Mohon tunggu...
Jihad Bagas
Jihad Bagas Mohon Tunggu... Insinyur - inconsistent Writer

Kegiatan baca dan tulis merupakan kegiatan sakral yang nilai spiriualitasnya bergantung pada kandungan apa yang dibaca dan apa yang ditulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Batas Antara Menjadi Kebal Atau Bebal di Era Disrupsi

9 Juli 2021   07:28 Diperbarui: 9 Juli 2021   07:54 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamis, fluktuatif, abstraktif. Bisa dibilang 3 kata tersebut bisa mewakili keadaan sosial kita hari ini. Dari ketidaktahuan, kerancuan, sampai ketakutan selalu berjalan beriringan di tiap keputusan yang akan atau sudah kita ambil. Dan mungkin masih banyak kata -- kata lain yang bisa menggambarkan kondisi saat ini.

Ketika salah satu fungsi akal adalah memecahkan sebuah permasalahan dalam lingkungan, dan suatu hal yang kita anggap sebagai masalah pada dasarnya adalah hal yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan nalar kita. Sebegitu subyektifnya penilaian dari kondisi yang kita anggap sebagai "masalah".

Dari ranah persepsi, kemudian "masalah" ini bergerak secara kuantitatif antara kesepakatan kaum mayor dan kaum minor. Maksudnya, kita akan benar -- benar menganggap ada sebuah "masalah" saat sebagian besar individu dari kita telah bersepakat dan secara jumlah menjadi mayoritas dibanding yang tidak menganggap "masalah".

Setelah bersepakat menjadikan kondisi ini "masalah", maka kita akan saling berkompromi untuk menentukan respon sikap seperti apa untuk menyikapinya. Hasil dari ini kita jadikan sebagai acuan dalam merespon kondisi "masalah" ini. Tinggal batasan sifatnya, ada yang hanya sekedar menghimbau sampai mengikat dengan sanksi. Ini lah gambaran sederhana dari terbentuknya sebuah kebijakan.

Dalam berkompromi erat kaitannya dengan faktor kepentingan. Secara sederhana kompromi bisa diartikan sebagai mencari titik ekuilibrium antara berbagai kepentingan kelompok atau individu. Nilai tawar antar berbagai kepentingan menjadi tarik ulur untuk mencapai titik ekuilibrium dalam mencapai sebuah kesepakatan. Yang nantinya setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita tetap akan menerima kesepakatan tersebut dengan bijak.

Di kondisi kebebasan menyampaikan pendapat dan keterbukaan informasi, tiap masalah yang muncul menjadi kompleks berkaitan dengan yang lainnya dalam mencari jalan keluar. Karena tiap prespektif bidang memiliki pandangan dan masalah yang ingin diselesaikan.

Skala prioritas dalam sektor yang ingin didahulukan untuk diatasi menjadi acuan dalam berkeputusan. Ketika prinsipnya tidak ada hal atau kepentingan yang lebih rendah dibanding satu sama lain, egosentris tiap sektor pun muncul. Maka keputusan yang dihasilkan pun dirasa tidak obyektif demi kebaikan bersama, tapi hanya subyektif antar kepentingan.

Didukung dengan era keterbukaan informasi ini, berbagai reaksi pun muncul saling menyuarakan pendapat. Dari tiap sektor, tiap lintas ilmu saling bersuara sampai -- sampai kita tidak bisa membedakan suara yang benar -- benar mewakili kondisi saat ini.

Jika kita analogikan dari prespektif seni, suara yang indah disebut nada, yang biasa kita dengar dengan nyaman. Nada adalah keteraturan bunyi, ketepatan tempo, kesesuaian irama sehingga telinga kita nyaman mendengarnya bahkan bisa mempengaruhi suasana perasaan dan pikiran. Beda dengan derau, keteracakan bunyi, ketidakteraturan tempo yang membuat kita tidak ingin mendengarnya. Reaksi motorik alami tubuh jika mendengar bising ini adalah menutup telinga.

Kita saat ini berada pada situasi dimana kita tidak bisa membedakan antara nada atau derau. Begitu bisingnya suara di jagad informasi sehinngga kita tidak bisa berkeputusan yang tepat untuk kapan kita menutup telinga. Demi mengurangi kejernihan suara yang nantinya bisa mempengaruhi sebuah tindakan.

Dalam prespektif fisika, bunyi berasal dari benda yang bergetar. Namun realitanya tidak semua getaran benda bisa kita dengarkan bunyinya. Benda yang bergetar ini memiliki nilai satuan frekuensi. Telinga kita memiliki batasan di rentang nilai frekuensi tertentu untuk bisa mendengar. Dalam pengelompokan nilai frekuensi, kita hanya bisa mendengar bunyi dalam rentang nilai frekuensi antara 20 Hz -- 20.000 Hz yang disebut audiosonik. Di luar dari rentang nilai itu kita tidak bisa mendengarnya.

Jadi pada dasarnya tidak semua bunyi itu menjadi suara yang layak kita dengar dan pertimbangkan dalam berkeputusan. Suara yang ideal kita dengar adalah suara yang muncul dari getaran hati kemudian menyeruak ke pikiran dan mewujud dalam sebuah aspirasi mewakili keadaan jujur apa adanya.

Ketika sudah terlanjur banyak suara yang menggema, maka adakalanya kualitas dari suara menjadi turun. Suara dinilai berdasarkan kuantitatif kerasnya atau banyaknya argumen yang sama. Bukan dari kualitas kejrnihan bobot suara yang dibawa.

Layaknya komposer, dalam situasi ini perlunya keterampilan dalam mengolah berbagai suara sehingga membentuk nada yang indah dan memiliki narasi positif untuk mengarahkan menuju tindakan yang lebih baik. Perlunya kepiawaian dalam merajut benang merah yang bisa menyambungkan berbagai kantung -- kantung sektoral sehingga semuanya bisa terajut dengan rapi dan baik. Tidak ada kelompok yang tertinggal.

Tanpa merendahkan urgensi dari setiap sisi, kebijaksanaan tiap kelompok dalam bersikap menjadi penting. Ketepatan dalam membawa peran masing -- masing menjadi jarum yang tepat untuk membawa benang emas menambal kebolongan dalam kain yang akan dirajut. Masyarakat utopia pun akan terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun