Mohon tunggu...
Jiddan Alkasyaaf
Jiddan Alkasyaaf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Jiddan Alkasyaaf seorang mahasiswa Universitas Budi Luhur yang memiliki passion dalam mengeksplorasi berbagai bidang. Keterampilan menulis dan jiwa penelitian yang saya miliki sering saya salurkan dalam menciptakan konten-konten menarik. Dunia komunikasi digital dengan segala inovasinya, seperti strategi branding dan pengembangan konten, sangat menarik minat saya. Di sisi lain, saya juga memiliki ketertarikan pada dunia kesehatan yang ingin terus saya dalami.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Guru Dihukum Karena Peduli : Jeritan Hati di Tengah Diskriminasi dan Ancaman yang Membunuh Pengabdian

29 Desember 2024   20:46 Diperbarui: 29 Desember 2024   20:46 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siluet seorang guru yang berdiri di podium kelas, dengan latar belakang penuh simbol rantai menggambarkan tekanan yang mengekang pengabdian mereka

Dulu, Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang sangat dihormati dan disegani. Namun, seiring berkembangnya zaman, citra guru semakin terkikis. Kini, guru sering menjadi sasaran empuk diskriminasi. Entah itu dari siswanya ssendiri, orang tua siswa, ataupun masyarakat. Sebuah ironi yang memilukan, ketika mereka yang seharusnya dihormati sebagai penjaga ilmu dan pembentuk karakter justru diperlakukan dengan tidak adil, bahkan kerap menjadi kambing hitam atas segala permasalahan pendidikan.

            Di era sekarang, ketika sang guru bermaksud mendidik siswa, justru dianggap seolah-olah sebagai tindakan yang menyalahi aturan. Niat tulus seorang guru untuk memeperbaiki dan meluruskan kesalahan siswanya, seringkali berujung pada pengaduan yang menjatuhkan harga diri mereka. Tak hanya laporan hukum ke pihak berwajib, bahkan ada juga guru yang terkena serangan fisik dari orang tua siswa. Guru yang dulunya gagah berdiri di depan kelas dan dijadikan panutan, kini berdiri dengan penuh kecemasan, khawatir langkah kecil mereka dalam upaya meluruskan sang murid akan dianggap salah, yang pada akhirnya akan berhadapan dengan hukum. Kondisi ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga menempatkan guru dalam dilema yang menghancurkan semangat mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati jika setiap tindakan dilihat dari sudut pandang yang mencurigakan? Bagaimana pendidikan bisa maju jika para pendidik terus-menerus dihadapkan pada ancaman hukum hanya karena mencoba menanamkan disiplin dan nilai-nilai moral pada generasi muda?

            Fenomena ini bukan hanya melukai hati para guru, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai etika, hormat, dan tanggung jawab yang telah memudar dalam generasi ini. Ketika guru takut untuk mendidik, lantas siapa yang nantinya akan membentuk generasi penerus? Ketika guru terus menerus terbelenggu oleh ancaman dan diskriminasi dalam mendidik moral anak bangsa, bagaimana mereka dapat menanamkan disiplin dan karakter mulia pada siswa mereka?

Di banyaknya sekolah, muncul persepsi bahwa guru harus selalu benar dan tidak boleh melakukan kesalahan. Hal ini menciptakan tekanan yang luar biasa bagi para guru, karena mereka diharapkan untuk menjalankan tugas mereka secara sempurna tanpa memikirkan konteks dan tantangan yang harus dihadapi oleh mereka. Di satu sisi, siswa sering kali tidak diharuskan untuk bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan, terutama ketika mereka terlibat dalam hal-hal yang melanggar aturan.

Selain itu banyak persepsi yang kuat di Indonesia saat ini yang terlibat dalam fenomena ini dimana banyak anggapan bahwa tugas mendidik sepenuhnya ada pada seorang guru, sementara sang orang tua hanya fokus dalam hal penyediaan kebutuhan sang siswa. Guru sering kali dihadapkan pada situasi di mana mereka harus mendisiplinkan siswa tanpa dukungan dari orang tua. Ketika seorang guru menegur atau memberikan sanksi kepada siswa, mereka sering kali menjadi sasaran kritik dari orang tua yang merasa bahwa guru tidak berhak mengintervensi perilaku anak mereka. Ini menciptakan ketidakadilan dan membuat guru merasa tidak dihargai.

Dampak laporan murid atau orang tua terhadap profesi guru di Indonesia telah menjadi isu yang semakin serius, terutama dalam konteks kriminalisasi guru yang berusaha mendisiplinkan siswa. Kasus-kasus yang terjadi menunjukkan bahwa guru sering kali menjadi korban dari tindakan hukum akibat upaya mereka untuk menjaga disiplin siswanya. Seperti halnya yang terjadi pada Supriyani, seorang guru honorer di SD Negeri 04 Baito, Konawe Selatan, dilaporkan oleh orang tua siswa yang merupakan anggota polisi. Ia dituduh melakukan penganiayaan setelah menghukum seorang siswa yang bercanda di kelas. Meskipun ada saksi dari rekan-rekannya yang membela Supriyani dan menyatakan bahwa tidak ada penganiayaan, ia tetap ditahan dan menghadapi proses hukum. Kasus ini mencerminkan bagaimana tindakan disiplin yang dilakukan oleh guru dapat berujung pada konsekuensi hukum yang serius, meskipun niatnya adalah untuk mendidik[1]

 

Tak hanya itu, seorang guru olahraga bernama Zaharman (58) mengalami penganiayaan yang mengakibatkan matanya hampir buta. Kejadian ini bermula ketika Zaharman menegur seorang siswa yang kedapatan merokok di area kantin sekolah. Setelah ditegur, siswa tersebut tidak mengindahkan peringatan dan pulang ke rumah untuk melaporkan kejadian itu kepada orang tuanya, Karena merasa anaknya diperlakukan tidak adil, orang tua murid tersebut datang ke sekolah dengan membawa ketapel dan langsung menyerang Zaharman. Dalam serangan tersebut, ketapel mengenai mata Zaharman, menyebabkan luka serius dan memaksanya menjalani operasi di rumah sakit. Akibat dari insiden ini, Zaharman mengalami kebutaan permanen pada mata kanannya[2]

 

Pada akhirnya, terjadilah beban psikologis yang dialami oleh para guru akibat ketakutan akan konsekuensi dari tindakan mendisiplinkan siswa. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, banyak guru merasa terancam oleh kemungkinan dilaporkan oleh siswa atau orang tua siswa ketika mereka berusaha menjalankan tugas mereka. Ketakutan ini tidak hanya berasal dari potensi tindakan hukum, tetapi juga dari stigma sosial yang mungkin melekat pada mereka jika dianggap sebagai "guru yang kasar" atau "tidak sabar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun