Sebuah tradisi turun -- temurun di Indonesia yang entah kapan dimulainya dan masih berlangsung sampai sekarang menjelang lebaran adalah mudik. Sebuah kegiatan yang umumnya dilakukan oleh kaum urban. Orang yang lahir di suatu daerah dan kemudian merantau atau hijrah dalam istilah arabnya untuk mencoba peruntungan hidup di tempat yang baru.
Di penghujung Ramadan biasanya jalan -- jalan utama antar provinsi menjadi padat merayap dilintasi oleh kendaraan -- kendaraan pemudik. Tidak hanya diramaikan oleh kendaraan pribadi, transportasi umum pun mengalami peningkatan jumlah penumpang baik itu bis, kereta, pesawat, maupun kapal laut. Begitu tingginya antusias kaum urban ini dalam merayakan lebaran idul firi.
Khidmatnya hari raya idul fitri seakan menjadi tambah sakral saat para pemudik tiba di tanah kelahiran, berkumpul Bersama keluarga besar. Momen berkumpulnya satu keluarga membawa kegembiraan yang tidak biasa. tangis tawa dan haru semuanya melebur campur aduk dalam satu momen. Mungkin hanya pada lebaran lah momen ini bisa terjadi
Melaksanakan shalat ied di lapangan, ada juga yang menjalankan shalat ied dengan cara menutup jalan kampung untuk di jadikan tempat shalat berjamaah yang kemudian alasnya menggunakan terpal. Setelah shalat selesai langsung disambung dengan ceramah, di beberapa daerah ceramah biasanya menggunakan Bahasa daerah.
Setelah ceramah dan doa selesai, jama'ah shalat ied merapikan sajadahnya dan bersiap untuk pulang. Selama perjalanan pulang menyusuri jalanan kampung, saling tegur dan sapa antar masyarakat sekitar mewarnai perjalanan dari tempat shalat ied menuju rumah. Tak jarang ada yang menawarkan untuk mampir sejenak ditempatnya.
Saling menyapa kepada tiap orang yang ditemui menambah hangatnya suasana paska lebaran ini. Entah nostalgia bertemu dengan teman lama yang sejenak saling bercerita melempar tawa akan kenangan masa lalu, ataupun bertemu dengan orang baru. Kehangatan suasana ini mungkin juga hanya terjadi di momen ini. Ketika efek suasana spiritual Ramadan bercampur dengan kehangatan tegur sapa antar sesama.
Setiba di rumah wangi masakan khas pun telah menyerebak di seluruh ruangan rumah. Gairah nafsu makan kita pun tergoda oleh aroma masakan ini. Bergegas lah kita menuju meja makan tuk menyantap hidangan spesial ini. Momen makan pertama setelah usainya puasa kita lakukan Bersama keluarga dengan suka ria.
Saat pulang kita senantiasa membawa oleh -- oleh dari perkotaan untuk kita bagikan ke saudara atau tetangga di kampung. Gembira rasanya bisa berbagi kebahagiaan walaupun dengan hal sederhana ini.
Tetapi terkadang kita tidak hanya membawa oleh -- oleh, kita juga membawa keangkuhan ke kampung halaman. Rasa angkuh ini kita bawa dan kita tunjukkan ke sekitar. Seolah ia berkata "lihat aku, aku sudah berhasil menaklukan perkotaan". Kita menampakkan rasa keangkuhan ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal seperti ini lah yang membuat hati kita kembali ternoda.
Kita percaya bahwa hari raya idul fitri ini kita kembali suci. Kembali putih bersih bagaikan selembar kertas kosong. Namun tak memerlukan waktu lama sampai kita kembali mencoreng hati kita kembali dengan tinta -- tinta keangkuhan. Perang melawan diri selama sebulan penuh kita berpuasa sejatinya untuk melatih sikap kita mengendalikan salah satu turunan dari nafsu ini.
