ia harus kehilangan putra sematawayangnya Sigit Prasetyo. 

Sigit, atau yang dengan manjanya Asih panggil dengan sebutan "Ii", meninggal setelah pria 18 tahun itu terhunus peluru tajam tepat di dadanya. Saat itu, Sigit bertanggung jawab atas kebutuhan logistik bagi rekan demonstran sekampusnya dari Universitas Persada Indonesia. 

Sejak malam kepergian Sigit, Asih bersama keluarga korban pelanggaran HAM lain pun terus berjuang menagih keadilan. Mereka pernah pergi mendatangi politisi di Senayan, bertolak ke pengadilan negeri, bahkan sampai menandangi Mahkamah Konstitusi. 

"Saya punya cita-cita, sebelum saya mati berkalang tanah, saya tetap akan cari keadilan," kata Asih Widodo dengan lantang. Ia memang selalu begitu ketika bicara tentang Sigit. Pun ia bicara di ruang tengah rumahnya yang dipenuhi figura foto Sigit maupun dirinya sendiri, lengkap dengan berbagai kalimat tuntutan terhadap pemerintah. 

Ayah berharap kamu jadi insinyur. E. Dibunuh TNI. Jahat ya Nak, bunyi salah satu tulisan dalam figura di ruang tamu itu. 

Waktu terus menelan perjuangan Asih dan kawan-kawan. Jangankan keadilan, negara bahkan masih berutang penjelasan pada mereka. Hingga pada Januari 2007 silam, dibentuklah sebuah aksi untuk menaungi tuntutan para korban terkait pelanggaran hak asasi manusia. Asih dan keluarga korban Tragedi Semanggi I lainnya tergabung ke sana. Aksi Kamisan, namanya. 

Sejak hari itu, Asih tak henti-hentinya datang ke depan istana negara. Ia berdiri tepat di belakang pembatas jalan, di bawah payung-payung hitam simpatisan, sambil memeluk sebuah patok nisan. Ia hampir tak pernah absen untuk datang ke aksi berdiam diri tersebut. Atas nama Sigit, ia ingin terus hidup untuk memperjuangkan keadilan. 

Dalam perjalanannya ke aksi Kamisan pun, Asih berangkat dengan jaket putih lusuh yang pada sisi belakangnya tertulis besar-besar dengan bordir benang merah: Tragedi Semanggi '98. Anakku dibunuh TNI. Jidatku dipopor polisi. Ia jua menulis tuntutan-tuntutan itu pada helm dan papan yang ia pasang di sisi sana-sisi motor tuanya. 

Ada bahana kecil yang Asih taruh pada bagasi motornya. Setiap Kamis, ketika ia mengarungi sepanjang jalan dari Tanah Kusir ke istana negara, berbagai lagu biasanya akan terputar dari bahana itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun