Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa pembaca sering kali sulit membedakan antara puisi yang ditulis manusia dengan yang dihasilkan oleh AI, yang menimbulkan pertanyaan eksistensial tentang batas antara kreativitas dan simulasi.
Dalam konteks industri, penerbit dan media mulai mempertimbangkan AI sebagai alat bantu dalam penyuntingan dan penciptaan konten, membuat persaingan semakin ketat bagi penulis konvensional.
Namun, apakah kita benar-benar menginginkan dunia sastra yang dipenuhi dengan teks tanpa jiwa, di mana semua karya terasa seragam dan kehilangan kedalaman emosionalnya?
Para penulis masa kini dihadapkan pada pilihan: menolak AI dan bertahan dengan metode tradisional, atau beradaptasi dengan teknologi untuk tetap relevan di era digital.
Sebagian besar percaya bahwa masa depan sastra bukan tentang memilih antara imajinasi atau AI, melainkan bagaimana keduanya bisa bersinergi untuk menciptakan karya yang lebih kaya dan beragam.
Layaknya kamera yang tidak membunuh seni lukis, AI tidak akan mematikan sastra, tetapi akan menjadi bagian dari evolusinya yang tak terelakkan.
Kunci dari perdebatan ini bukanlah siapa yang menang, tetapi bagaimana kita memastikan bahwa kemanusiaan tetap menjadi inti dari setiap cerita yang diceritakan, dengan atau tanpa bantuan algoritma. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI