Mohon tunggu...
Jihad Bagas
Jihad Bagas Mohon Tunggu... Insinyur - inconsistent Writer

Kegiatan baca dan tulis merupakan kegiatan sakral yang nilai spiriualitasnya bergantung pada kandungan apa yang dibaca dan apa yang ditulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Iman dan Produktivitas Melebur dan Selaras?

9 Mei 2020   00:37 Diperbarui: 9 Mei 2020   00:34 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejenak membangun ruang kontempelasi internal untuk berdialektika dengan diri dan mencoba segala komposisi untuk meramu keselarasan iman dan produktivitas  

Kerja….Kerja….Kerja!!! itu adalah slogan yang digaungkan oleh pemerintah kita. Banyak pro dan kontra dalam menanggapi slogan itu. Tapi terlepas dari itu, harus kita akui bahwa memang benar secara realita. Ini lah yang terjadi, tuntutan untuk mengikuti gejolak kemajuan zaman dimana itu berorientasi dengan produktivitas materialistik. Kerja….kerja….kerja!!!

Kita perlu makan, minum, membayar biaya tempat tinggal dan segala kebutuhan primernya. Tak lupa hal yang sandang menjadi sektor sekunder untuk menopang kelancaran menjalani hidup sehari – hari. Ada juga mungkin sebagian dari kita gara – gara mengikuti trend metropolitan, perihal gaya hidup atau lifestyle kita jadikan sebagai hal yang pokok. Padahal sebenarnya itu merupakan kebutuhan tersier.

Dan faktanya kenaikan harga kebutuhan itu berjalan linier dengan jalannya waktu. Jadi makin kesini harga kebutuhan pokok untuk melangsungkan hidup mengalami kenaikan. Selain mengalami kenaikan, proporsional kebutuhan pun menjadi campur aduk antara yg primer, sekunder, dan tersier. Ini lah kenapa kita selalu menuntut diri untuk meningkatkan produktivitas materi untuk bertahan mengikuti perkembangan zaman.

Silaunya gemerlap materiil mungkin sudah menyilaukan lensa kita. Sehingga lama kelamaan itu merubah orientasi pandangan kita menjadi tidak biasa. Jika diibaratkan dengan ilmu biologi, apabila mata secara terus menerus menangkap cahaya yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan retina. Dalam artian kemampuan mata kita menjadi melemah dan lama – kelamaan akan rusak.

Tidak salah jika ada istilah “industri kehidupan”. Jadi selama kita hidup akan dikatakan hidup ketika kita mengikatkan diri dalam zona industri kehidupan itu. Kita akan dikatakan mempunyai nilai pada saat ada materi yang bisa kita hasilkan dari kegiatan kita. Dan secara tidak langsung kita pun menggantungkan eksistensi diri kita kepada orang – orang di sekitar kita.

Mungkin ini lah yang terjadi dengan kita. Kita terlalu sering melihat hal – hal materi yang menyilaukan. Seperti anggota tubuh pada umumnya, sesekali kita perlu merelaksasikan pandangan kita. Mengalihkan sejenak pandangan ke obyek lain, ataupun memejamkan sejenak pandangan kita sehingga indera kita bisa beristirahat. Dengan begitu kita bisa mengkalibrasikan kemampuan kita untuk memandang sesuatu. Agar kita bisa mengetahui kualitas kejernihan kita dalam memandang sesuatu

Dalam skema proses bersikap terhadap sesuatu atau melakukan sesuatu. Secara sadar, proses pertama adalah menangkap kejadian – kejadian yang terjadi dengan mata kita, lalu diproses dengan otak kita dan terakhir dinilai dengan hati kita. Kemudian tubuh kita merespon sesuatu terhadap kejadian tersebut.

Jadi tidak hanya memerlukan kondisi pikiran dan hati yang bersih, pandangan kita pun harus kita jaga kondisi kemurniannya. Jadi dengan metode menangkap objek sesuai realita. Tidak dengan lensa yang kotor sehingga detail objek tertutupi debu. Tidak dengan lensa cekung yang bisa mengecilkan objek. Dan tidak juga dengan lensa cembung yang bisa membesarkan objek. Hal ini bisa membantu meringankan kerja pikiran dan hati dalam menyimpulkan sesuatu.

Dalam istilah sains, pengambilan data yang tepat merupakan satu faktor yang mempengaruhi validitas dari kesimpulan terhadap penilaian sesuatu. Tidak akan ada istilah paralaks dalam sebuah pengamatan dengan lensa yang jernih. Dengan menangkap hal – hal yang benar, ditambah proses analisa pikiran dan hati kita yang murni, kesimpulan dan respon yang akan kita berikan pun bernilai baik di mataNya.

Sejenak kita berpikir, pada dasarnya produktivitas merupakan output dari proses suatu input. Selama proses tersebut kita memerlukan sebuah energi dan fokus memproses objek input itu. Dan kita juga terikat dengan variabel waktu selama mengerjakan proses itu. Maka bisa disimpulkan bahwa produktivitas itu merupakan gabungan dari energi dan fokus yang kita miliki yang terikat terhadap variabel waktu yang kita berikan atau luangkan.

Permasalahannya saat ini sangat sulit untuk menjaga fokus kita tetap konstan untuk mengerjakan satu hal selama waktu tertentu. Sering kali kita dengan mudahnya terganggu dengan hal – hal yang terlintas sesaat begitu saja. Jadi energi kita pun akan terkuras terhadap hal yang remeh. Hasilnya kita menjadi cepat lelah dan progress pekerjaan pun tidak beranjak.

Hal ini terjadi terus menerus, menurun lah tingkat produktivitas kita. Menurunnya produktivitas ini akan membawa efek lain yaitu tekanan. Kita akan merasa tertekan oleh lingkungan bahkan tertekan oleh pikiran diri sendiri mengapa ini bisa terjadi. Alhasil stress lah sudah diri ini.

Jika memang begitu konsepnya, tidak salah jika kita mendefinisikan diri kita sebagai sebuah mesin yang berwujud manusia, makhluk industrialis. Bisakah kita menyisipkan hal yang spiritual dalam produktivitas kita? 

Jadi nilai religius akan selalu menyelimuti aktivitas kita. Atau ternyata kita sudah menjadi kaum sekularian  untuk mengikuti kemajuan zaman? Dimana kita menepikan segala unsur yang tidak berkaitan langsung dengan kinerja produktif materi.

Disini lah pentingnya sebuah nilai. Sebuah nilai yang menjadi orientasi kita terhadap kefokusan kita. Jadi kearah mana kita harus memfokuskan lensa fokus kita. Untuk mendapatkan nilai itu, mungkin pertama kali yang kita sadari adalah kita harus bersikap ikhlas. Karena hanya orang ikhlas lah yang mengerti akan kemuliaan dari hal yang ia kerjakan. Jika nilai ini kita persepsikan sebagai wujud dari dimensi rasa, maka poin religious spiritual akan hadir untuk mengisi ini.

Membangun ruang kontempelasi untuk berdialektika dengan diri tidak ada salahnya kita lakukan untuk merefelksikan kejadian – kejadian yang lalu dan mengkalibrasikan lensa fokus kita untuk menjalani rutinitas selanjutnya. Karena dalam keheningan diri kita bisa menjadi lebih jernih dalam menangkap makna atau pun kode dari semesta. Mungkin ini lah salah satu cara Tuhan berkomunikasi, yaitu berkomunikasi melalui dimensi rasa.

Dengan mengaitkan unsur spiritual terhadap aktivitas apa pun, disni lah kondisi dimana sebuah keimanan telah melebur dengan produktivitas. Ia menjadi selaras, segala aktivitas kita pun akan kita lakukan dan resapi dengan penuh makna.

Mungkin statement “meleburnya iman dan produktivitas” terdengar teoritis saja. Namun yang patut kita sadari ialah kita senantiasa berproses untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam berperan. 

Baik itu peran pribadi secara konsep ilahiyah maupun konsep sosial. Puncak dari proses ini adalah kita bisa menjadi manusia seutuhnya dan menjadi hamba berkualitas yang selalu mengabdikan diri kepadaNya.

Semoga secarik uneg -uneg ini senantiasa menjadi pengingat khususnya bagi pribadi agar senantiasa berproses menuju kesempurnaan sebagai hambaNya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun