Mohon tunggu...
Jihan Astriningtrias
Jihan Astriningtrias Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurnalistik

Suka sekali mengembara, meski hanya dalam kepala.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Asih Widodo, Pencari Keadilan yang Tak Gentar Pandemi

15 April 2020   16:32 Diperbarui: 22 April 2022   22:19 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun yang paling sering ia gunakan━sebuah lagu yang juga sarat dengan isi hatinya━adalah potongan dari lagu berjudul "Sindiran Papat". Walau tak jarang juga ia menggunakan lagu dangdut berirama rancak untuk mengiringi perjalanannya itu. 

Bagi Asih, bentuk keadilan paling tepat untuk menuntaskan Tragedi Semanggi I ialah dengan menghukum sejumlah oknum terlibat. "Pokoknya Wiranto harus dihukum. Kan dia panglimanya. Zaman Habibie, Soeharto, dia itu kan panglima sekalian Menhan. Ngerangkap. Ya ada perintah anak saya mati, ya dia tanggung jawab, dong," tukas pria 70 tahun itu. 

Sampai akhirnya, kini aksi Kamisan di depan istana negara harus berhenti sementara. Penyebaran virus Corona tentu jadi sebab utamanya. Sejak 19 Maret lalu, aksi tersebut terpaksa dilakukan secara online. 

Tuntutannya akan dilakukan melalui media sosial. Peniadaan aksi secara tatap muka ini diberlakukan untuk menghindari penularan antar sesama simpatisan. Pun kondisi tak memungkinkan adanya kerumunan. 

"Maksud kita jangan sampai kita ditegur. Jadi kita berhenti sendiri, gitu. Kan kalau kita ditegur kan ndak enak. Seolah-olah kita ngelawan negara. Jadi kita cari keadilan, tapi pakai jalur yang benar. Kita ndak boleh terus melawan negara begitu," ujar Asih. Mengalah sementara, tambahnya. 

Asih Widodo memahami gentingnya kondisi saat ini. Namun ia tak pasrah begitu saja. Seperti janjinya untuk terus berjuang mencari keadilan, ia tak ingin terus berdiam diri sambil menunggu virus mereda.

Apalagi, bagi Asih, tuntutan secara online tentu tak sebegitu mangkusnya. Dengan intonasi sedikit naik, ia berkata, "Kalau metode saya ndak efektif. Soalnya kita berdiri di situ tiap Kamis aja sudah sepuluh tahunan aja ndak diurusin apalagi online? Online siapa yang mau baca? Jadi kalau saya pesimis kalau istilahnya kamisan online. Orang kita berdiri di situ, saya hujan-hujanan panas-panasan aja gak ada yang peduli kok."

Akhirnya, dengan segala keberanian, Asih seolah bersepakat dengan langit. Jika hari itu tidak hujan, maka ia akan pergi berkeliling Ibu kota. Tentu dengan sepeda motor tua yang kian bersenandung sepanjang jalan. Mengalunkan protes dan pilu yang bergelora di dada Asih, persis seperti rentet kalimat nan tercetak pada bodi motornya. 

Ia akan berkelana ke mana saja. Mengarungi ranah Jakarta yang mana saja. Melewati Lebak Bulus, Pasar Rebo, Cilitan, mengitari Matraman, pun sampai ke Tanjung Priok. Ia melalangbuana, bersama musik yang ia putar keras-keras untuk mengiringi perjalanannya. 

"Bodo amat! Asal gak hujan, musim hujan ini saya selalu muter. Ya muter aja. Nyetel musik aja. Saya benar-benar---kenapa ya? Udah kecewa banget, deh! Saya udah kecewa sama negara," tukas Asih dengan nada yang menyirat kekecewaan mendalam. Ada kesan gebu yang teriris dari caranya berkisah. 

Dengan lugas, Asih menambahkan, ia bukan berkeliling kota demi sekedar sensasi. Apalagi pamer gigih. Ia sudah tak lagi peduli, apakah orang-orang di sepanjang jalan akan membaca tulisan di baju dan motornya. Ia bahkan tak juga peduli, apabila ia harus berkelana sendiri tanpa gaung simpatisan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun