Mohon tunggu...
Jihad Bagas
Jihad Bagas Mohon Tunggu... Insinyur - inconsistent Writer

Kegiatan baca dan tulis merupakan kegiatan sakral yang nilai spiriualitasnya bergantung pada kandungan apa yang dibaca dan apa yang ditulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ekstase dari Istilah Pulang

31 Januari 2020   08:29 Diperbarui: 20 April 2020   23:41 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kondisi mental seperti ini diperparah lagi dengan beban pekerjaan yang menuntut untuk selesai tanpa ada kendala seperti macet. Belum lagi saat tiba di kantor bertumpuk masalah sudah menanti. Dan ketika pulang pun harus kembali melalui crowded lalu lintas. Jadi kapan kah kita bisa rileks?

Hal ini menjadikan kita overact dalam menanggapi itu. Dan buruknya lagi overact nya itu kearah yang negatif. Kita emosi kita sedang tidak stabil pikiran kita pun jadi tidak jernih. Pikiran yang tidak jernih akan menyebabkan kesalahan dalam membuat keputusan dan efek berantai buruk lainnya yang sudah menanti.

Hari demi hari hampir tiap kaum urban merasakan ini. Sehingga kebiasaan buruk ini secara tidak sadar terpatri dalam benak dan membuat kita menjadi pribadi yang buruk. Pada ujungnya kondisi mental yang buruk ini akan mempengaruhi terhadap kualitas kesehatan kita.

Maka dari itu, pulang bisa menjadi sebuah treatment positif terhadap diri kita untuk membersihkan segala toxic yang melekat pada diri kita. Kita kembali menyelami karakter sejati kita yang mungkin sudah lama tertutupi oleh debu - debu kehidupan metropolitan.

Setelah merasakan ekstase dari proses perjalanan dan relaksasi dalam zona ruang dari pulang, kita sudah banyak menyerap energi baik dan kita pun kembali menjadi pribadi yang lebih positif. Pikiran dan mental sudah menjadi lebih jernih.

Tak lupa nanti kita harus kembali meneruskan kehidupan kita kembali. Tidak terlena dalam kenikmatan pulang, kita wajib melakukan perjalanan kembali ke kehidupan rutinitas kita. Di situ kita kembali mengisi peran sosial kita dalam skenario kehidupan urban.

Kita kembali memasuki zona ruang dimana kita menjalani karakter peran utama dalam cerita kehidupan kita sendiri. Tempat dimana segala peluhnya yang mengucur akan digantikan dengan sebuah materi yang berbentuk kertas dengan nilai tertentu.

Ada sebuah pepatah bahwa hidup merupakan sebuah perjalanan. Benar, hidup merupakan sebuah proses melintasi dimensi ruang dan waktu yang berjalan linier. Usai melintasi itu akan menyisakan cerita. Sebuah cerita yang memiliki hikmah tertentu disetiap momen yang membekas entah itu baik atau buruk.

Terus lah berjalan, bergulir mengiringi waktu dan ruang. Jika diibaratkan sebuah batu yang bergulir dari sungai di puncak gunung menuju lautan. Ada kalanya batu itu terjebak dalam pusaran air, berbenturan dengan batu besar lainnya, terdampar dalam sisi perairan yang dangkal, mungkin begitu lah proses hidup.

Layaknya seorang petualang terkenal seperti Christoper Colombus, Marcopolo, Ibnu batutah yang mengabdikan dirinya untuk bertualang menggambar sebuah peta. Mari kita nikmati proses perjalanan hidup ini. Dan mari kita buat peta hidup kita sendiri.

Tapi ada sebuah hal yang wajib kita sadari. Dari semua proses perjalanan itu, terdapat sebuah perjalanan paling indah dan perjalanan paling baik yang kita lalui. Perjalanan yang selalu kita sambut dengan suka ria. Bukan perjalanan terjauh yang bisa kita tempuh, tapi perjalanan yang terkhidmat itu adalah perjalanan pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun