SAYAÂ tak pernah membayangkan bahwa kampus yang dulu menjadi kebanggaan kita semua akan terjerat skandal besar. Di balik toga yang dulu kita kenakan dengan bangga, ada kenangan tentang perjuangan, begadang demi skripsi, dan semangat yang tak pernah padam. Hati ini terasa sesak melihat almamater kita--Universitas Lambung Mangkurat (ULM) terperosok dalam kasus pemberian gelar profesor yang mencoreng reputasi.
Pada Juli 2024, ULM menjadi pusat perhatian nasional. Berita tentang skandal pemberian gelar profesor di Fakultas Hukum ULM menyebar luas. Membuat banyak pihak terkejut. Skandal ini bukan sekadar pelanggaran administratif; tapi menjadi cerminan krisis moral dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia. Banyak yang bertanya: bagaimana mungkin universitas besar seperti ULM, yang telah menghasilkan banyak sarjana dan cendekiawan, bisa terjerat dalam masalah serius ini?
Skandal bermula ketika 11 dosen di ULM terungkap telah meraih gelar profesor dengan cara curang. Mereka diduga membayar antara Rp70 juta hingga Rp135 juta untuk menerbitkan artikel ilmiah di jurnal predator, sebuah strategi ilegal untuk memenuhi salah satu syarat utama mendapatkan gelar profesor.
Seorang dosen dengan canda pernah berkata bahwa mengurus gelar profesor itu seperti "permainan papan monopoli---yang penting punya uang dan bisa membeli apa saja." Candaan ini, yang tadinya dianggap lelucon belaka, menjadi kenyataan pahit.
Sebagai akibatnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mencabut gelar profesor yang dimiliki oleh 11 dosen tersebut. Lebih mengejutkan lagi, investigasi lanjutan menemukan bahwa 20 dosen lain dari sembilan fakultas berbeda juga terlibat dalam praktik serupa. Ini menjadi tamparan keras bagi ULM dan menurunkan akreditasi universitas dari A menjadi C. Skandal ini bukan hanya soal gelar; ia adalah manifestasi dari kegagalan sistemik dalam mengelola integritas akademik.
Calon Profesor di Jepang
Mari kita melompat sejenak ke Jepang, negara yang dikenal dengan disiplin dan standar tinggi dalam pendidikan. Di sana, pemberian gelar profesor melalui proses yang ketat dan transparan.
Setiap calon profesor harus memiliki rekam jejak akademik yang kuat, termasuk publikasi di jurnal bereputasi tinggi, bukan di jurnal abal-abal yang bisa dibeli dengan uang. Misalnya, di Universitas Tokyo, seorang calon profesor harus melewati serangkaian evaluasi dari komite akademik, wawancara, dan peninjauan eksternal oleh pakar di luar universitas.
Seorang dosen yang menempuh studi doktoral di Jepang bercerita, profesor senior di Jepang harus melewati proses panjang dan melelahkan sebelum menyandang gelar. Ia harus mempresentasikan penelitiannya di depan panel berisi profesor dari berbagai disiplin ilmu, yang tak segan memberikan kritik tajam. "Ini bukan soal seberapa banyak Anda menerbitkan, tapi seberapa besar kontribusi penelitian Anda pada dunia," katanya mengutip apa yang dikatakan sang profesor kepadanya.
Evaluasi tidak berhenti pada jumlah publikasi, tetapi juga mempertimbangkan dampak penelitian dan kontribusi pada pendidikan. Proses ini menjamin bahwa mereka yang mendapatkan gelar profesor benar-benar layak dan memiliki integritas akademik.
Ambisi dan Realitas di ULM
Di ULM, skandal ini tampaknya berakar dari ambisi besar universitas untuk mempercepat jumlah profesor. Program percepatan promosi guru besar yang dicanangkan rektor pada 2023 bertujuan untuk meningkatkan reputasi universitas. Namun, ambisi ini menabrak kenyataan ketika prosesnya tidak diikuti dengan penegakan etika akademik yang kuat.
Seorang dosen bercerita bahwa saat diminta untuk mempercepat publikasinya, ia merasa seperti berada dalam perlombaan yang tak berkesudahan---bukan lomba untuk menjadi ilmuwan terbaik, tapi untuk memenuhi kuota gelar.
Rektor ULM, Prof. Ahmad Alim Bachri, memiliki visi besar untuk universitasnya, tetapi eksekusinya tergelincir dalam praktik-praktik yang tidak sesuai dengan standar akademik. Sejak 2022, ULM tercatat telah melantik 54 guru besar hanya dalam kurun waktu kurang dari 1,5 tahun. Namun, kecepatan ini mengorbankan kualitas dan integritas. Dalam upaya mempercepat, mereka mengabaikan mekanisme yang seharusnya menjadi penjaga mutu.
Belajar dari Kesalahan
Kasus di ULM seharusnya menjadi pembelajaran bagi institusi pendidikan di Indonesia. Pemberian gelar profesor tidak hanya soal memenuhi syarat administratif, tetapi juga tentang menjaga standar akademik dan integritas. Jepang memberikan contoh bahwa proses yang ketat dan transparan diperlukan untuk memastikan hanya mereka yang benar-benar berprestasi yang mendapatkan gelar profesor.
Pemerintah Indonesia dan institusi pendidikan tinggi perlu meninjau kembali mekanisme pemberian gelar profesor agar lebih transparan dan bebas dari korupsi.
Tidak hanya itu, perlu ada perubahan budaya di mana gelar profesor dipandang bukan sebagai simbol status atau alat untuk mendapatkan tunjangan lebih tinggi, melainkan sebagai pengakuan atas kontribusi nyata dalam penelitian dan pendidikan.
Selain itu, reformasi dalam sistem evaluasi akademik di Indonesia sangat diperlukan. Penggunaan jurnal predator harus diberantas dengan ketat. Ada banyak platform dan komite evaluasi jurnal internasional yang bisa dijadikan acuan untuk memastikan publikasi ilmiah memiliki kredibilitas. Akademisi juga perlu diberikan pelatihan dan pemahaman tentang pentingnya etika publikasi agar tidak tergiur dengan jalan pintas.
Ketika Reputasi Kampus Tercoreng
ULM adalah lebih dari sekadar institusi; ia adalah tempat di mana banyak dari kita memulai langkah pertama menuju masa depan. Saat berita tentang dosen yang "membeli" gelar profesor muncul, itu bukan sekadar kisah miring---itu adalah tamparan bagi kita semua yang pernah berjuang di sana. Tiba-tiba, apa yang dulu kita banggakan seolah kehilangan nilainya.
Namun, ini bukan akhir dari segalanya. Sebagai alumni, kita punya tanggung jawab moral untuk turut mengawasi, mendukung perbaikan, dan menuntut integritas. Kita tidak bisa membiarkan skandal ini menjadi identitas baru ULM. Dengan pembenahan yang tepat dan komitmen dari semua pihak, ULM bisa kembali berdiri tegak, bukan hanya sebagai almamater yang membanggakan, tapi juga sebagai simbol perjuangan yang tak pernah tunduk pada godaan jalan pintas.
Saatnya kita bangkit bersama, menjaga reputasi kampus, dan memastikan bahwa perjuangan kita tetap bermakna. ULM adalah milik kita semua, dan hanya dengan dukungan kita, ia bisa bangkit kembali dari krisis ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H