Angkuh, iri, dengki memang merupakan penyakit hati. Penyakit yang menimbulkan bercak pada hati sehingga suci dan bersihnya lembaran hati pun tampak keruh kusam karnanya. Untuk menyembuhkan penyakit ini memang diperlukan dosis iman ketakwaan yang tinggi. Penyakit hati ini bisa menjangkit siapapun dan tak mengenal status sosial kita di masyarakat.
Kali ini kita dalam kondisi berbeda. Kita berada di tengah suasana pandemi yang menghatui. Ketakutan akan terpapar virus pandemi ini membuat kita berpikir dua kali untuk melakukan mudik. Tidak hanya memikirkan kesehatan diri, kita juga memikirkan kesehatan keluarga di rumah apabila kita selama perjalanan terjangkit virus ini dan kemudian menularkan ke keluarga di rumah.
Yaa.. Ramadan kali ini kita rayakan dengan jarak. Kita memilih untuk berjarak bukan karena sudah hilang rasa rindu akan rumah, tapi lebih untuk kebaikan bersama. Pemerintah telah menganjurkan untuk tidak mudik demi keselamatan. Walaupun dengan segala kontroversi pemerintah dalam menangani kasus ini kita secara sadar memilih untuk dirumah saja agar tidak memperkeruh suasana.
Saat simbolis berjabat tangan biasa kita lakukan untuk menandakan bahwa kita saling memaafkan. Nyatanya saat ini kita tidak bisa melakukannya. Ini menyadarkan kita bahwa kegiatan minta maaf dan memaafkan itu hakikatnya merupakan gerak dari hati. Bukan gerak fisik yang disimbolkan dengan berjabat tangan.
Saat kita tidak bisa saling bertatap dan berjabat bisakah kita mencoba untuk memaafkan? Sudah cukup matangkah hati kita untuk memaafkan segala hal buruk yang menimpa kita? Diperlukan level keikhlasan yang tinggi untuk menggerakkan hati menjadi seperti ini.
Ketika kita sekarang berjarak, kecangihan teknologi dari media komunikasi lah kita bisa menyalurkan kerinduan ini. Dengan telpon pintar yang saat ini hampir tiap orang punya, kita manfaatkan untuk menghubungi keluarga agar tetap bisa bersua walaupun ada jarak yang membentang. Menatap layar kaca telepon pintar. Silaturahmi kita lakukan secara virtual.
Hal ini mungkin akan membuat air mata kita mengalir lebih deras dari sebelumnya. Biasanya suasana sakral dan sucinya Ramadan yang diwarnai dengan hangatnya dekapan keluarga menjadi sedikit hampa karena ada jarak diantara kita. Hanya bertatap senyum melalui Handphone yang bisa kita lakukan. Dan kita menyadari bahwa ada ruang kosong yang ternyata tidak bisa sepenuhnya tergantikan oleh teknologi.
Sekarang kita memilih untuk berjarak dalam perayaan lebaran kali ini. Ruang dan waktu untuk muhasabah diri terbuka lebar. Kita memiliki banyak kesempatan untuk menyelami samudera jiwa.Â
Menyelam untuk sampai pada dasar agar mendapat pemahaman akan diri ini seperti apa. Terkadang memang kita lupa bahkan mungkin sampai tidak mengenali diri kita ini siapa.
Yang mungkin jika tidak ada pandemi ini tidak akan ada momen langka untuk muhasabah diri ini. Pandemi seolah menyadakan kita dan menjadi katalis bagi kita untuk membuka celah memasuki ruang -ruang muhasabah ini. Jika tidak dengan jarak dan pandemi, dengan apalagi kita bisa menyempatkan diri untuk memasuki palung terdalam jiwa.
Jika dengan mengenal diri merupakan salah satu cara mengenal Tuhan, harusnya bersyukurlah kita sekarang. Dan pada akhirnya khidmatnya idul firti pun tetap terasa. Namun perlu tingkatan hati yang murni untuk bisa merasakan salah satu manifestasi rasa dari Tuhan ini. Semoga lebaran kali ini bisa membuat kita menjadi hamba yang seutuhNya.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah
Taqoballahu Minna Waminkum
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H