Mohon tunggu...
Chaerun Anwar
Chaerun Anwar Mohon Tunggu... profesional -

Mendidik dengan hati, mengajar dengan bahagia, dan melatih tanpa pamrih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keluarga Jenghiz: Zending Islam di Xinjiang

24 Juni 2016   12:51 Diperbarui: 24 Juni 2016   14:32 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anargul putri ke-5 Jenghiz dibalik jendela kamarnya

Pagi itu kami duduk bersimpuh diatas karpet tebal berwarna hijau buatan tangan para gadis Uyghur yang dikerjakan masal selama berbulan bulan. Hiasan diatas karpetnya adalah kaligrafi huruf Uyghur yang berbunyi “Ana yurtung aman bolsa, rengi-roying saman bolmas (bila negerimu aman maka tiadalah berpucat wajah)”.

Ismail Jenghiz, seakan mengerti akan pikiranku, sambil mengelus janggutnya yang lebat beliau menceritakan makna kaligrafi tersebut. Ada kesedihan mendalam dari nada suaranya mengenai masa depan sukunya.

“Saya tidak menyalahkan anak muda pergi menuntut ilmu kemanapun, karena memang kewajiban setiap muslim untuk menuntut ilmu membekali dirinya dengan pengetahuan, tetapi sangat disayangkan bahwa faham klaim merasa paling benar sendiri akhirnya menyusahkan seantero suku”. 

Sejenak Jenghiz merenung dan melanjutkan pemicaraannya, “Islam telah masuk ke wilayah Xinjiang (yang berarti tapal batas baru) dibawa oleh Yusuf Qadir Khan dan 4 imam  yang melayani umat diwilayah Khotan, Yarkand dan Kashgar. Para Imam mengajarkan Islam dengan kasih sayang hingga maut menjemput mereka yang kematiannya ditangan para pemberontak. Filosofi para Imam adalah senjata dilawan dengan cinta, dendam dilawan dengan kasih sayang. Benci dilawan dengan penghormatan dan penghargaan”.

Sambil mendengarkan penjelasan Jenghiz, aku perhatikan ruang tengah rumahnya yang tidak banyak berubah dari 4 tahun yang lalu aku terakhir mengunjungi rumahnya tersebut. Di sudut kanan dekat perapian ku dapati masih ada foto tua 4 Imam tergantung dengan apik, sebelah kirinya foto keluarga Jenghiz bersama ke 3 orang isteri dan ke-8 anak anaknya.

Aku teringat dulu empat tahun yang lalu aku suka duduk mengerumuni perapian tersebut sambil menyeruput kawas (minuman yang dibuat dari madu yang ditambahkan jahe) bersama dengan anak anak Jenghiz yaitu Aliya (perempuan), Gulmihra (perempuan), Ablikim (pria), Mardan (pria), dan Anargul (perempuan).

Saat makan siang, Tursungul (isteri Jenghiz) menghidangkan Laghman (Mie yang terbuat dari tepung air dan garam yang diolah sendiri kemudian direbus dan ditiriskan. Dihidangkan dalam mangkuk besar disiram air panas dan dibubuhi suwar sewir daging kambing kering, cabe gendot, cabe merahtomat, bawang Bombay dan kubis), Yutaza (roti gandum kering), Samsa (bakar daging kambing.

Hidangan makan siang tersebut selalu aku rindukan karena rasanya lezat apalagi dihidangkan di musim dingin. Dengan lahap aku seruput langsung air kuah laghman dari mangkuknya sehingga menimbulkan bunyi nyaring, sambil menepuk pundak Jenghiz mengingatkanku untuk pelan pelan makannya. Aku tertawa senang dan menganggukan kepala karena mulutku sedang sibuk menikmati hidangan buatan Tursungul.

Ketika senja menjelang, garis garis merah menghiasi gunung Huoyan (atau gunung bara api) yang berwarna kemerahan dari kejauhan laksana lukisan nyala api dari perapian. Sambil mendekap mushaf Al-Quran dan mengenakan doppa (baju radisional uygur untuk wanita) dan taipak (topi kecil) yang menghiasi kepalanya, Anargul mengiringi langkahku berjalan mengelilingi desa sambil saling bercerita karena telah hamper 4 tahun lamanya tidak bertemu.

Tiba-tiba saja, Anargul menghentikan langkahnya dan menatapku sambil tertawa licik, lalu dia berujar, “Jielun, apakah Bapak sudah menjelaskan tentang gunung Huoyan?” Aku jawab tentu, Bapak Jenghiz pernah bercerita bahwa gunung Huoyan bersamaan dengan Raudah diturunkan ke bumi sebagai pengingat umat manusia tentang surga dan neraka. Aku jelaskan kepada Anargul bahwa di Madinah (di dalam Mesjid Nabawi ada tanah dari syurga yang disebut Raudah), dan di Turpan ada gunung Huoyan yang merupakan tanah dari neraka.

Anargul mengguncangkan bahuku sambil setengah berteriak, “ Ha! Nahayti Yahshi! (bagus sekali!), rupanya engkau masih ingat pelajaran dari bapak.” Aku dengan tersenyum membalas ujarannya dengan balik bertanya apakah Anargul pernah mendaki gunung Huoyan. Pertanyaanku dibalasnya dengan berondongan kata-kata yang tak habis habis mengiringi langkah kami mengelilingi perbatasan desa.

Anargul memang tipe perempuan petualang dan berbeda dari kakak kakaknya, dia pandai menaiki kuda dengan kencang dan mahir memainkan pedang nampak terlihat dari genggamannya yang kuat saat berjabat tangan. 

Suku Uyghur memang memiliki tradisi unik yaitu menyelenggarakan tradisi adu ketangkasan menunggang kuda dan kemahiran memainkan pedang atau panah untuk mengakhiri masa anak-anak (sekitar umur 13 tahun), sehingga tidak heran bila rata-rata anak anak suku uyghur di pedesaan sangat terampil menunggang kuda dan beladiri.

Anargul terbilang kembang desa karena masuk dalam jajaran perempuan berparas cantik di desa nya, namun demikian karena pendidikan keluarganya, dia sosok yang sangat rendah hati dan bersahabat dengan semua orang. Sifatnya yang demikian membuat banyak pemuda yang patah hati dibuatnya.

Sejenak kami berhenti ditengah gerombolan kuda betina yang sedang diikat oleh pemiliknya di sebuah pohon besar, Anargul menyapa Memetali pemilik kuda tersebut sambil memperkenalkan diriku. Memetali Nampak sumringah dan menjulurkan tangannya sambil berkata, “Ah, man bir kuni Indonisie gha sayahat ka birishni halayman (aku ingin mengunjungi Indonesia suatu saat kelak).”

Aku senang sekali dengan ucapan Memetali, terlebih dengan pemberiannya sumangkuk susu kuda betina yang baru saja diperasnya sebagai rasa hormatnya padaku. Sambil membungkukkan badan berkali kali aku ucapkan terima kasih. Memetali hanya tersenyum dan kemudian melanjutkan pekerjaannya mengurusi kuda peliharaannya.

Seiring meredupnya cahaya matahari senja, terdengar laungan adzan memecah sunyinya desa, aku dan Anargul bergegas melangkahkan kaki panjang panjang setengah berlari menuju Mesjid Besar yang terletak di tengah tengah desa. Seketika suara azan hilang, disambung dengan seruan dari polisi desa melalui pengeras suara yang terpasang pada setiap sudut desa, suaranya menggema dan jelas terdengar. Isi seruannya adalah memberitahukan kepada warga desa bahwa malam telah tiba dan penduduk desa yang dapat giliran siskamling  malam itu diwajibkan melakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun