Mohon tunggu...
Chaerun Anwar
Chaerun Anwar Mohon Tunggu... profesional -

Mendidik dengan hati, mengajar dengan bahagia, dan melatih tanpa pamrih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keluarga Jenghiz: Zending Islam di Xinjiang

24 Juni 2016   12:51 Diperbarui: 24 Juni 2016   14:32 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anargul memang tipe perempuan petualang dan berbeda dari kakak kakaknya, dia pandai menaiki kuda dengan kencang dan mahir memainkan pedang nampak terlihat dari genggamannya yang kuat saat berjabat tangan. 

Suku Uyghur memang memiliki tradisi unik yaitu menyelenggarakan tradisi adu ketangkasan menunggang kuda dan kemahiran memainkan pedang atau panah untuk mengakhiri masa anak-anak (sekitar umur 13 tahun), sehingga tidak heran bila rata-rata anak anak suku uyghur di pedesaan sangat terampil menunggang kuda dan beladiri.

Anargul terbilang kembang desa karena masuk dalam jajaran perempuan berparas cantik di desa nya, namun demikian karena pendidikan keluarganya, dia sosok yang sangat rendah hati dan bersahabat dengan semua orang. Sifatnya yang demikian membuat banyak pemuda yang patah hati dibuatnya.

Sejenak kami berhenti ditengah gerombolan kuda betina yang sedang diikat oleh pemiliknya di sebuah pohon besar, Anargul menyapa Memetali pemilik kuda tersebut sambil memperkenalkan diriku. Memetali Nampak sumringah dan menjulurkan tangannya sambil berkata, “Ah, man bir kuni Indonisie gha sayahat ka birishni halayman (aku ingin mengunjungi Indonesia suatu saat kelak).”

Aku senang sekali dengan ucapan Memetali, terlebih dengan pemberiannya sumangkuk susu kuda betina yang baru saja diperasnya sebagai rasa hormatnya padaku. Sambil membungkukkan badan berkali kali aku ucapkan terima kasih. Memetali hanya tersenyum dan kemudian melanjutkan pekerjaannya mengurusi kuda peliharaannya.

Seiring meredupnya cahaya matahari senja, terdengar laungan adzan memecah sunyinya desa, aku dan Anargul bergegas melangkahkan kaki panjang panjang setengah berlari menuju Mesjid Besar yang terletak di tengah tengah desa. Seketika suara azan hilang, disambung dengan seruan dari polisi desa melalui pengeras suara yang terpasang pada setiap sudut desa, suaranya menggema dan jelas terdengar. Isi seruannya adalah memberitahukan kepada warga desa bahwa malam telah tiba dan penduduk desa yang dapat giliran siskamling  malam itu diwajibkan melakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun