Mohon tunggu...
Jihad Bagas
Jihad Bagas Mohon Tunggu... Insinyur - inconsistent Writer

Kegiatan baca dan tulis merupakan kegiatan sakral yang nilai spiriualitasnya bergantung pada kandungan apa yang dibaca dan apa yang ditulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aktualisasi Diri di Zaman Tirani Opini Publik 1

21 April 2020   08:00 Diperbarui: 21 April 2020   08:11 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sedang berada dalam cengkraman pandemi digital

Sudah marwahnya manusia menjadi makhluk sosial. Dimana dalam menjalani kehidupan sehari – harinya tak lepas dari komunikasi dan ketergantungan terhadap manusia lainnya. Mulai dari tiap melakukan sebuah kewajiban, mengerjakan suatu kebutuhan atau sekedar melakukan obrolan ringan.

Pada dasarnya, sesuatu yang menjadi perantara ketika dua manusia atau lebih melakukan interaksi yang disebut dengan komunikasi adalah bahasa. Jadi dengan tool yang bernama Bahasa, tiap keinginan, kebutuhan, kewajiban kita dapat dimengerti oleh manusia lainnya. Sehingga semuanya dapat terpenuhi.

Seiring berjalannya waktu, bahasa yang menjadi dasar dalam berkomunikasi mengalami perubahan. Dari kosa kata hingga tata bahasanya pun bisa dikatakan berubah mengikuti perkembangan zaman. Contohnya kita mengenal EYD, ejaan yang disempurnakan. EYD ini menjadi pedoman masyarakat Indonesia untuk berbahasa Indonesia dengan baik.

Selain bahasa, ada sebuah katalis yang membantu untuk proses komunikasi tersebut. Ya, ada sebuah media untuk memperlancar sebuah komunikasi. Di era kemajuan teknologi sekarang yang sudah menjadi hiperkoneksi, orang dari belahan bumi mana pun bisa menghubungi orang di belahan bumi lainnya. Dan ditambah dengan keterbukaan akses informasi saat ini. Tiap orang bisa dengan mudah mencari informasi yang dia inginkan.

Namun apa yang terjadi sekarang ternyata tidak semuanya positif. Ada sebuah fenomena dimana arus informasi yang mengalir lebih cepat dibandingkan kepala kita memproses informasi itu. Dan yang terjadi adalah ketidaksiapan dalam menerima informasi itu dengan baik entah itu secara individu maupun sosial masyarakat.

Munculnya stigma negatif yang secara kognitif merebak di sosial masyarakat dalam menanggapi sebuah informasi merupakan contoh dari ketidaksiapan kita dalam menyerap informasi. Ini menandakan ternyata ada hal buruk lain selain ketidaktahuan tentang informasi, yakni kesalahan dalam menggunakan informasi. Belum lagi keburukan lain karena terlarut dalam kesemuan informasi.

Jika kondisi ini sudah terjadi, sehatkah kondisi individu – individu dalam masyarakat yang hidup di lingkungan itu? Bereaksi negatif dalam menanggapi suatu informasi yang diekspresikan dalam bentuk ketakutan. Yang pada dasarnya ketakutan itu muncul dari ketidaktahuan.

Ada pepatah yang sangat familiar, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Pertanyaannya dalam kondisi sekarang bagaimana keadaan jiwa kita? Mental kita? Ini menjadi sangat penting dalam melangsungkan hidup kedepannya. Mengingat kondisi jiwa dan mental yang baik atau kuat sangat mempengaruhi kondisi internal diri kita maupun kondisi eksternal ke masyarakat sekitar.

Dalam filosofi stoa ada istilah yang dikenal dikotomi kendali. Secara ringkas dikotomi kendali ini adalah pembagian antara sesuatu yang merupakan sepenuhnya kendali kita dan sesuatu yang di luar kendali kita. Dan menyimpulkan sesuatu secara utuh itu sepenuhnya berasal dari kendali kita yang sudah matang menggunakan nalar dalam memproses informasi.

Jika kita mengaitkan keterbukaan informasi ini dengan pembetukan karakter, maka kita bisa berasumsi bahwa ada ancaman krisis identitas dibalik era revolusi informasi ini. Mulai dari batas privasi, narsistik, sampai dalam berpendapatpun menjadi nir substansi.

Muncul sebuah pertanyaan, siapa sebenarnya kita. Apakah eksistensi kita hanya bergantung pada pujian virtual. Apa memang ini cara kita merepresentasikan diri yang katanya beradaptasi dengan zaman. Atau sebenarnya kita tidak sedang berenang di dalam arus teknologi, tapi kita hanyut terseok – seok terbawa arus teknologi.

Secara dampak, ada istilah epidemi, endemi, dan pandemi. Semua itu dibagi berdasarkan sebaran dari dampak yang ditimbulkan. Maka fenomena sekarang sudah pantas jika kita mengatakan, “saat ini kita sedang berada dalam cengkraman penyakit pandemi digital” Yaitu ada sebuah pandemi yang bukan merusak fisik tapi merusak konsep berpikir yang pada akhirnya mempengaruhi pola perilaku. Yang jika dilanjutkan dalam periode yang lama bisa merubah kebiasaan dan budaya yang berlaku.

.

.

Bersambung ke bag.2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun