Ijazah digenggam, mimpi dijunjung, tapi pintu kerja terkunci rapat---karena di negeri ini, amplop tebal lebih berbobot daripada kecerdasan.
Lahir di tanah yang mencintai angka,
di mana statistik lebih nyata dari lapar,
di mana tabel pertumbuhan dipuja,
sementara perut-perut masih berbisik pelan:
"Adakah hari esok untukku?"
--
Di koran pagi, iklan lowongan tersenyum,
"Syarat: muda, berpengalaman, lulusan luar negeri,
bersedia bekerja tanpa upah tambahan,
dan rela membawa kopi bos setiap pagi."
(Oh, betapa nikmatnya menjadi pekerja!)
--
Sementara di sudut gang,
seorang sarjana ekonomi menjajakan gorengan,
karena ijazahnya hanya selembar tiket masuk
ke antrian panjang pengangguran yang sabar.
--
Kantor-kantor tumbuh seperti ilalang,
tetapi pintunya hanya terbuka bagi mereka
yang menggenggam amplop tebal,
atau anak-anak yang lahir dengan emas di lidahnya.
--
Dan di ruang tamu rumah-rumah kecil,
seorang ibu memandang anaknya yang letih,
"Belajarlah lebih keras, Nak.
Mungkin nanti, kau bisa menjadi karyawan kontrak
dengan gaji yang cukup untuk membayar utang."
--
Tapi tenanglah, Negeri ini baik,
ia telah menyiapkan lapangan kerja luas.
Hanya saja, kau harus mencari sendiri di luar negeri,
menjadi buruh di tanah yang tidak tahu namamu,
karena di sini, tak ada tempat untuk impianmu
kecuali dalam pidato-pidato yang berdebu.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI