Kongres I Bahasa Madura yang digelar di Pamekasan mulai tanggal 15 hingga 19 Desember 2008, tidak hanya menyusun kamus dan ejaan Bahasa Madura yang disempurnakan. Lebih dari itu, peserta juga membahas hal-hal lain yang menyebabkan Bahasa Madura cenderung kurang diminati, baik oleh kalangan pemuda ataupun para orang tua.
Akhmad Sofyan, dari Fakultas Sastra Universitas Jember (Unej) menyatakan, alasan lain yang menyebabkan orang Madura enggan menggunakan bahasanya sendiri, karena mereka merasa malu menggunakan Bahasa Madura. Sangat jarang Bahasa Madura digunakan di ruang publik, layaknya Bahasa Jawa.
“Sebagai bahasa daerah, seharusnya Bahasa Madura mempunyai tiga fungsi, yakni sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah dan alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah,” katanya.
Selama ini, lanjut penulis buku “Tatabahasa Bahasa Madura” ini, ketiga fungsi tersebut sudah jarang ditemukan. Bahasa Madura hanya cenderung menjadi alat komunikasi di ranah domestik, dalam keluarga dan sesama tetangga.
Kendatipun demikian, di ranah domestikpun Bahasa Madura juga jarang dipraktekkan. Para orang tua, katanya, lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, bukan dengan Bahasa Madura.
“Yang memprihatinan, saya pernah berjumpa dengan salah satu keluarga di Madura ini, bahwa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Madura di ruang publik katanya merasa tidak percaya diri. Artinya dia itu malu berbicara bahasa daerahnya sendiri. Malah lebih bangga menggunakan Bahasa Jawa,” terangnya.
Menurut Akhmad Sofyan, fenomena seperti itu bukan hanya terjadi di wilayah tertentu, tapi sudah menggejala di semua kabupaten di Madura.