critical thinking bagai pedang tajam yang siap membelah kabut ketidakpastian. Ia mengajarkan kita untuk berhenti, merenung, dan bertanya: Apakah ini benar? Apakah ini logis? Namun, di luar sana, di dunia yang riuh rendah oleh suara klakson dan langkah kaki yang tergesa, realitas sering kali berbisik: Waktu tak menunggu yang ragu. Bertindaklah, atau kalah.
Dalam belantara pikiran manusia,Begitulah, akal sehat dan naluri praktis sering beradu. Di satu sisi, berpikir kritis menggiring kita untuk menimbang sebelum melangkah, bagai pejalan yang menakar derasnya sungai sebelum menyeberang. Tapi realitas, yang keras bak aspal Jakarta di siang bolong, memaksa kita melompat tanpa banyak pikir, karena waktu tak pernah mau berhenti barang sejenak.
Critical thinking ibarat mercusuar, penunjuk jalan di tengah gulungan badai kebingungan. Ia mengajarkan kita memilah yang benar dari yang palsu, menimbang fakta tanpa terjerat emosi. Misalnya bagi seorang dokter yang harus memutuskan diagnosis atau seorang insinyur yang merancang jembatan, berpikir kritis bukan lagi sekadar seni, melainkan nyawa. Tanpanya, keputusan diambil serampangan, bagai berjudi dengan keberuntungan.
Namun, di kampung-kampung dan gang-gang kota besar, berapa banyak yang punya waktu untuk berpikir? Mak Ainun yang sibuk menggoreng pisang, Pak Jampang yang tarik ojek dari subuh hingga malam, tak peduli logika Aristoteles. Yang penting dapur ngebul, anak bisa makan, dan esok masih bisa hidup. Di situ, realitas jadi raja.
Realitas: Musuh atau Sekutu?
Di sini, realitas memainkan perannya sebagai antagonis sekaligus guru. Dalam situasi darurat seeperti bencana alam, krisis ekonomi, hingga drama pekerjaan kantor, insting sering mengambil alih. Siapa yang punya waktu untuk menganalisis, sementara deadline menanti, atau perut harus segera diisi? Pada masa pandemi, misalnya, pemerintah di seluruh dunia harus membuat keputusan cepat tanpa menunggu data sempurna. Apakah itu salah? Tidak juga. Itu hanya realitas.
Terkadang, pragmatisme menjadi pengganti sementara critical thinking. Kita memilih jalan pintas karena terlalu sibuk berjuang, bukan karena kita tak tahu jalan yang lebih benar. Ini bukan soal salah atau benar; ini soal bertahan hidup. Tapi bukan berarti kita nyerah.
Ini bukan soal milih antara kritis atau pragmatis, tapi gimana cara nge-blend dua-duanya kayak latte yang smooth. Kita bisa pake pendekatan bounded rationality, di mana kita bisa tetap kritis tapi gak kaku. Gunakan intuisi, tapi tetep pasang radar logika. Karena pada akhirnya, hidup itu bukan soal menang debat, tapi soal gimana cara kita bisa tetap bertahan sambil bikin dampak.
Realitas: Si Badut yang Serius
Realitas itu kadang kayak badut yang suka bercanda tapi nyakitin. Kita mikir kritis, nyusun rencana panjang, eh tiba-tiba realitas datang kayak banjir di Januari, bikin semua rencana buyar. Misalnya, saat kita punya cita-cita besar buat bikin perubahan, terus tiba-tiba ketemu sama birokrasi atau tekanan sosial. Di momen kayak gini, rasanya semua pemikiran logis kita udah kayak kertas basah alias hancur tanpa bekas.
Mengakui keterbatasan yang diberlakukan oleh realitas bukan berarti sepenuhnya meninggalkan berpikir kritis. Sebaliknya, hal ini mengharuskan adanya keseimbangan antara pemikiran yang berbasis prinsip dan tindakan yang pragmatis. Model pengambilan keputusan seperti "bounded rationality", yang mempertimbangkan kendala waktu dan sumber daya, menawarkan pendekatan yang realistis. Sebagai contoh, pemimpin dapat menggunakan heuristik, yaitu sejenis pendekatan intuitif dengan memastikan keputusan tersebut tetap berlandaskan logika yang kuat.