Asih hanya ingin keluar dari rumahnya di Tanah Kusir sambil membawa nama Sigit di dalam pikirannya. Ia hanya ingin mencari keadilan dengan caranya sendiri. Sebab hanya dengan itulah, hatinya bisa melega.
"Saya bukan masalah Allah berkehendak lain. Cara meninggalnya itu loh kan dipaksa. Kalau matinya karena Allah Ta'ala saya tidak akan banyak ngomong. Taruh lah, almarhum sakit, terus wafat, saya ndak bisa ngobatin. Itu kan kehendak Allah. Kalau ini kan dipaksa mati sama negara, gitu," tutur Asih saat ia berkisah tentang alasan utamanya betah menuntut keadilan, sekalipun di tengah ancaman tak kasat mata seperti saat ini.
Meski terus-menerus berjuang tanpa hasil manis, Asih tetap enggan menyerah. Seperti yang sebelumnya ia katakan━dan seringkali ia ujarkan lagi berkali-kali━ia takkan berhenti.
Sebab ia juga tinggal mengimani, bahwa Indonesia masihlah negara hukum yang berpegang teguh pada UUD 1945. Kurang lebih, pada keyakinannya, UUD 1945 setidaknya mengimbau negara untuk melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.
"Saya akan tetap optimis. Saya tetap akan cari keadilan. Mudah-mudahan ini Corona cepat habis jadi kita bisa Kamisan lagi. Bisa ketemu lagi sama anak-anak. Jadi saya kalau ketemu sama anak-anak mahasiswa, bercanda, cerita, hati saya senang gitu loh. Jadi istilahnya uneg-uneg saya keluar," ujar Asih. Ia tertawa kecil dan intonasi sumringah, tepat saat ia mengucap kata "mahasiswa". Barangkali, sambil mengenang putra kesayangannya, Sigit Prasetyo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H